Memori Tentang KH Ahmad Dahlan di Majalah Pandji Masjarakat

Memori Tentang KH Ahmad Dahlan di Majalah Pandji Masjarakat

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

KH Ahmad Dahlan tak hanya dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, tetapi juga sebagai salah satu perintis majalah Islam tertua di Indonesia yang masih eksis hingga kini, Suara Muhammadiyah. Bersama Haji Fachrodin, ia membangun dan mengembangkan majalah resmi persyarikatan ini sejak tahun 1915. Sebagai anggota redaksi paling awal di majalah ini (bersama dengan H.M. Hisjam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan R.H. Hadjid), Kyai Dahlan turut menyumbangkan pemikirannya di majalah ini. Kyai Dahlan meninggal dunia pada tahun 1923, tapi legasinya berupa berbagai lembaga yang bernaung di bawah Muhammadiyah terus berkontribusi dalam memajukan kehidupan masyarakat.

Memori tentang Kyai Dahlan hidup di dalam benak publik dalam berbagai cara. Namanya digunakan sebagai nama baru bagi IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (sejak tahun 1994). Nama Jalan KH Ahmad Dahlan hadir di berbagai kota di Indonesia, mulai dari Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, hingga Samarinda. Fotonya terpampang di berbagai ruang yang mudah dikenali umum, seperti dalam foto pahlawan nasional, kalender hingga spanduk kegiatan kemuhammadiyahan.

Memori tentang Kyai Dahlan juga hadir di suatu majalah Islam terkemuka di era akhir 1950an dan awal 1960an, Pandji Masjarakat. Terbit pertama kali pada 15 Juni 1959, majalah yang didirikan oleh K.H. Faqih Usman, Buya Hamka, Yusuf Abdullah Puar dan H.M. Yusuf Ahmad ini menyebut dirinya sebagai ‘madjalah kebudajaan dan pengetahuan’. Walau nuansa agama, ilmu dan seni sangat kentara di majalah ini, majalah ini juga menaruh perhatian besar pada persoalan sosial dan perkembangan dunia internasional.

Namun, pada paruh kedua tahun 1960 majalah ini sempat dibredel oleh Presiden Sukarno karena memuat kritik pedas mantan wakil presiden Mohamad Hatta terhadap sistem Demokrasi Terpimpinnya Sukarno, dalam suatu tulisan bertajuk ‘Demokrasi Kita’. Sebagai gantinya, pada tahun 1962 Hamka menerbitkan majalah baru, Gema Islam. Pandji Masjarakat sendiri kembali menyapa pembacanya pada tahun 1967, selepas berakhirnya Orde Lama.

Di dalam masa hidupnya yang singkat di peralihan era 1950an ke 1960an itu, ada berbagai hal menarik yang bisa ditengok dari majalah ini, yang mencerminkan sejarah dan dinamika kontemporer Islam di Indonesia. Salah satunya mengenai Muhammadiyah dan Kyai Ahmad Dahlan.

Majalah ini mempunyai satu kolom tetap bernama ‘Kissah Manusia’. Di dalamnya, redaksi mengeksplor kisah, perjuangan dan pencapaian para tokoh Islam terkemuka, baik di Indonesia maupun di dunia Islam yang lebih luas. Suatu gambar kecil menemani judul kolom ini, yakni gambar seseorang bercaping yang tangan kanannya membawa kayu yang disandarkan ke pundaknya. Di ujung kayu itu tampak bungkusan kain (Jw: buntel) yang mungkin berisi pakaian atau bekal selama mengembara. Sosok itu digambarkan tengah berada di alam, dengan tetumbuhan berada di dekatnya. Kesan yang ditangkap ialah bahwa kolom ini memusatkan perhatian pada perjalanan panjang seorang manusia dalam mencari pengetahuan ke berbagai tempat yang jauh untuk kemudian, ketika ia telah mencapai level yang tinggi di dalam kehidupan, membawa perubahan pada dirinya dan di tengah komunitasnya.

