JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada tanggal 17 Agustus merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia karena pada tanggal tersebut Indonesia dinyatakan merdeka dari para penjajahan. Kemerdekaan Indonesia tidak luput dari peran perempuan Indonesia yang ikut berkonstribusi dalam kemerdekaan ini. Banyak perempuan Indonesia yang ikut menyuarakan dan berpartisipasi langsung dalam kemerdekaan ini. Maka untuk memeriahkan hari kemerdekaan Korps IMMawati periode 2021-2022 dan Bidang IMMawati PC IMM Jakarta Timur mengadakan seminar yang membahas mengenai “Peran Perempuan dalam Kacamata Sejarah dan Pasca Kemerdekaan”.
Kegiatan seminar ini dibuka langsung oleh Ketua Korps IMMawati yaitu IMMawati Debi Susanti serta Ketua Umum PC IMM Jakarta Timur yaitu IMMawan Wikka. Dalam penuturannya IMMawati Debi Susanti menyatakan bahwa masih terjadi pandangan sebelah mata terhadap perempuan, bisa dilihat dari kasus kekerasan seksual selama satu dasawarsa mencapai 2,7 juta (sumber CaTahu Komnas Perempuan tahun 2010-2020) lebih jiwa menjadi korban, harapannya dari kegiatan webinar ini kita semua memiliki perspektif positif terhadap keberadaan peran perempuan. Dilanjut sambutan sekaligus membuka acara webinar refleksi hari kemerdekaan oleh IMMawan Wikka Essa Putra menyatakan bahwa penting para IMMawan dan IMMawati mengetahui identitas, kultur, serta peran perempuan pra dan pasca kemerdekaan dalam budaya dan hukum. Perempuan saat ini masih banyak yang terbatas dalam ruang public, hanya secara serimonial saja peran perempuan itu seolah-olah ada. Tapi dalam menyuarakan hak-hakna perempuan sangat inim. Padahal dilihat dari sejarah perempuan telah membuktikan mereka bergerak secara organisasi dalam hal pendidikan, dan lain-lain.
Memasuki acara inti yaitu penyampaian materi oleh narasumber pada kegiatan seminar ini. Narasumber pertama yaitu Ibu Dr. Soe Tjen Marching,Ph.D. beliau merupakan penulis novel Dari dalam Kubur. Dalam acara seminar ini beliau membawakan materi mengenai “Peran Perempuan dalam Kacamata Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan; Tantangan dan Peluang Peran Perempuan”. Dalam materi beliau banyak sekali menyebutkan perempuan yang berjasa yaitu ada Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dhien, Maria Walanda Maramis, Rasuna Said, Martha Christina Tiahahu, dan Dewi Sartika. Namun, kita jangan terfokus hanya pada tokoh yang sering disebut saja karena tokoh yang jarang disebut bias jadi tokoh yang paling berjasa. Seperti Siti Rukiah. Siti Rukiah ini aktif dalam berbagai kegiatan berjuangan perempuan, setelah itu beliau juga aktif berjuang setelah kemerdekaan. Rukiah banyak sekali menulis seputar era kemerdekaan, beliau juga sosok perempuan yang berperan besar dalam gerakan memberantas buta huruf pada masa itu. Rukiah juga menulis tentang diskriminasi gender yang berlapis-lapis. Juga tentang pengalaman dan jasa kaum perempuan yang jarang terdengar. Ia juga merekam perjuangan kaum buruh perempuan.
Pada tahun 1961, Rukiah terpilih menjadi wakil dari lekra pada kongres di Jerman Timur. Tahun 1965 Rukiah ditangkap dan menjadi tahanan di kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta kemudian dipindah-pindah, termasuk di rutan Bandung. Tahun 1969, Rukiah dibebaskan dengan perjanjian dia tidak boleh menulis lagi. Seorang kawan Rukiah yang bernama Annabel Gollop di SOAS University, menulis thesis M.A tentang Rukiah. Akhirny, Annabel berhasil mengontak Rukiah melalui surat. Rukiah meninggal pada 7 Juni 1996.
Narasumber kedua yaitu Ibu Yulianti Muthmainnah, M.Sos. beliau merupakan ketua PSIPP ITB AD Jakarta. Materi yang beliau sampaikan yaitu mengenai “Peran Perempuan dalam Kacamata Sejarah dan Pasca Kemerdekaan; Refleksi Bagaimana Budaya Memandang Peran Perempuan”. Berkaitan dengan sejarah tidak lepas dari budaya, karena budaya perempuan bisa berkontribusi tapi karena budaya juga perempuan bias didiskriminasi. Pada masa penjajahan budaya nenangga, kumpul-kumpul dengan tetangga, ‘Pengajian Magribi’ yang dilakukan Sopo Tresno,cikal bakal lahirnya ‘Aisyiyah 1917 memakai strategi budaya untuk mendorong perempuan bias menulis, membaca, dan belajar agama.
