‘Staat Van Oorlog’ Dibalik Gagalnya Pelaksanaan Kongres Ke-30 Muhammadiyah Tahun 1941
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Kongres-kongres Muhammadiyah yang diselenggarakan pada masa kolonial Belanda adalah suatu pencapaian tersendiri bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah di era itu memang merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang perkembangannya paling cepat, khususnya di Jawa dan Sumatra. Ini tampak dengan berdirinya berbagai cabang dan ranting Muhammadiyah di berbagai kota dan desa di luar tanah kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta. Sementara itu, kongres adalah momentum ketika pertumbuhan yang tinggi itu diingat kembali, diapresiasi, dan dirayakan oleh warga Muhammadiyah. Bagi publik di di kota tempat pelaksanaan kongres itu, acara ini merupakan suatu pertunjukan tersendiri, yang memberi mereka ide tentang kebesaran Muhammadiyah dan kontribusinya bagi kemajuan masyarakat.
Kongres-kongres yang direncanakan oleh Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di masa kolonial berhasil diadakan dengan sukses. Tapi, kongres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto tahun 1941 adalah pengecualian. Persiapan untuk kongres itu sudah dilaksanakan jauh-jauh hari. Namun, pada akhirnya penyelenggaraannya harus dibatalkan lantaran situasi keamanan di dalam dan luar negeri yang semakin memburuk seiring dengan meluasnya medan Perang Dunia Kedua dari Eropa hingga ke Asia.
Sebenarnya, separah apa kondisi kala itu hingga membuat kongres Muhammadiyah—yang selama beberapa dekade sebelumnya dikenal sebagai kongres yang dipersiapkan dengan manajemen yang sangat rapi—sampai harus dibatalkan?
Kongres Muhammadiyah ke-30 di Purwokerto rencananya akan diadakan paada tanggal 24-29 Desember 1941, tepatnya dari malam Kamis sampai malam Selasa. Untuk mengelola acara, kuasa diberikan kepada Comite van Ontvangst (C.v.O., panitia penerimaan), Hoofdcomite Congres Moehammadijah. Sembari mempersiapkan segala detail kongres, komite ini juga mengajak warga Muhammadiyah untuk meramaikan kongres tersebut. Slogan C.v.O. untuk menghidupkan animo warga Muhammadiyah guna berpartisipasi adalah: ‘Gembira! Semangat! Berfaedah!’.
Desain logo resmi kongres itu juga sudah dibuat, menggambarkan seorang petani bercaping yang mengayunkan cangkulnya untuk menggarap tanah, dengan sinar Muhammadiyah terpancar di latar belakang. Memang, salah satu tema yang akan dibahas di dalam kongres itu ialah mengenai perekonomian, tepatnya soal ‘landbouw’ atau pertanian.
Pendeknya, persiapan sudah sangat matang dan kongresnya tinggal menunggu dibuka saja.
Akan tetapi, pada saat yang sama, Hindia Belanda dan dunia tidak sedang baik-baik saja. Di Eropa, Nazi Jerman telah menduduki Belanda sejak 10 Mei 1940. Ini membuat khawatir banyak pihak di tanah jajahannya, Hindia Belanda, mengingat sekutu Nazi di Asia, Jepang, juga sedang melancarkan berbagai tindakan ofensif di luar negeri mereka. Jepang dan tetangganya yang lebih besar, Cina, sudah berperang sejak paroh kedua dekade 1930an, sementara di awal era 1040an itu Balatentara Dai Nippon mulai menyerang ke arah selatan. Pangkalan Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbor (Hawaii) dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941 (17 hari sebelum kongres ke-30 Muhammadiyah rencananya akan dibuka). Sehari kemudian, AS menyatakan perang dengan Jepang.
