Kenapa Amerika Gagal di Afganistan?
Oleh : Khoirul Bakhri Basyarudin
20 tahun Amerika menginjakkan kaki di Afganistan, setelah kehadirnya pertama kali pada tahun 2001 untuk memburu Osama Bin Laden, aktor utama dari serangan 11 September yang menghancurkan menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York.
Afganistan yang saat itu sedang dalam penguasaan Taliban, diyakini Amerika sebagai tempat persembunyian Osama bin Laden. Selanjutnya Amerika berhasil mengeksekusi Osama bin Laden di tempat persembunyianya di Abbotabad, Pakistan.
Meski demikian, Amerika masih tetap bercokol di Afganistan, melucuti pemerintahan Taliban Islamic Emirate Afganistan yang dianggap rakyatnya sendiri dan dunia sebagai pemerintahan yang menyerabut hak wanita, mioritas dan sarang gerakan teroris internasional. Selanjutnya Amerika membangun Pemerintahan baru Islamic Republic Afganistan dengan mengangkat Hamid Karzai sebagai Presiden (2004), dan mengahadapi pertempuran gerilya melawan kelompok Taliban.
Bulan ini, setelah lebih dari 100.000 ribu nyawa hilang dan lebih dari 2 trliun USD dihabiskan, Amerika resmi menarik pasukanya dari Afganistan secara bertahap, dan belum genap 30 hari, Taliban langsung menguasai Afganistan serta menduduki Istana Negara tanpa perlawanan, membuat Presiden resmi Afganistan dukungan Amerika Ashraf Ghani kabur ke luar negeri.
Lantas kenapa Amerika gagal membangun stabilitas di Afganistan?. Daron Acemoglu seorang guru besar dari Massachusetts Institute of Technology Cambridge menyatakan dalam tulisanya Why Nation-Building Failed in Afganistan bahwa kegagalan tersebut adalah bukti dari buruknya perencanaan yang telah dilaksanakan dan kurangnya intelijen yang akurat, kemudian antara lain;
Pertama, Amerika memandang pembangunan sebuah bangsa dengan mekanisme top-down dari atas ke bawah, teori bahwa dominasi kekuatan militer yang luar biasa dan penaklukkan atas sumber kekuatan lain akan mampu memaksakan kehendaknya dan membawa pada stabilitas. Namun kebijakan ini salah besar diterapkan di Afganistan.
Afganistan menolak tunduk kepada kekuatan Amerika, James Robinson dalam buku The Narrow Corridor menganggap kebijakan semacam ini tidak masuk akal, terlebih jika diterapkan dalam masyarakat yang heterogen dan telah lama diatur berdasarkan adat dan norma setempat, dimana lembaga negara telah lama absen.
Pendekatan top-down untuk pembangunan negara benar telah berhasil dalam beberapa kasus, seperti dinasti Qin di Cina atau Kekaisaran Ottoman di Turki. Tetapi sebagian besar negara telah dibangun dengan kompromi dan kerjasama.
Contohnya Indonesia, Muhammadiyah menyebutnya sebagai Darul ‘Ahdi wa as-Syahadah atau negara yang dibangun atas dasar kompromi dan kesepakatan bersama yang kemudian diakuai secara bersama oleh segenap kompenenya. Dalam model ini, negara tidak dipaksakan kepada masyarakat yang bertentangan dengan keinginanya, sebaliknya lembaga negara membangun legitimasi dengan mewadahi keinginan rakyat dan memperoleh dukungan rakyat.
Kedua, Amerika memahami Afganistan dengan kacamatanya sendiri. Amerika sadar bahwa untuk menciptakan negara yang stabil dengan kemiripan hukum di Amerika adalah dengan membangun lembaga negara yang kuat. Namun sialnya Afganistan belum memiliki lembaga negara, pasukan keamanan yang berfungsi, pengadilan dan birokrat yang berpengetahuan.
Jadi solusinya adalah dengan menuangkan sumber daya dan mentransfer keahlian dari luar Afganistan. LSM dan bantuan dari berbagai negara barat digelontorkan untuk membantu Afganistan dengan cara Amerika sendiri, tanpa memahami apakah rakyat Afganistan menginginkanya atau tidak.
Untuk menjaga stabilitas dan melancarkan program diatas, Amerika mengirim ratusan ribu pasukan. Tetapi alih-alih membawa ketentraman bagi rakyat Afganistan, rakyat Afganistan justru sejak awal telah meyakini bahwa kehadiran Amerika adalah operasi asing yang bertujuan untuk melemahkan Afganistan.
Ketiga, Amerika telah menuangkan sumber daya kepada rezim yang korup dan tidak representatif, mulai dari presiden pertama pasca Taliban Afganistan, Hamid Karzai dan saudara-saudaranya. Ashraf Ghani Presiden Afganistan yang didukung oleh Amerika dan telah melarikan diri ke Uni Emirat Arab ikut menulis sebuah buku yang mendokumentasikan skandal korupsi pada pemerintahan Afganistan. Namun, begitu berkuasa Ghani melanjutkan tradisi yang sama.
Benar, Amerika adalah pemenang perang dunia ke-2, diakui sebagai negara adidaya yang utama, akan tetapi perlu dicatat, Amerika belom pernah berhasil melawan perang gerilya, baik itu di Vietnam, Irak maupun Afganistan.
Khoirul Bakhri Basyarudin, Pemerhati dunia Islam dan Timur Tengah, Mahasiswa S3 Zitounah University Tunisia