Masa kemerdekaan perempuan identik dengan budaya memakai kebaya dan sanggul; para perempuan berkontribusi menyeludupkan informasi, senjata, racikan obat-obatan, catatan penting dalam sanggul atau bulatan stagen kebaya mereka. Budaya selalu erat dengan upaya umtuk mengkontrol tubuh perempuan. Adanya pergeseran budaya, menjadi arena pertarungan dan kontrol tubuh perempuan, atas nama politik dan agama. Pada masa orde baru adanya penyeragaman budaya melalui kebaya, budaya local dan tradisi nusantara menjadi terkikis, larangan menutup kepala, termasuk jilbab dan tutup kepala adat perempuan manapun dari keputusan surat kemendikbud. Bahkan suku dari Papua ada yang memotong ruas jari perempuan, hal ini mereka lakukan karena ingin melukiskan rasa kekecewaan mereka karena kehilangan saudara laki-laki atau suami mereka, tetapi hal ini tidak berlaku untuk laki-laki.
Yang terakhir yaitu masa reformasi peraturan daerah jilbabisasi, peraturan daerah untuk implementasikan agama mayoritas (penerapan syari’at islam di beberapa provinsi, kota injil di Manokwari), jilbab syar’I dan jilbab tidak syar’I, sunat perempuan dan perkawinan anak menjadi tinggi atas nama agama. Pro kotra RUU anti Pornografi dan Pornoaksi yang berawal dari goyang inul, tari jaipongan 3G yaitu Goyang, Geol, dan Gitek. Namun setelah RUU disahkan tahun 2008 yang muncul justru kriminalisasi pada perempuan, laki-laki yang menonton video porno menyebarluaskan video tak dihukum.
Narasumber ketiga yaitu Ibu Khotimun Sutanti, S.H. beliau merupakan koordinasi pelaksana Harian Asosiasi LBH apik Indonesia. Materi yang disampaikan mengenai “Peran Perempuan dalam Kacamata Sejarah dan Pasca Kemerdekaan; Refleksi Produk Hukum Indonesia Pasca Kemerdekaan Memandang Peran Perempuan”. Pasca kemerdekaan gerakan perempuan mulai kembali tumbuh dan menyusun gerakan, namun belum banyak produk hukum yang dihasilkan, masa-masa lahirnya inisiatif mendorong produk hukum, salah satunya masih dengan upaya mendorong UU perkawinan yang setara namun belum disahkan. GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) menyarakan “sukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat kaum perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogamy”, inilah bentuk gerakan perempuan pasca kemerdekaan.
Memasuki orde baru paradigm terlihat dari legal policy dalam GBHN 1978 yang didefinisikan peren perempuan yaitu pendukung setia suaminya, penghasil dan pendidik generasi penerus keluarga dan bangsa, pengurus rumah tangga, pencari nafkah pelengkap untuk keluarga, anggota masyarakat Indonesia. Periode ini juga diwarnai dengan lahirnya Beijing Platfrom (1995) dalam konferensi dunia tentang perempuan ke 4, merupakan landasan aksi bagi negara-negara di dunia untuk melaksanakan CEDAW. Politik hukum era reformasi dan pasca reformasi yaitu gerakan perempuan bangkit kembali, agenda utama pada perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan. Mengembangkan kampanye hak perempuan dimulai dari penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual selama 1997-1998, advokasi termasuk advokasi kebijakan atau hukum yaitu Kalyanamitra, Rifka Annisa, Mitra Perempuan, Rumah Ibu, Savy Amira, LBH APIK, mendorong UU PKDRT (disahkan UU No. 23/2004).
Tiga itulah yang dibahas yang menjadi pembahasa pada seminar yang diadakan oleh Korps IMMawati dan Bidang IMMawati PC IMM Jakarta Timur. Diharapka dengan adanya seminar ini bisa merefleksikan peran perempuan, serta perempuan mampu membebaskan dirinya dari strandarisasi yang dibangun oleh konstruk social dan bisa berpikir mengenai peran perempuan. Kegaitan ini ditutup dengan pembacaan doa oleh IMMawati Aini.