Bulan Desember itu juga menjadi bulan yang mengerikan bagi Asia Tenggara, yang menyaksikan wilayah yang amat luas ini jatuh ke tangan Dai Nippon. Dalam hitungan hari, satu per satu wilayah di daratan (mainland) Asia Tenggara direbut Jepang. Thailand menyerah pada 8 Desember 1941, lalu menyusul Burma, Filipina, Malaya dan Hindia Belanda pada bulan-bulan berikutnya. Artinya, situasi di Hindia Belanda telah memburuk dengan sangat cepat di akhir tahun 1941, yang membuat berbagai rencana untuk mengadakan kegiatan-kegiatan berskala masif dan melibatkan banyak orang di kota terpaksa dibatalkan. Fokus kini dialihkan pada menjaga keamanan dan keselamatan.
Situasi yang kian berbahaya ini dibaca pula oleh Muhammadiyah. Setelah kegiatan persiapan kongres ke-30 dilakukan dengan sangat aktif pada paroh pertama hingga ke pertengahan tahun 1941, terjadi pergeseran fokus sejak November 1941, atau sebulan sebelum kongres dibuka. C.v.O kongres masih menyampaikan berbagai detail tentang kongres serta ajakan untuk meramaikan kongres. Namun, ada kesadaran baru yang mereka bangun di tengah warga Muhammadiyah, yakni bahwa keadaan sedang memburuk dan mungkin bakal membawa dampak negatif pada aktivitas Muhammadiyah. Dalam sebuah publikasinya, C.v.O. menyebut ada penyederhanaan dalam persiapan untuk kongres itu ‘karena mengingati kegentingan soeasana’, yang jelas mengacu pada kondisi dunia yang sedang tidak stabil.
Pada 8 Desember 1941, atau sehari selepas pemboman Jepang atas Pearl Harbor yang menewaskan setidaknya 2.300 tentara AS dan menghancurkan ratusan pesawat dan kapal AS, Pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang dengan Jepang. Tanggal 9 Desember pemerintah mengeluarkan maklumat bahwa Hindia Belanda memasuki masa Staat van Oorlog (Keadaan Perang). Jaksa Agung Hindia Belanda mengeluarkan instruksi yang berkaitan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam situasi demikian. Isinya antara lain menyebut bahwa segala bentuk rapat umum dilarang diadakan, sementara rapat tertutup diperbolehkan selama tidak membahas persoalan politik, dan bilapun ada pengurus organisasi politik yang ingin mengadakan pertemuan, maka mereka haruslah melapor dulu kepada Asisten Residen. Polisi kolonial akan bertindak manakala aturan ini dilanggar.
Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi yang mendapatkan salinan dari instruksi tersebut, dan kemudian menyebarluaskannya kepada para anggotanya. Penafsiran atas maklumat itu dari perspektif Muhammadiyah juga dilakukan, mengingat bahwa sebagian besar kegiatan Muhammadiyah saat itu berkaitan dengan rapat atau pertemuan antaranggota, yang dikenal dengan istilah Belandanya, vergadering. Dengan demikian, akan besar sekali konsekuensi dari aturan itu bagi eksistensi gerakan Muhammadiyah.
Pada 13 Desember 1941, atau kurang dari seminggu setelah pemboman Pearl Harbor, HB Muhammadiyah di Yogakarta mengeluarkan sebuah maklumat yang ditujukan kepada para konsul dan pengurus cabang Muhammadiyah serta juga untuk publik Hindia Belanda pada umumnya. Muhammadiyah telah memutuskan untuk meniadakan segala macam rapat umum (openbare vergadering). Ini jelas berefek besar pada rencana pelaksaan kongres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto yang sebenarnya tinggal menghitung hari. Dalam maklumat itu, HB Muhammadiyah mengumumkan ‘dengan sedih hati’ bahwa kongres tersebut ‘tidak dapat dilangsoengkan’. Maklumat ini disiarkan baik kepada para anggota Muhammadiyah maupun kepada masyarakat umum (melalui media-media cetak seperti Aneta dan Antara). Persiapan kongres dihentikan sementara berbagai prasaran yang sudah dikemukakan sebelumnya diharapkan untuk dipelajari ulang sambil menunggu kondisi membaik.
