YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus mulai menjadi Influencer wasathiyah. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah saat menjadi pembicara dalam pengajian virtual bertajuk Harmoni Keluarga Edisi 15 yang diselenggarakan Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah pada Jum’at (13/8/2021).
Mengangkat tema Literasi Digital Melalui Keluarga di Masa Pandemi, Tri Hastuti mendorong munculnya influencer wasathiyah dari warga Muhammadiyah ‘Aisyiyah karena wacana Islam literal masih mendominasi dunia medsos. Selain itu menurut Tri juga masih minim influencer perempuan dengan pandangan Islam wasathiyah. “Maka pengelolaan media sosial pandangan Islam wasathiyah secara lebih profesional harus terus digencarkan. Ini merupakan peluang dan pe-er ‘Aisyiyah seluruhnya agar ke depan mampu mencetak influencer perempuan.” tegas Tri.
Tri sangat menyayangkan bahwa saat ini akses internet belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut terbukti dari hasil survei digital Microsoft menyebutkan bahwa netizen Indonesia paling tidak sopan se Asia Tenggara.
Mengapa disebut tidak sopan? Dijelaskan oleh Tri karena indikator survei mencakup kegiatan yang dilakukan saat akses internet yang kesemuanya adalah hal yang merugikan diri sendiri juga orang lain. Indikator survei tersebut seperti penyebarluasan berita bohong atau hoax, ujaran kebencian atau hate speech, diskriminasi, misogini, cyberbullying, trolling atau tindakan sengaja untuk memancing kemarahan, micro aggression atau tindakan pelecehan terhadap kelompok marginal, penipuan, doxing atau mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang, rekrutmen kegiatan radikal dan teror, serta pornografi.
Tri juga memaparkan data dari laporan Hootsuite, bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta (73,7%) dari total jumlah penduduk 274,9 juta. Kemudian, 170 juta (61,8%) di antaranya telah menggunakan media sosial. Generasi milenial mendominasi penggunaan media sosial, paling banyak berasal dari kalangan muda dengan rentang usia 25-34 tahun.
Sayangnya, lanjut Tri penggunaan internet memiliki problem berupa kurangnya kompetensi memahami kehidupan dunia digital dari sisi ketrampilan, keamanan, dan etika. Juga, komersialisasi data pengguna internet menjadi problem yaitu fenomena algoritma dan filter bubble, target iklan. “Fenomena paling marak adalah banyaknya hoaks dan fake news. Kemudian banyak orang menjadi agen penyebar dan sekaligus mudah terpapar hoaks contohnya isu covid, agama, kesehatan, dan vaksinasi.”
Problem-problem ini menurut Tri harus diatasi dengan memulai penguatan yang berbasis keluarga. “Basis literasi digital ini adalah keluarga. Oleh karena itu penguatan dari keluarga itu sangat penting.” Selain itu, merebut narasi juga harus dilakukan oleh kader ‘Aisyiyah Muhammadiyah yang berpandangan Islam Berkemajuan, Islam Tengahan atau Wasathiyah. “Peran membumikan dan memviralkan narasi-narasi alternatif yang sarat keadilan, keberagaman, dan kedalaman haruslah kita lakukan sebagai upaya menjadi muslim dan mewujudkan islam rahmatan lil alamin.
Upaya untuk memperkuat suara di dunia virtual menurut Tri juga merupakan salah satu implementasi dari perempuan berkemajuan yang digaungkan oleh ‘Aisyiyah. Karena perempuan berkemajuan adalah juga termasuk insan pelaku perubahan menuju peradaban utama yang cerah dan mencerahkan.
Maraknya konten dengan muatan diskriminasi dan misogini juga memperkuat alasan perlu munculnya konten dengan nilai Islam Berkemajuan dan Perempuan Berkemajuan yang membawa kesetaraan relasi laki-laki perempuan, serta adanya ruang yang luas bagi perempuan di ruang publik. “Para kader muda harus terlibat, harus terpanggil, dan mengisi ruang kosong ini juga tak lupa memperbanyak konten-konten yang bermuatan perspektif gender (GESI) yang baik.” (Suri/Riz)