BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Muhammadiyah sebagai gerakan Islam terus bergerak dan tidak statis dengan semangat yang tidak kunjung berhenti. Sepanjang perjalanannya Muhammadiyah terus berkiprah melintasi berbagai dinamika zaman.
Untuk menggerakkan persyarikatan setidaknya ada empat (4) kompetensi yang harus dimiliki oleh kader Muhammadiyah. Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Asep Purnama Bahtiar, MSi menyampaikan keempatnya harus berjalan secara kesinambungan dan tidak bisa terpisahkan.
Kompetensi keberagamaan. Kader Muhammadiyah yang bergerak dalam organisasi dengan identitas Islam dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid harus mempunyai Kompetensi keberagamaan. Meliputi aspek spiritualitas, keshalihan, dan nilai-nilai ketakwaan.
Kompetensi intelektual atau kecendekiawanan. Sebagai gerakan tajdid, kader Muhammadiyah perlu memiliki kompetensi intelektualitas yang memadai. Bukan sekadar IQ atau kecerdasan kognitif, melainkan memiliki juga kecerdasan spiritual maupun emosional.
Kompetensi sosial kemanusiaan. Watak kepedulian sosial Muhammadiyah dalam konteks kebangsaan sudah menjadi spirit gerakan sejak awal masyarakat. Kader Muhammadiyah harus peduli dengan problem lingkungan masyarakat sekitarnya.
Kompetensi kepemimpinan. Kapasitas kepemimpinan ini merupakan syarat mutlak untuk bisa menggerakkan persyarikatan. Ada dua hal yang menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam konteks kepemimpinan, yaitu Pimpinan dan Memimpinkan. Karena struktur mulai dari Pusat sampai Ranting yaitu Pimpinan, termasuk sistem kolektif kolegial dan kebersamaan menjadi salah satu prinsip kepemimpinan di Muhammadiyah.
Sementara itu, terkait memimpinkan yaitu semua keputusan persyarikatan harus dipimpinan dari struktur mulai dari atas secara berjenjang sampai diterima serta dipahami oleh warga dan anggota Muhammadiyah.
Maka memimpinkan itu adalah tugas dari setiap pemimpin untuk selalu menyampaikan, mengkomunikasikan, dan menginformasikan segala hal yang berkaitan dengan persyarikatan Muhammadiyah kepada struktur pimpinan di bawahnya sampai kepada masyarakat atau warga Muhammadiyah.
Ciri khas ini menunjukkan Muhammadiyah yang mencerminkan sikap egaliter, demokratis, dan selalu dalam kebersamaan dengan pimpinan-pimpinan yang lain. Maka, nilai-nilai tersebut harus diteladankan dan diwariskan kepada kader sebagai generasi pelanjut. Begitu juga pemimpin memiliki tugas memberikan keteladanan bagi warga maupun pimpinan yang lainnya.
Selain itu, Asep mengingatkan jangan memaknai kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa secara hierarkis. Namun harus dibaca secara integral. Hal ini terkait dengan pemetaan kader sesuai potensi, minat, dan bakat. “Harus dilihat secara kapasitas, kompetensi dan integritasnya,” ungkapnya.
Ini juga penting agar tidak terjadi penumpukan beban kepada kader yang berkaitan dengan manajemen sumber daya kader. Sesuai dengan pemilahan dan pemilihan yang proporsional. (Riz)