Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Surakarta

Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surakarta

Oleh: Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.

Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 di kota Surakarta tahun 2020 akan menjadi muktamar ketiga di kota tersebut. Sebelumnya di Solo atau Surakarta dilaksanakan Kongres ke-18 dari tanggal 30 Januari sampai 5 Februari tahun 1929 pada era Kyai Haji Ibrahim,  setelah itu Muktamar ke-41 tahun 1985 pada masa KH AR Fakhruddim.

Di Jawa Tengah selain di Surakarta pernah satu kali di Pekalongan (Muktamar ke-16 tahun 1927), di Semarang (Muktamar ke-22 tahun 1933), serta  dua kali di Purwokerto yaitu Muktamar ke-30 tahun 1941 pada masa KH Mas Mansur dan Muktamar ke-32 tahun 1953 di era Buya AR Sutan Mansur.

Muktamar sebagai bentuk permusyawaratan tertinggi tentu harus dilaksanakan dengan syiar yang luas, terselenggara dengan sebaik-baiknya hingga sukses, menggembiarakan sehingga anggota dan simpatisan merasakan kehadiran perhelatan nasional tersebut. Muktamar mesti bersuasana musyawarah ala Muhammadiyah yang dijiwai ruh ikhlas, hikmah, tasamuh, cerdas, ta’awun, ukhuwah, serta secara substansi membahas dan menghasilkan keputusan-keputusan terebaik bagi kemajuan Muhammadiyah, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.

Kongres 1929

Pasca Kyai Dahlan di era kepemimpinan KH. Ibrahim kemajuan Muhammadiyah terus meluas dan berkembang pesat. Muhammadiyah menyebar ke seluruh Indonesia serta secara khusus telah meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta. Kongres pertama di luar Yogyakarta yaitu di Surabaya tahun 1926. Setelah lepas dari Bahagian Muhammadiyah dan menjadi Organisasi Otonom, Aisyiyah pun bermuktamar secara bergantian di luar Yogyakarta.

Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929 terbilang penting. Dari Kongres Solo itulah diputuskan untuk pertama kalinya Kongres Muhammadiyah di selenggarajan di luar pulau Jawa yaitu di Bukittinggi. Setelah itu Kongres atau Muktamar berpindah-pindah di luar Yogyakarta secara berselang-selang. Di Pulau Jawa diselenggarakan di Surabaya (tahun 1926), Pekalongan (1927), Malang (1938), Purwokerto (1941), Purwokerto (1953),  Jakarta (1962), Bandung (1965), Surabaya (1978), Surakarta (1985), Jakarta (2000), Malang (2005), dan kembali ke Suarakarta (2020). Di luar pulau Jawa Kongres atau Muktamar dilaksanakan pertama kali di Bikittinggi (1930) setelah itu di Makassar (1932), Banjarmasin (1935), Medan (1939), Palembang (1959), Ujung Pandang (1971), Padang (1974), Banda Aceh (1995), dan Makassar (2015).

Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah menjadi meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, semangat memperluas gerakan dan mengembangkan etos gerakan juga terus bertumbuh sebagaimana tersurat dalam syair Lagu Kongres Solo berikut ini.

Nyanyian Mu’tamar Ke-18 Di Solo Tahun 1929
Syair oleh H.M. Junus Anis

Kongres kita amat besar selalu kita gembira
Besar arti dan besar halnya, besar pula yang ditera
Maka syukur kami yang tak terkira-kira
Kepada Allah yang memelihara
Muhammadiyah ditolong dan disuburkan dengan segera
Sehingga syi’arnya kentara
Muhammadiyah “sedikit bicara banyak bekerja”
Terimakasih pada semua tuan dan siti-siti
Yang mengunjungi Kongres besar, dengan ringan ikhlas hati
Kongres Muhammadiyah yang sangat berarti
Mempersatukan dengan hati
Kaum Islam se Hindia supaya sekata sehati
Maka wajib diperingati
Kongres di Solo: “Sedikit bicara banyak bekerja”.

 

Karenanya Muktamar di Surakarta harus tetap memupuk kegembiraan, keikhlasan hati, sekata-sehati, serta etos sedikit bicara banyak bekerja sebagaimana syair lagu Kongres 1929 tersebut. Ikat ukhuwah dan keutuhan Muhammadiyah agar Muktamar benar-benar menjadi tempat permusyawaratan yang berjiwa “syuro”, yakni “mengambil madu dari sarang lebah”. Perbedaan pandangan tidak boleh meretakkan ukhuwah dan keutuhan di tubuh Pesryarikatan Muhammadiyah. Kebersamaan dan keutuhan Muhammadiyah sangatlah mahal sebagai modal kemajuan dan kelangsungan gerakan. Ingatlah Jugoslavia tinggal kenangan dan Soviet menjadi tidak perkasa lagi karena terrpecah-belah. Muktamar harus dipupuk jiwa “sekata sehati” sehingga sukses dan diberkahi Allah SWT.

