Perang Narasi Menyoal Childfree, Sebuah Pengamatan

karunia anak

Ilustrasi

Perang Narasi Menyoal Childfree, Sebuah Pengamatan

Oleh: Yayum Kumai

Sudah beberapa waktu saya mengendapkan hasrat untuk mengomentari perdebatan yang tengah hangat di lini masa ini. Sebenarnya saya sendiri orang yang sering tidak mau ambil pusing debat-debat kusir netizen. Sebab, biasanya berakhir tanpa ujung dan menguap begitu saja.

Namun, kali ini agak berbeda karena saya sedang berada dalam situasi yang di seputaran isu itu. Bukan penganut childfree, tetapi saya adalah “perjuang dua garis merah” yang dua tahun lalu menunda kehamilan dengan banyak alasan.

Mari kita tengok faksi-faksi yang masuk dalam arena perang narasi childfree di Indonesia. Setidaknya ada empat kelompok dari mereka yaitu, golongan Muslim tekstual, Muslim moderat, liberal, dan normatif.

Pembagian ini tidak saya dasarkan atas organisasi masyarakat (Islam) ataupun partai politik Islam. Melainkan, saya bagi berdasarkan reproduksi pengetahuan yang dijadikan argumen dalam berkomentar. Jadi, lebih cair.

Muslim Tekstual

Kita semua sudah bisa menebak siapa saja yang masuk dalam kategori ini. Tipikal umum argumen yang dipakai oleh faksi ini menyatakan bahwa kodrat perempuan adalah melahirkan dan memiliki anak.

Lalu, bila tidak melakukannya, itu adalah sebuah tindakan penyimpangan kodrat yang ditetapkan Allah SWT. Arti sempitnya, perempuan yang memilih tidak ingin melahirkan dan memiliki anak menentang Allah SWT.

Tidak lupa orang-orang dengan pemikiran ini menambah dalil:

Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita tersebut) berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku (akan merasa bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya (HR. Abu Dawud).

Meskipun saya sama sekali tidak memiliki ilmu tentang cara “membaca” Hadits. Setidaknya, sekelebat mata bisa saya simpulkan bahwa kelompok ini mengamini bulan-bulat teks agama di atas. Sebagaimana alasan saya menamakan faksi ini “Muslim Tekstual”.

Hal lainnya yang menonjol dari sikap kelompok Muslim Tekstual dalam menanggapi isu childfree adalah ketakutan akan menguatnya pengaruh pemikiran Barat.

Sebagaimana rusuh tagar antifeminisme, naiknya narasi childfree ke permukaan juga ditanggapi serupa. Salah satu komentar yang dibangkitkan kembali adalah perihal tubuh perempuan merupakan titipan Allah. Sebagai bentuk negasi dari kampanye “tubuhku, milikku”.

Tanggapan lainnya juga berupa kekhawatiran menularnya paham childfree. Anggapannya bahwa perluasan paham childfree bisa menyebabkan rusaknya akidah umat Islam.

Jadi, kerusakan akidah Muslim disimpulkan secara pendek sebagai bentuk pembangkangan syariat. Bahkan, lebih sadisnya bisa dikerucutkan menjadi bentuk pelencengan keimanan, kafir.

Muslim Interpretatif

Seperti terma “interpretatif”, kelompok Muslim ini bekerja dengan cara memasangkan dalil-dalil agama dengan sejumlah konteks-konteks dalam menanggapi suatu isu.

Pembacaan saya atas kelompok ini didasarkan pada satu pernyataan dari akun resmi Jaringan GUSDURian. Dasar berpikir faksi Muslim Interpretatif dimulai dengan penekanan, “misi utama pernikahan dalam Islam adalah kemaslahatan.”

Selanjutnya, hukum keagamaan yang dipakai ialah lima pilar dalam pernikahan dari Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubaadalah.

Pertama, mitsaqan ghalidlan. Ini adalah etika fundamental dalam pernikahan yaitu, ikatan pernikahan harus dijaga, dipelihara, dan tetap dilestarikan bersama-sama. Ini berkaitan dengan keyakinan bahwa pernikahan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Kedua, zawaaj atau berarti juga saling melengkapi. Ketiga, mu’asyarah bil ma’ruf. “sikap saling memperlakukan satu sama lain secara baik,” dalam tafsiralquran.id.

Keempat, musyawarah. Anggota keluarga dalam pernikahan menjalankan musyawarah sebagai cara menentukan keputusan. Kelima, taradlin yang bermakna saling menjaga kerelaan pasangannya dalam setiap tindakan.

Di bagian akhir, Jaringan GUSDURian mengingatkan, “pernikahan itu bukan hanya persoalan biologis, tetapi juga spiritual dan pertimbangan lainnya”.

Dengan demikian, sikap faksi Muslim Interpretatif dalam menaggapi childfree ini cenderung menunjukkan keterbukaan berpikir. Dengan catatan, tetap menjaga lima pakem pernikahan di atas.

Liberal dan Saintifik

Mungkin penamaan “liberal” untuk faksi berikut ini kurang tepat. Bisa saja mereka lebih cocok disebut kelompok “Kritis-Rasional”. Intinya, saya maksudkan untuk mewakili argumen pihak-pihak yang mendasari pemikirannya tidak pada ikatan keagamaan apapun, melainkan nalar secara total.

Dasar etika yang dipakai adalah kebebasan dan kebaikan universal, ataupun dilandasi oleh sains. Baik psikologi, ilmu lingkungan, sosiologi, manajemen, dan lainnya.

Beberapa yang mengamini pilihan childfree dengan alasan lingkungan, misalnya. Khususnya adalah persoalan pertambahan penduduk. Kelompok ini berpendapat, kepadatan manusia bisa berujung pada dampak-dampak peningkatan carbon print yang artinya memperparah fenomena perubahan iklim serta krisis pangan di kemudian hari.

Pernyataan sikap faksi Liberal dan Saintifik cenderung tidak mengatakan “tidak”. Sebagian memberi lampu hijau dan sebagian sisanya membebaskan pilihan childfree.

Normatif

Kelompok terakhir dan ini merupakan faksi paling absurd. Bukan saja pada cara mempertahankan argumen. Akan tetapi, juga dari cara mereka membangun dasar berpikir kometar atas isu childfree.

Faksi Normatif, seperti namanya, hanya berdasar pada konstruksi-konstruksi kebenaran yang umum ada di lingkungan masyarakat Indonesia. Di mana siklus hidup normal manusia adalah remaja-menikah-melahirkan-memiliki cucu-meninggal.

Jadi, bila ada ide berlainan dari mereka, serta merta akan dicap tidak normal dan dipersalahkan. Sesederhana itu. Di samping itu, kelompok ini tidak pernah memberi argumen-argumen kritis dan mudah dipatahkan.

Penutup

Demikianlah pengamatan sederhana saya. Walaupun saya juga menyadari bahwa tulisan ini tidak lepas dari bias dan penyudutan saya pada kelompok-kelompok tertentu. Sebab, saya sendiri lebih nyaman berdiri di faksi Muslim Interpretatif.

Akhir kata, mari kita biasakan “duduk” bersama sambil ngopi dan mendiskusikan opini masing-masing dengan tidak saling menarik urat leher. Sungguh, diskusi itu menyenangkan.

Yayum Kumai, Pasca Antropologi UGM, Penyelaras Penerbit Suara Muhammadiyah

Exit mobile version