Beberapa di antara tokoh yang kisahnya diceritakan di kolom ini ialah Sayid Aburrahman al-Kawakibi, pemikir dan pembaru asal Suriah, dan Al-Biruni, ilmuwan Muslim asal Iran yang dikenal karena penguasaannya yang dalam atas berbagai bidang ilmu, mulai dari filsafat hingga kedokteran. Di sini diterangkan latar belakang sosial mereka, perjalanan mereka mencari ilmu, dan karya-karya mereka beserta kontribusinya bagi publik. Ada pula tokoh Islam Indonesia yang kisahnya dikenang di Pandji Masjarakat (walaupun tidak di kolom ‘Kissah Manusia’), yakni H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin penting Sarekat Islam.

Kisah kehidupan Kyai Dahlan muncul di kolom ‘Kissah Manusia’ di majalah Pandji Masjarakat edisi 17, yang terbit tanggal 15 Februari 1960. Sebagaimana bisa diduga, tanggal terbit ini berdekatan dengan tanggal wafatnya Kyai Dahlan, yakni 23 Februari, 37 tahun sebelumnya. Ini juga dikonfirmasi oleh judul artikel biografis ini: ‘Kenangan Hari Wafat ke-37: Kijai Hadji Ahmad Dahlan dan Pembaruan Pembangunan Islam, 23 Pebruari 1923-23 Pebruari 1960’. Ditulis oleh salah satu anggota redaksi, Yusuf Abdullah Puar, artikel ini mendapatkan tempat sebanyak hampir tiga halaman, cukup banyak untuk ukuran sebuah majalah 32 halaman.

Di salah satu halamannya tampak foto Kyai Dahlan dengan pakaian yang membuatnya menjadi ikonik (serban gelap dan beskap putih). Foto ini diberi keterangan (caption): ‘K.H. Ahmad Dahlan pendiri perserikatan Muhammadijah, beliau beramanat: “Aku titipkan Muhammadijah padamu”’.

Yusuf Abdullah Puar melihat bahwa kedua tokoh Islam Indonesia ini (H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan) sebagai ‘putera Indonesia jang amat berdjasa bagi pembaruan, pembangunan dan perdjuangan Islam di Indonesia’ dan ‘dwitunggal pedjuang dan patriot Islam’. Menurut Puar, keduanya sama-sama menyadari bahwa kondisi umat Islam Indonesia pada masa kolonial berada pada fase yang buruk. Perbedaannya, lanjut Puar, ialah, sementara H.O.S. Tjokroaminoto melihat kelemahan itu sebagai akibat dari dominasi politik dan ekonomi asing, Kyai Dahlan memandang bahwa ada sesuatu yang lebih fundamental yang telah runtuh di kalangan umat Islam, yang membawa mereka pada kemunduran.

Selepas itu, sang penulis menguraikan titik-titik kisar penting di dalam kehidupan Kyai Dahlan dalam relasinya dengan Muhammadiyah, yang bisa dibagi ke dalam tiga unsur. Pertama, kiprah Kyai Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah. Jalan memperkenalkan perubahan, atau lebih tepatnya pembaruan, dalam hal pemikiran dan praktik beragama umat Islam telah dibentangkan Kyai Dahlan sejak masa ini. Puar menyebut beberapa contoh usaha penting Kyai Dahlan, seperti mengoreksi arah kiblat di masjid-masjid di Yogyakarta dan mendorong agar menjelang puasa dan berhari raya umat Islam menggunakan hisab falaki. Kedua hal ini untuk ukuran masa itu adalah suatu terobosan, baik karena baru bagi publik maupun lantaran tentangan dari para ulama lainnya terhadap perubahan pemahaman agama semacam itu.

Kedua, sejarah kelahiran ide pembaruan di dunia Islam dan bagaimana gagasan sampai ke Indonesia, yang kemudian salah satunya diwujudkan dalam bentuk persyarikatan Muhammadiyah. Puar secara ringkas melacak sejarah pembaruan Islam selama setidaknya tujuh abad terakhir, termasuk dari masa Ibnu Taimiyah (1263-1328) (‘seorang ahli agama dan ahli hukum Islam jang banjak musuhnja, karena berani menantang pelbagai bid’ah jang timbul  dalam agama Islam’, tulis Puar), Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1877) di Jazirah Arab hingga ke masa paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang menyaksikan kiprah tiga tokoh pembaru Islam terpenting, Jamaludin al Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935).