Muktamar 1985

Solo untuk keduankalinya bermuktamar yaitu Muktamar ke-41 tahun 1985.  Saat itu suasana Muhammadiyah dan umat Islam terbilang berat berkaitan dengan keharusan mencantumkan asas Pancasila. Bagi Muhammadiyah Pancasila sudah selesai sebagai ideologi negara, sehingga tidak mempersoalkannya. Namun pemaksaan penggunaan asas tunggal bagi organisasi Islam selain bersifat pllitik monolitik, juga dikhawatirkan menggerus asas Islam ketika pemerintah melakukan langkah deiodologisasi. Padahal bagi Muhammadiyah Pancasila itu sejalan dengan Islam, bukan harus dipertentangkan, dengan tempat masing-masing yakni Islam sebagai Agama dan Pancasila sebagai ideologi negara.

Masalah yang sangat krusial tentang asas Pancasila dapat diselesaikan dengan baik melalui cara dan langgam Muhammadiyah sebagaimana diperankan oleh Pak AR Fakhruddin dengan “politik helm”, sehingga Muhammadiyah tetap utuh dan pemerintah pun memahami sikap Munammadiyah secara seksama. Presiden Soeharto bahkan hadir dan membuka Muktamar yang diselenggarakan pada tanggal 7-12 Desember 1985 itu.

Pesan Presiden Soeharto pada Pembukaan Muktamar sangat positif. Menurut Soeharto,  “Dalam zaman pembangunan ini kita semua mengharapkan agar Muhammadiyah bukan saja tetap berperan dalam pembangunan masyarakat, malahan peranannya agar lebih besar lagi. Hal ini karena pembangunan bangsa kita memang memerlukan peranan yang makin besar dari semua lapisan masyarakat. Dikatakannya bahwa Muhammadiyah mempunyai pengalaman yang sangat kaya dan potensi yang besar untuk ikut mengkobar-kobarkan semangat masyarakat dalam mengsukseskan pembangunan nasional.”.

Selain itu, menurut Pak Harto, sebagai organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam, Muhammadiyah perlu terus meningkatkan peranannya agar pembangunan masyarakat kita selalu disinari oleh nilai-nilai keagamaan yang mulia dan nilai-nilai kerohanian yang luhur. Di akhir pidatonya yang cukup pentinh Presiden Soeharto menyampaikan, “Sebagai seorang yang pernah mengecap pendidikan  Muhammadiyah, saya ikut mengharapkan agar organisasi ini tumbuh makin besar, makin kuat dan makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang sangat luas.”.

Karenanya belajar dari persebaran Kongres Muhammadiyah periode awal dan seiring pesan Pak Harto dalam Muktamar Solo 1985, maka perlu dipetik pelajaran penting. Bahwa gerakan Muhammadiyah memiliki etos perluasan atau ekspansi yang luar biasa, sehingga terus bergerak tak kenal berhenti sebagaimana hakikat dan watak suatu pergerakan. Kata Pak AR Fakhruddin, Muhammadiyah itu Gerakan Islam yang harus terus bergerak, kalau tidak bergerak maka bukan Muhammadiyah. Jangan sibuk bermedsos dan beretorika, tetapi lupa bergerak dan menggerakkan Muhammadiyah.

Kyai Dahlan sendiri tidak berhenti berpikir dan berkegiatan yang meluas. Pikiran-pikiran tajdidnya terus bergulir sebagaimana layaknya mujadid, yang menurut Nurcholish Madjid bersifat “breaktrought” atau lompatan yang melintas batas. Pendiri Muhammadiyah tersebut rutin ke Surabaya mengisi pemgajian di kediaman HOS Tjokroaminoto untuk menyemai benih-benih pencerahan Islam yang diikuti anak-anak muda pergerakan seperti Soekarno, Kartosoewirjo, dan lain-lain. Kyai Dahlan juga pergi bolak-balik ke Surakarta, Magelang, Pekalongan, Garut, Bandung, Cianjur, Malang, Betawi, dan daerah lainnya untuk menyiarkan dakwah dan misi pembaruan Islam melalui Muhammadiyah.

Semangat perluasan dakwah dan tajdid Muhammadiyah tersebut harus terus dihidupkan, lebih-lebih saat ini oleh para pimpinan, kader, dan anggota Muhammadiyah di mana pun berada. Banyak masalah persyarikatan, keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta yang harus dihadapi dan dipecahkan oleh Muhammadiyah sebagai pergerakan Islam yang modern atau berkemajuan. Masalah-masalah besar dakwah dan tajdid harus menjadi perhatian serius oleh seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di segenap tingkatan dan institusi. Jangan hanya bicara, apalagi sekadar bermedsos, tetapi berpikir dan berbuatlah yang terbaik untuk memajukan Muhammadiyah. Maka, selain menggelorakan syi’ar Muktamar ke-48, sama pentingnya memperluas daya jelajah gerakan Muhammadiyah dan Aisyiyah sehingga secara optimal dan membumi mampu menghadirkan Islam Berkemajuan!

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2019

Exit mobile version