Haji Mukhtar terus beristighfar. Ia seorang diri di lantai dua rumahnya. Dua hari hujan membuat air Sungai Seroja membludak, sebagian mengalir ke perkampungan, hingga tinggi air mencapai satu meter lebih sedikit. Sementara pepohonan terus bergoyang, karena angin yang berembus kencang, menambah rasa ngeri di benak Haji Mukhtar.
“Andai saja, aku menuruti istri dan anakku untuk segera pergi ketika volume air sudah mulai melampaui batas kewajaran, tentu aku tidak akan kedinginan seperti ini dan bersama mereka,” sesal Haji Mukhtar.
Mau tidak mau ia harus bertahan. Perutnya keroncongan. Ia merasakan tubuhnya lemas sekali. Ia masih melafalkan istighfar, memohon ampun atas segala dosa yang telah ia perbuat. Bayang-bayang istri dan anak satu-satunya saat mengingatkannya untuk segera pergi dari rumah masih saja setia di benaknya. Ketika mereka menyuruhnya bersiap-siap untuk pergi, Haji Mukhtar malah menyuruh balik untuk mengemasi barang berharga dan menyelamatkan dengan memindahkan ke lantai dua rumahnya. Padahal barang berharga Haji Mukhtar terlampau banyak, sehingga bila lebih memilih mengemasi barang berharga, membutuhkan waktu yang lama.
Kini istri dan anaknya mungkin sudah berada di tempat yang aman, dan mencemaskannya. Kini istri dan anaknya mungkin sudah berada di tempat aman bersama tetangga-tetangganya. Mungkin akan ada pertanyaan yang ditujukan kepada istrinya, “di mana Pak Mukhtar?”. Atau pertanyaan lain yang mengundang sakit di hati istri dan anaknya. Selama ini Haji Mukhtar terkenal pelit dan suka pamer kekayaan, “sudah menyelamatkan barang apa saja Pak Haji Mukhtar?”.
Dengan kekayaannya, Haji Mukhtar selalu merasa digdaya, seakan roda kehidupannya tidak pernah berputar, sehingga seolah ia tidak mungkin jatuh miskin, kemenangan selalu dapat ia raih.
Haji Mukhtar telah berhaji dua kali. Pada haji yang kedua, istrinya sempat melarang, sebab hal itu dirasanya bukan sesuatu hal yang mendesak yang harus ditempuh. Ia berkata kepada Haji Mukhtar, lebih baik dana yang telah dipersiapkannya untuk berhaji dialokasikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Apalagi tidak jauh dari rumahnya ada sebuah panti asuhan. Namun Haji Mukhtar berkata kepada istrinya, “Kita masih banyak uang, aku tetap akan berangkat haji, bila kau ingin bersedekah, pakailah uang yang lain.”
Tiga bulan sebelum Haji Mukhtar pergi ke tanah suci untuk yang kedua kali, ia membeli mobil berwarna merah. Sebelumnya, ia memiliki mobil berwarna putih merek ternama. Mobil itu terbilang masih baik-baik saja. Namun Haji Mukhtar menjualnya, dan membeli mobil dengan warna merah. Istrinya sempat melarang Haji Mukhtar menjual dan membeli mobil lagi.
Haji Mukhtar tentu tidak mungkin pergi sekarang seorang diri menggunakan kendaraan pribadi. Kendaraan yang selama ini ia agung-agungkan itu telah terendam banjir. Ia benar-benar tidak berdaya. Banjir kali ini adalah banjir yang menurutnya paling parah bila dibandingkan dengan banjir-banjir yang lain, selama ia tinggal tidak jauh dari Sungai Seroja sejak lima tahunan yang lalu. Sebelum itu, Haji Mukhtar tinggal di Bandung.
***
Banjir membuat segala keperkasaan yang dimiliki manusia menjadi tidak berdaya. Haji Mukhtar merasakan benar akan hal itu. Rumahnya yang begitu megah, tidak berarti lagi dengan adanya banjir. Segala harta bendanya kini mungkin terapung-rapung, dan bahkan hancur karena banjir. Rasa perkasa itu benar-benar lenyap dari diri Haji Mukhtar.
Haji Mukhtar ingin menangis saat ia teringat dengan apa yang selama ini sudah ia perbuat. Apalagi setelah gelar haji telah ia dapatkan. Seharusnya gelar haji membuat seseorang semakin bertakwa, bukan memunculkan kesombongan yang akan menjerumuskan ke jurang dosa, katanya dalam hati. Ia sungguh malu teringat dengan perbuatan-perbuatan yang telah ia lakukan.
Ia teringat manakala ia dimintai sumbangan oleh beberapa takmir masjid dari berbagai kampung untuk pengembangan masjid dan keagamaan. Haji Mukhtar tidak langsung memberikan sumbangan, pada saat mereka datang mengutarakan maksud padanya. Haji Mukhtar lebih dulu berbelit-belit bertanya ini dan itu yang menunjukkan ia orang yang pelit. Hal itu yang kemudian melahirkan gunjingan-gunjingan di kalangan anggota takmir masjid. Setelah ke-berbelit-belitan itu selesai, Haji Mukhtar memberikan sumbangan yang diminta.
Ia juga teringat dengan sebuah peristiwa di waktu Magrib. Haji Mukhtar baru sampai di masjid terdekat begitu iqamah selesai berkumandang. Haji Mukhtar menyerobot seseorang yang akan melangkahkan kakinya ke tempat imam. Jelas, orang-orang menganggap hal itu sebuah tindakan yang tidak elok.
Ia teringat pada masa, ia baru saja membeli mobil. Haji Mukhtar sengaja memarkir mobilnya di pinggir jalan depan rumahnya, bukan di halamannya. Dalam hatinya, memang tujuannya untuk pamer.
Haji Mukhtar mengeluarkan ponselnya yang baterainya telah memerah, tinggal lima belas persen. Hujan menderas. Haji Mukhtar tertarik dengan tautan yang dibagikan seseorang, melintas di beranda media sosialnya. Ia membuka tautan itu. Sinyal buruk. Haji Mukhtar sabar menunggu. Isi tautan itu berupa berita tentang banjir, lebih spesifiknya mengenai perdebatan masalah solusi banjir. Beberapa pejabat terlibat dalam perdebatan itu. Perang argumen.
“Korban banjir mungkin pusing melihat perdebatan ini,” kata Haji Mukhtar dalam hati.
Selesai membaca berita, Haji Mukhtar mematikan ponselnya, dan memasukkannya ke dalam saku baju. Pandangannya menjalar segala penjuru yang dikuasai air berwarna coklat. Di kepala Haji Mukhtar muncul pikiran tentang istrinya. Pikiran itu membuatnya semakin cemas. Dadanya berdesir. Haji Mukhtar membayangkan jika ternyata istri dan anaknya tidak berada di tempat aman, melainkan hanyut terbawa banjir di suatu tempat berarus deras. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, ujar Haji Mukhtar.
Beberapa saat kemudian Haji Mukhtar memandang keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. Rasa cemas semakin besar saat mengetahui banjir semakin meninggi. Pada suatu kesempatan, detak jantungnya seperti berhenti. Tubuh Haji Mukhtar gemetar. Ia melihat ke suatu titik, ada seseorang tidak bernyawa, tersangkut di pohon tidak jauh dari tempat ia berdiam diri.
Bantul, 2020
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji, Luar Ruang, dan Kompensasi. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bisa dihubungi di risen_abdullah@yahoo.co.id.