Afganistan dan Kisah Nasi Kuah tanpa Lauk
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Di samping persoalan penyebaran Covid-19 beserta berbagai variannya yang semakin merebak di berbagai belahan dunia, bulan Agustus 2021 ini memiliki satu momen yang menjadi sorotan dunia internasional. Yakni penarikan pasukan Amerika dan Sekutunya dari Afganistan. Hal ini memudahkan perebutan hampir seluruh wilayah negara tersebut oleh pasukan Taliban.
Dengan penarikan pasukan NATO, membuat posisi pemerintah Afganistan yang saat ini dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani semakin terjepit. Justru menjadi peluang bagi pejuang Taliban untuk menyerang pasukan pemerintah. Akhirnya pertengahan bulan ini, pasukan Taliban menduduki istana negara, lalu menyatakan kemenangannya dan mengakhiri perang selama setelah berlangsung dua puluh tahun.
Sementara Presiden Ashraf Ghani dilaporkan meninggalkan negaranya ke negara lain. Pada saat yang hampir bersamaan, Wakil Presiden, Amrullah Saleh, menyatakan mengambil alih pemerintahan sesuai dengan konstitusi. Dilaporkan bahwa beliau masih berada di dalam negara bersama pasukan setianya dan berjanji akan terus melawan pasukan Taliban.
Tentang melarikan dirinya Presiden Ashraf Ghani ke luar negeri meninggalkan negara dan rakyatnya, pada satu sisi dapat dipandang sebagai tindakan pengecut. Meninggalkan rakyatnya dalam kondisi menderita, kondisi negara yang kacau balau. Namun di sisi lain, dalam pandangan penulis, bahwa dia lebih mengutamakan menyelamatkan jiwa rakyatnya. Sebab jika dia masih bertahan di Istana Negara Kabul, sementara pasukan Taliban sudah mengepungnya, maka pertumpahan darah yang semakin parah antarsesama warga negaranya tidak akan terhindarkan. Jalan terbaik memang harus meninggalkan istana negara ke negara lain, sambil berusaha melakukan perundingan damai dengan pihak Taliban.
Meskipun saat ini pihak Taliban sudah menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan, namun persoalan belum selesai. Pemerintahan belum ada, sistem perundang-undangan juga belum ada. Tentu ini masih memerlukan waktu untuk menatanya dengan baik. Sementara Wakil Presiden Amrullah Saleh, masih belum menyerah. Dia menyatakan akan terus berperang melawan Taliban dan merebut kembali pemerintahan.
Tentu hal ini adalah salah satu persoalan besar. Sampai kapan Afganistan akan terus-menerus berperang menumpahkan darah antar sesamanya? Bagaimana mereka akan membangun sehingga keluar dari salah satu negara termiskin di dunia? Kapan mereka akan mengurus rakyatnya agar lebih sejahtera, jasmani dan rohani?
Sebagai komunitas Muslim global, tentu kita menginginkan yang terbaik untuk Afganistan. Wakil Presiden RI dua periode, Yusuf Kalla, sudah pernah menggagas perundingan damai antara kedua belah pihak. Walaupun belum berhasil, namun perundingan damai ini perlu diteruskan untuk mewujudkan negara Afganistan yang damai dan sentosa.
Selain apa yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin menyampaikan dua hal lain terkait dengan Afganistan. Dari berbagai literatur, dapat dipastikan bahwa rakyat Afganistanlah yang turut-serta membawa Islam ke Benua Selatan Australia, setelah sebelumnya nelayan Muslim dari Makassar berinteraksi dengan penduduk Aborigin di Australia Utara, sejak tahun 1500-an. Jauh sebelum kedatangan pasukan ekspedisi Inggris dibawah pimpinan James Cook akhir tahun 1700-an.
Kedatangan Muslim dari Afganistan ini pada pertengahan tahun 1880-an, sengaja disewa oleh pemerintah kolonial Inggris. Beratnya medan yang akan dilalui hingga ke pedalaman Australia dalam upaya mengembangkan wilayah dan membangun industri maupun pertambangan, memelurkan alat transportasi. Untuk itulah Muslim Afganistan didatangkan bersama dengan hewan untanya sebagai alat transportasi yang murah dan kuat.
Di antara peninggalan sejarah dari Muslim Afganistan ini adalah berdirinya masjid pertama tahun 1861 di Adelaide, Australia Selatan. Tahun 2013, penulis sempat berkunjung ke masjid ini. Meskipun sudah beberapa kali dipugar, namun masih tampak dengan baik arsitektur masjid dengan nuansa Timur Tengah. Satu lagi masjid yang mereka dirikan tahun 1890 berada di Broken Hill, New South Wales. Masjid ini sekarang masih ada, namun tidak difungsikan lagi sebagai tempat ibadah umat Islam. Sebab tidak ada lagi orang Islam, meskipun sebagian di antara warga yang tinggal di sekitarnya adalah masih keturunan Afganistan. Justru pemerintah lokal yang merawat dan menjadikannya sebagai cagar budaya dilindungi negara.
Kemudian penulis memiliki satu pengalaman yang cukup pilu dengan seorang pengungsi dari Afganistan. Ini terjadi di Kampus Universiti Kebangsaan Malaysia, sekitar tahun 2014. Saat itu penulis sedang melanjutkan program doktoral dalam bidang komunikasi pada Pusat Pengajian Media dan Komunikasi.
Dalam beberapa kesempatan, penulis sempat melihat seorang bapak yang bertugas sebagai tenaga kebersihan di halaman kampus, tidak jauh dari Masjid Pusat Islam UKM. Dari perawakannya, terlihat dia adalah keturunan Afganistan, tinggi, besar dan bercambang pun dari pakaian yang dikenakan. Dia merupakan bagian dari pengungsi akibat perang saudara antara pasukan Taliban dan tentara pemerintah Afganistan yang didukung NATO sejak tahun 2001. Beruntung, bapak ini ikut berhasil mendarat di Malaysia dan berhasil mendapat pekerjaan.
Suatu ketika, kami berpapasan di kantin ketika makan siang. Saya membeli makanan ala kadarnya sesuai kebutuhan, nasi, sayur dan lauk. Saya membayar sekitar enam Ringgit Malaysia atau sekitar sembilan ribu Rupiah. Sedangkan si bapak ini, saya perhatikan betul, dia hanya mengambil nasi putih dan kuah saja. Tanpa sayur dan tanpa ikan. Harganya satu Ringgit atau tiga ribu Rupiah. Kemudian dia mengambil air putih, terus bergegas pergi ke bawah pepohonan.
Mengapa hanya mengambil nasi dan kuahnya saja? Katanya dia harus menghemat pengeluaran. Dia harus mencari uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai anak-anak dan istrinya yang masih berada di Afganistan. Wallahu’alam.
Wassalam
Wollongong, 22 Agustus 2021
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar / Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales, Australia