BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Membahas keummatan, kebangsaan dan kemuhammadiyahan dalam tri dimensi peran kader tentu tidak berada di ruang vakum. Muhammadiyah berada dalam ruang dinamis untuk terus meningkatkan kapasitas persyarikatan dan memberikan kontribusi dalam percaturan kebangsaan melalui para kadernya.
“Kita berada dalam situasi kehidupan yang dinamis baik dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, maupun dalam kehidupan kaum muslim bukan hanya Indonesia, lebih jauh lagi dalam lingkup global,” ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir dalam Dialog Kebangsaan Kader Persyarikatan “Memaknai Nilai Hijrah Melalui Tri Dimensi Kader Persyarikatan” yang diselenggarakan Majelis Pendidikan Kader PWM Jawa Barat, Rabu (18/8/2021).
Menurutnya dinamika perkembangan keumatan dan kebangsaan penuh warna dan tidak bisa dipandang hitam putih. Hal ini merupakan suatu lanskap di mana kader persyarikatan harus mencoba memposisikan dan memerankan diri dalam situasi kondisi yang tengah dihadapi. Realitas yang disebut lanskap adalah tata ruang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan geopolitik yang saat ini mengalami perubahan.
Prof Haedar Nashir mencontohkan seperti orang yang memegang gajah dengan mata tertutup. Yang memegang telinganya menyebut gajah itu lebar seperti kipas. Yang memegang buntutnya menyebut gajah seperti tali tambang. Oleh karena itu dalam memandang persoalan harus secara utuh.
Maka, kader Muhammadiyah harus pandai membaca realitas dan menjadi ulil albab. Cirinya yaitu selalu pandai membaca segala macam proposisi (rancangan usulan), postulat (anggapan dasar), opini, dan informasi untuk kemudian mengambil yang terbaik.
Problem kebangsaan pun harus dibaca secara bayani, burhani, dan irfani yang multiaspek. Termasuk belajar dalam percaturan dunia internasional, perlu dilihat berbagai dinamika salah satunya pergeseran persaingan Amerika – Uni Soviet maupun perkembangan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan yang terus mengalami kemajuan.
Begitu juga ketika melihat ke dalam, Islam Indonesia terus mengalami perkembangan yang harus dilihat dalam perjalanan yang panjang. Islam hadir dengan damai, moderat, dan keteguhan prinsip tetapi mampu beradaptasi dengan kebudayaan. Termasuk Muhammadiyah yang dicontohkan KH Ahmad Dahlan, selain modern juga lebih moderat yang memahami tentang kebudayaan.
“Alhamdulillah Muhammadiyah ketika menghadapi beragam dinamika keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta sudah ada pola, pondasi, bingkai, dan arah tujuan yang menjadi pusat koridor kita dalam bergerak,” ungkap Prof Haedar nashir. Artinya ketika menghadapi keadaan apapun itu Muhamamdiyah sudah mempunyai landasan kuat.
Sementara itu, dalam konteks hijrah dan kemerdekaan harus dimaknai sebagai proses takhrij, yaitu proses untuk berubah menjadi lebih baik. Serta di dalamnya perlu muhasabah untuk selalu memperbaiki diri. Jika ingin sukses dalam keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta seyogyanya sudah bisa membangun kekuatan dirinya.
Sebagaimana tercantum Al-Baqarah : 218, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Iman satu paket dengan hijrah, hijrah satu paket dengan mujahadah, jihad fi sabilillah. (Riz)