Akupun Jadi Suka Musik, Berguru Kepada Bu Mardisiswaya

Akupun Jadi Suka Musik, Berguru Kepada Bu Mardisiswaya

Murid TK ABA Bodon pada 2018 Foto Dok Dwi Hastuti

Akupun Jadi Suka Musik, Berguru Kepada Bu Mardisiswaya

Bu Mardisiswaya, guru dan kepala sekolah TK ABA Bodon Kotagede, tempat aku memulai hidupku sebagai cah sekolah. Bu Mardisiswaya adalah isteri dari Pak Mardisiswaya, Kepala Sekolah dan guru SD Muhammadiyah Bodon Kotagede. Pak Mardisiswaya waktu itu mengajar di kelas satu SD Muhammadiyah Bodon Kotagede. Jadi yang diajarkan nyambung dengan yang diajarkan oleh Bu Mardisiswaya di TK ABA.

Bedanya, Pak Mardisiswaya lembut dan suka senyum kalau mengajar, sedang Bu Mardisiswaya lebih tegas dan canthas suaranya. Sinar matanya tajam menembus mata muridnya sehingga murid tidak berani nakal atau berbohong. Sampai saya besar dan dewasa kalau mendengar ada Ibu-Ibu ‘Aisyiyah bicara dengan suara tegas dan canthas saya selalu ingat dengan Bu Mardisiswaya. Kesan pertama seperti guru galak dan kereng tetapi para murid suka padanya.

Sebab beliau baik hati dan mencintai murid-muridnya. Beliau mengajar dengan hati, dengan cinta. Murid sangat merasakan itu. Dengan demikian apa saja yang diajarkan mudah mengalir masuk ke dalam hati dan otak murid-muridnya.

Bu Mardisiswaya sangat menghargai keberanian muridnya. Termasuk keberanian datang ke sekolah dan pulang sendiri, tanpa ada yang mengantar. “Kan banyak teman yang rumahnya berdekatan. Berangkat bareng dan pulang bareng lebih asyik nggih?”

Nggih, Bu.”

Jarak rumahku dengan gedung kuno, rumah wong Kalang, yang menjadi tempat belajar TK ABA agak jauh bagi anak berusia enam tahun. Sekitar lima ratus meter lebih. Melewati lorong kampung yang berliku-liku. Tembok kuno di kiri kanan lorong, menutupi rumah-rumah kuno berpendapa. Dari kampungku, Pondongan, melewati kampung Celenan, pinggir kampung Citran, memasuki sebagian kampung Jagalan masuk kampung Bodon.

Kalau berjalan kaki dengan kaki-kaki kecil anak TK, waktu yang ditempuh dari rumah sampai sekolah sekitar lima belas menit. Pulang bisa lebih cepat karena kami kadang berlari sambil tertawa waktu pulang. Atau berjalan pulang dengan langkah tertib sambil menyanyikan lagu gembira yang baru diajarkan Bu Guru.

Sepanjang ingatanku, sekolah di TK ABA ini penuh kegembiraan. Mungkin menggembirakan anak-anak di usia dini menjadi misi penting guru waktu itu. Tujuannya jelas, agar di dalam jiwa anak didik tertanam optimisme dalam menjalani hidupnya. Untuk konteks waktu itu penting. Sebab kami adalah anak anak yang lahir pada zaman pasca perang. Anak kelahiran tahun 1950-an.

Kebanyakan ayah kami adalah pejuang yang terlibat mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang akan dijajah kembali oleh Belanda. Padahal orang Indonesia sudah hampir melupakan Belanda yang kalah telak oleh balatentara Jepang. Orang Indonesia lebih mengingat Jepang yang dengan penuh disiplin justru melatih perang generasi mudanya. Kehidupan yang militeristik model Jepang ini ternyata malah ada gunanya ketika Indonesia merdeka dan hendak dijajah lagi oleh Belanda. Belanda tentu kaget mendapat perlawanan tangguh, perlawanan rakyat yang menghubungkan metode perang semesta. Sampai akhirnya Belanda putus asa dan memilih berunding lalu angkat kaki dari Indonesia selama lamanya.

Kisah heroik para pejuang, ayah-ayah kami mewarnai masa kanak-kanak kami. Agar kami tidak menjadi generasi yang hilang, maka perlu ditanamkan semangat optimistis dalam jiwa anak-anak.

Anak-anak yang lahir di tahun 1950-an memasuki masa kanak-kanak di tahun-tahun 1960 memang kemudian merasakan berada di tahun-tahun sulit. Ada perang perjuangan membebaskan Irian Barat, ada perang melawan nekolim Malaysia, perang ekonomi melawan predator ekonomi yang membuat kemakmuran merosot dan perang ideologi melawan komunis dan komunisme.

Anak anak merasakan ketegangan hidup dalam suasana perang seperti itu. Untuk anak-anak Muhammadiyah sudah dididik untuk optims saat TK ABA, dan ketika SD dilatih Tapak Suci kemudian dilatih drum band ditambah lagu mars Muktamar dan mars lainnya.

Saya merasa beruntung dan berterima kasih kepada Bu Mardisiswaya yang telah menanamkan semangat penuh optimisme. Lebih-lebih Bu Mardi suka mengajarkan lagu anak yang gembira sehingga di kemudian hari saya menjadi menyukai musik. Ketika saya menulis puisi misalnya, dengan dengan mudah memasukkan hal yang musikal di dalamnya.

Memang, saya pernah nakal, menyanyikan lagu dewasa ketika disuruh bernyanyi di depan kelas. “Oh, kasihku mengapa menangis tersedu. Aku cinta padamu,” begitu aku bernyanyi.

Bu Mardisiswaya tampak akan marah tetapi kemudian amarah itu ditahan, lalu beliau bertanya,”Dari mana kamu dapat lagu itu Le?”

“Waktu tetangga mantu Bu. Penyanyi melagukan itu.”

“Apa ada lagu lainnya?”

“Ada Bu. Lagu Cha Cha Cha.”

“Coba nyanyikan.”

“Cha Cha Cha menari Cha Cha Cha. Irama lagu yang gembira….”

Bu Mardisiswaya bertepuk tangan diikuti teman-teman.

Bu Mardisiswaya juga mengajarkan berdoa. Ada dua doa penting yang selalu diingat selama hidup saya. Pertama, Allahummaghfirli wa liwalidayya warhamhu ma kama robbayanii shoghiroo. Aamiin.

Ini lagu mendoakan orang tua. Doa yang amat penting karena menghubungkan dengan masa silam kita.

Lalu ada doa yang kemudian menjadi doa wajib bagi jurnalis sebelum bertugas. Bunyinya: Allahumma arinil haqqo haqqo wazuqnittiba’ah wa arinil bathila bathila warzuqnijtinabah. Aamiin.

Dengan berbekal doa seorang jurnalis yakin dan percaya diri dalam menjalankan tugasnya untuk menulis kebenaran fakta yang dia temukan. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version