Bagaimana Seharusnya Afganistan Membangun Negara?
Oleh : Khoirul Bakhri Basyarudin
Senin 30 Agustus 2021 adalah malam pertama bagi rakyat Afganistan hidup tanpa kehadiran satu pun tentara Amerika di negaranya, setelah 20 tahun hidup dalam bayang-bayang militer Amerika.
Lantas kenapa Amerika menyerah membangun Afganistan sebagai negara sekutunya di kawasan tersebut?, tentu saja tidak tanpa alasan. Jelas, Amerika punya strategi atau fokus lain, di tengah memanasnya eskalasi di Indo Pasifik, namun kali ini kita tidak akan membahas perkara ini.
Setelah pengumuman resmi penarikan militer Amerika dan sekutunya dari Afganistan, mayoritas akademisi barat menyebut Afganistan sebagai negara yan tidak mau dibangun. Michael Puttré menyebut dalam judul artikelnya pada laman Discourse Magazine “The Lesson of Afghanistan: Nations that Dont Want To Be Built Will Not Be”, dalam terminologi lain kita biasa mengutip kalam Ilahi “Sungguh Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS 13:11).
Taliban adalah penguasa de facto Afganistan saat ini, setelah kelompok tersebut resmi menguasai Ibu Kota Kabul dan istana presiden. Sekarang adalah saat yang tepat bagi Taliban untuk membuktikan kepada rakyatnya dan dunia, bahwa kelompoknya layak memimpin negara tersebut. Taliban perlu melakukan beberapa pembaharuan pokok untuk membangun kembali negaranya;
Pertama, Taliban harus melepaskan tafsir tunggal tentang penerapan hukum Syariah. Jika kita amati perebutan kekuasaan di Afganistan dan perubahan sistem pemerintahanya pasca invasi Soviet, sebenarnya tidak jauh dari selogan “Islam”, dari Islamic Emirate Afghanistan versi Taliban dan Islamic Republic Afghanistan versi Hamid Karzai.
Taliban di Afganistan harus paham bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mewariskan tafsir tunggal tentang bentuk pemerintahan dalam Islam. Buktinya empat khalifah pasca wafatnya Nabi diangkat dengan cara yang berbeda. Taliban sendiri belom mengumumkan secara detail tentang bentuk pemerintahan yang akan ia bangun
Berdasar pengalaman pahit pemerintahan Taliban dimasa lampau, Haroun Rahimi dari American University of Afghanistan dalam artikelnya What the Taliban May be Getting Wrong About Islamic Governance mewanti-wanti kepada dunia agar terus menekan Taliban dalam penerapan hukum syariah yang inklusif.
Kedua, Taliban harus membuat konsep pemerintahan yang inklusif, kuat dan jelas, yang mampu berkompromi dan menyatukan berbagai kelompok dan faksi di Afganistan. Afganistan sebagai negara dengan penduduk hampir semuanya beragama Islam seharusnya lebih mudah menyatukan diri dan membuat kompromi antar kelompok dan faksi. Namun, faktanya pasca hengkangnya Soviet dari Afganistan, perang antar kelompok di Afganistan terjadi lebih sadis daripada saat mereka berperang melawan Soviet.
Sudah betul jika pemimpin Taliban dan Afganistan lainya berkunjung ke Indonesia, mereka harus belajar dari Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, ratusan suku, dan belasan ribu pulau, namun mampu berkompromi dan bersepakat dalam membangun Negara Kesatuan. Wahai pemimpin Taliban, lebih seringlah berkonsultasi dengan Indonesia dan ulama Indonesia khususnya Muhammadiyah dan NU.
Konsep negara Pancasila yang telah diterapkan di Indonesia layak ditiru oleh pemimpin Taliban. Pancasila atau lima dasar bernegara tidak bertentangan dengan syariat islam, justru ia adalah implementasi dari tujuan penerapan hukum syariah (Maqasid Syariah), yang tertuang dalam lima pokok: 1. Hifdh ad-Diin, menjaga agama, .2 Hifdh an-Nafs, menjaga jiwa manusia, 3. Hifdh al-‘aql, menjaga akal, 4. Hifdh an-Nasl, menjaga kelangsungan generasi penerus, 5. Hifdh al-Mal, menjaga harta.
Lebih dari itu, Taliban perlu memahami bahwa Pancasila sebagai hasil daripada Piagam Jakarta adalah implementasi kongkrit dalam meneladani Nabi dalam penerapan Piagam Madinah (Watsiqoh Madinah), yaitu kompromi dan kontrak bernegara yang telah dilakukan Nabi saat pertama kali hijrah ke Madinah, menyatukan berebagai suku, kelompok dan faksi yang ada, untuk bersama membangun ketentraman dalam bernegara.
Ketiga, Taliban harus membuka diri dan bekerjasama dengan negara manapun, dalam membangun negara yang telah lama porak poranda akibat perang yang berkepanjangan, Afganistan perlu investasi besar dalam pembangunan, baik pembangunan yang bersifat fisik, maupun pembangunan sumber daya manusia. Ungkapan klasik “Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak” layak dijadikan patokan.
Bahwa dalam komunitas internasional, Taliban sebagai penguasa Afganistan tidak mungkin berdiri sendiri, ia harus mampu meyakinkan dunia, janji-janji yang ia sampaikan disaat menguasai istana negara kemarin harus dibuktikan.
Jika berbagai poin diatas mampu Taliban implementasikan, Ia tidak hanya menjadi penguasa de facto Afganistan, tetapi juga akan menjadi penguasa de jure.
Khoirul Bakhri Basyarudin, Pemerhati dunia Islam dan Timur Tengah, Mahasiswa S3 Zitounah University Tunisia.