Maklumat itu juga diharapkan menjadi panduan bagi anggota Muhammadiyah untuk tetap dapat berkegiatan di tengah situasi perang itu. Isinya yang lain ialah instruksi agar kegiatan Muhammadiyah di daerah bila perlu diubah waktu pelaksanaannya dari malam hari menjadi siang atau sore hari. Sebelumnya, Muhammadiyah sudah biasa mengadakan rapat dan pengajian pada malam hari. Bahkan, kongres ke-30 rencananya akan dibuka pada jam 8 malam. Namun, di tengah bayang-bayang perang, orang menjadi khawatir bila keluar rumah selepas senja.
Kekhawatiran lain yang muncul di antara cabang-cabang Muhammadiyah di daerah ialah tentang hal yang lebih esensial, yakni apakah sebenarnya mereka masih boleh mengadakan rapat, termasuk dalam skala kecil. HB Muhammadiyah di Yogyakarta memahami kecemasan ini dan memberikan petunjuknya. Dalam sebuah maklumatnya yang lain, HB Muhammadiyah menekankan bahwa kegiatan seperti tabligh, taswir, pengajian, kursus dan perayaan hari besar Islam tidaklah dilarang. Lalu bagaimana dengan pertemuan antarpengurus yang bersifat tertutup? HB Muhammadiyah, yang diketuai oleh K.H. Mas Mansoer, menyebut tidak ada larangan untuk itu lantaran Muhammadiyah tidaklah berpolitik.
Sementara itu, dengan maklumat tanggal 13 Desember 1941 yang dikutip sebelumnya, batal sudah rencana untuk melaksanakan kongres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto. Muhammadiyah menyadari bahwa para calon peserta kongres sangat berharap untuk mengikuti kongres itu, apalagi melihat keberhasilan kongres-kongres sebelumnya dan persiapan matang yang sudah dijalankan. Namun, peperangan hampir sampai di tanah Jawa. Alhasil, HB Muhammadiyah pun membatalkan membatalkan kongres demi keselamatan bersama.
Pada Desember 1941, bulan rencananya kongres itu akan digelar, Jepang sudah mendekati Semenanjung Malaya. Tanggal 11 Januari 1942, Jepang menyerang Tarakan (Kalimantan Timur). Sebagaimana bisa diduga, Jawa, pusatnya Hindia Belanda, tinggal menunggu waktu saja. Pada 1 Maret 1942 pasukan Jepang akhirnya mendarat di Jawa, tepatnya di Banten, sekitar 500 km dari Purwokerto. Seminggu kemudian, pasukan Jepang berhasil menguasai Purwokerto, kota yang diagendakan sebagai lokasi kongres itu.
Walaupun kongres telah dibatalkan secara resmi, HB Muhammadiyah juga berdoa agar situasi perang itu hanya sementara saja, dan keadaan kembali normal sehingga kongres Muhammadiyah dapat dilangsungkan. HB Muhammadiyah mengajak warga Muhammadiyah untuk ‘shabar dengan tidak poetoes pengharapan, moedah-moedahan dibelakang hari kita dapat langsoengkan Congres kita itoe, sebagaimana moestinja dengan menambah kebaikannja’.
Sebagaimana diketahui, harapan itu akhirnya terwujud dalam bilangan beberapa tahun saja. Pada tahun 1944, ketika Balatentara Dai Nippon berkuasa di Indonesia, Muhammadiyah kembali bisa melaksanakan kongresnya, kali ini yang ke-31, yang dikenal sebagai Muktamar Darurat. Memang kongres ini tidak seramai dan semeriah biasanya (karena hanya dihadiri oleh utusan se-Jawa saja dan Perang Dunia Kedua yang masih berkecamuk), namun sudah cukup untuk memberikan suasana berkongres bagi sebagian warga Muhammadiyah dengan segala keterbatasan yang ada akibat suasana perang.
Muhammad Yuanda Zara, Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2020