Ide tentang pembaruan Islam lalu masuk ke Indonesia. Puar menyebut bahwa sebelumnya, kondisi umat Islam Indonesia ‘statis’ lantaran pemahamannya telah bercampur dengan kebiasaan lama. Masuknya pemikiran pembaruan Islam telah membawa Islam Indonesia ke arah yang lebih dinamis. Ini tampak dari kehadiran dari golongan yang dikenal sebagai Kaum Muda, baik di Jawa dan terutama sekali di Sumatra.

Pemikiran tentang pembaruan Islam itu tidak berhenti di gagasan. Puar menyebut tentang penjelmaan dari pemikiran itu dalam bentuk berbagai organisasi Islam, khususnya di dekade-dekade awal abad ke-20. Ia menyebut beberapa contohnya, seperti Sarekat Dagang Islam (yang lalu menjadi Sarekat Islam), Muhammadiyah, Al-Irsyad, Wal Fajri, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Sumatra Thawalib, Al-Jami’atul Washliyah, dan Musyawaratul Thalibin.

Tentang peranan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam memajukan umat Islam Indonesia, Yusuf Abdullah Puar menulis: ‘Muhammadijah “anak kandung” K.H.A. Dahlan menuruti garis lurus jang telah digoresi dari semula menudju kepada pembangunan pembaruan agama Islam di Indonesia, sampai sekarang ini, terutama dalam membanteras bid’ah dalam peribadatan, mengikis habis churafat dan tachajul dalam ketauhidan, sementara dalam beramal dan beribadat tidak bertaklid buta kepada alim ulama, membanteras pemakaman djenazah dengan pesta2 besar, membanteras penebusan dosa dan pengiriman pahala kepada dan bagi seseorang jang telah meninggal dunia dsbnja’.

Ketiga, bagian yang oleh Puar disebut sebagai ‘statistik perdjuangan’, di mana ia meletakkan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam konteks sejarah Islam Indonesia di masa kolonial Belanda, dan melakukan evaluasi terhadap pencapaiannya setidaknya hingga akhir dekade 1950an. Di sini Puar mengemukakan gagasan Kyai Dahlan tentang arti penting berorganisasi bagi umat Islam. Dengan jalan itulah Islam dapat diamalkan dan digerakkan.

Yusuf Abdullah Puar melihat bahwa perjuangan Muhammadiyah di era Indonesia merdeka jauh lebih sulit dibandingkan dengan di masa kolonial. Hal ini lantaran adanya satu misi besar yang harus dijalankan oleh masyarakat Indonesia di era pascakolonial itu, yakni membangun Indonesia. Pembangunan ini tak hanya berkaitan dengan pembangunan fisik, tapi juga, tulis Puar, ‘pembangunan diri pribadi’, ‘pembangunan semangat jang besar dan iman jang kokoh menghadapi zaman’, dan ‘pembangunan amal jang telah runtuh dan pembangunan amal jang baru’.

Selain ke dalam negeri, Puar juga menilai bahwa Muhammadiyah telah membantu menghubungkan umat Islam Indonesia dengan bagian dunia Islam lainnya. Ia mencontohkan partisipasi tokoh Muhammadiyah, H.A. Kahar Muzakkir, dalam acara kongres Islam di Palestina.

Sesuai dengan subjudul tulisannya, ‘statistik perdjuangan’, di sini tak lupa pula Yusuf Abdullah Puar mengutarakan angka-angka yang berkenaan dengan pencapaian Muhammadiyah hingga masa itu. Antara tahun 1912-1958, ‘hasil pekerdjaan K.H.A. Dahlan dengan Muhamamdijah’, tulis Puar, adalah sebagai berikut: ‘141.886 orang anggauta Muhammadijah, 2.058 ranting, 498 tjabang, 2.578 sekolah rendah, menengah dan tinggi, 267.306 murid, 13.987 guru, 534 rumah jatim, 2.000 mesdjid, mushalla dan langgar dan 12.678 muballigh dan muballighat’.

Muhammad Yuanda Zara, Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2020

Exit mobile version