Tauhid First, Titik Temu Beragam Persoalan dalam Pandangan Buya Hamka

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Melihat kondisi bangsa dan negara yang semakin jauh dari keluhuran nilai dan moral, Pusat Studi Buya HAMKA (PSBH) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) mengadakan webinar yang bertajuk “Mengurai Titik Temu Falsafah Ketuhanan, Kemanusiaan dan Negara Buya HAMKA”. Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Zainun Kamal dan pakar filsafat kenamaan, Rocky Gerung,  hadir sebagai pembicara utama dalam kegiatan tersebut.

Acara webinar dibuka oleh perwakilan rektorat UHAMKA, Dr. Bunyamin, yang memberikan pengantar bahwa Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah seorang ulama yang akrab dengan filsafat. Filsafat digunakannya sebagai alat untuk memahami dan juga memberikan pandangan terkait kondisi-kondisi terkini pada zamannya. “Islam sebagai dasar pemikiran HAMKA bertalian dengan filsafat yang membentuk kombinasi mengagumkan yang harusya dapat dicontoh generasi kini untuk mengurai persoalan bangsa saat ini” terang Bapak Wakil Rektor bidang Al Islam dan Kemuhammadiyahan.

Sebagai pembicara pertama, Rocky Gerung berpendapat bahwa HAMKA adalah seseorang yang meletakkan keyakinannya dalam ajaran agama (Islam) yang final sebagai fondasi utama pemikirannya. Rocky memberikan istilah “Tauhid First” sebagai salah satu keunikan yang dimiliki oleh seorang HAMKA. Tauhid First tersebut bersatu padu dengan kemampuan filsafat yang dimilikinya untuk dapat memahami dan menyikapi pelbagai persoalan yang ada pada zamannya.

“Dia berbeda dengan para pemikir Barat yang secara absolut meletakkannya filsafat pada basis kesetaraan dan kebebasan individual. Filosof Barat selalu mempertanyakan segala hal, sedangkan HAMKA ada beberapa nilai atau ajaran yang telah bersifat final,” jelasnya. Oleh karena itu, HAMKA merupakan seorang pemikir yang modernis. Sebab dapat menghubungkan dengan elegan kondisi dunia yang selalu berubah atau perkembangan peradaban dengan pemahaman teokratis yang final dalam agama. “HAMKA mengajarkan kita untuk berpikir menggunakan nalar dan menguji yang belum selesai oleh keyakinan dari tauhid,” tambah Rocky Gerung.

HAMKA memang bukanlah seorang filsuf yang berada di menara gading dalam menganalisis dan memberikan komentar terkait persoalan-persoalan negara dan bangsanya. Buya merupakan seseorang yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakatnya. Politik praktis pernah dia ikuti, aktivitas awalnya sebagai jurnalis adalah bukti bahwa HAMKA ingin semua orang secara luas dapat mengkakses jalan pikirannya. Tak hanya itu, sebagai orang yang merdeka, dia membentuk sendiri kurikulum etisnya. Suatu kurikulum yang berasal dari pemahaman, pendidikan dan pengalamannya yang panjang dalam pengembaraan keilmuan semenjak di ranah Minang hingga berbagai kota besar di Indonesia. “Dia tidak ingin orang lain bahkan negara mendikte nilai etis yang dipegangnya erat” kata mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia tersebut.

Buya HAMKA juga merupakan simbol dan sekaligus guru moral bagi bangsa ini. Dia mengajarkan bahwa moral merupakan nilai tertinggi dan pertimbangan atas moral harus jauh melampaui pertimbangan apapun, termasuk pertimabangan politik. HAMKA mengajarkan dan mempraktekkannya. Kita harus mengikutinya, kalau tidak mau menguburkan HAMKA sebanyak dua kali. “Kuburan atas fisiknya di liang lahat, dan kuburan atas praktek moral tinggi yang diwariskannya” pungkas pakar filsafat yang kritis terhadap penguasa tersebut.

Sedangkan Prof. Dr. Zainun Kamal yang didapuk sebagai pembicara selanjutnya, menceritakan bahwa dalam ilmu filsafat yang telah lama digelutinya, terdapat tiga nama besar dari ranah Minang yang dikaguminya. Tiga nama itu adalah  Dr. Muh. Hatta, M. Natsir dan juga Prof. Dr. HAMKA. Ketiganya merupakan pemikir besar yang menguasai filsafat dan menyebarluaskan pemikirannya lewat karya-karya yang diterbitkan. Sebagai salah satu dari tiga orang besar tersebut, HAMKA memperoleh kemampuan filsafat lewat berbagai macam pendidikan.

Pendidikan pertama didapat dari ayahnya sendiri yang bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan “Inyiak Doktor”. Ayahnya yang merupakan seorang ulama besar dan tokoh utama Kaum Muda, suatu sebutan untuk golongan ulama yang memiliki ide pembaharuan di ranah Minangkabau. Lewat Pendidikan dari Ayahnya, HAMKA belajar agama Islam dasar seperti Quran dan Hadits. Lalu Pendidikan selanjutnya diperoleh HAMKA di Perguruan Thawalib Panjang yang menerapkan sistem pendidikan Islam modern. Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah, pendidikan dari alam Minangkabau itu sendiri.

Menurut Prof. Dr. Zainun, pendidikan terakhir tersebut sangatlah penting dalam peletakan pondasi filsafat Buya HAMKA. Alam Minangkabau merupakan alam yang penuh dengan dialektika dan perdebatan. Minangkabau yang memegang filosofi “Alam Takambang Jadi Guru”, menjadikan HAMKA selalu giat untuk menuntut ilmu dan belajar dari alam dan kondisi sosialnya yang selalu dinamis. Alam yang seperti itu membuatnya berani untuk memasuki alam filsafat yang membutuhkan dialektika. Bahkan HAMKA tidak hanya menjadikan filsafat sebagai alat, seperti yang disebutkan Rocky Gerung dan Dr. Bunyamin, tetapi “menjadikan filsafat sebagai alamnya sendiri. antara dunia nyata atau kondisi ril bersatu padu dengan pikirannya yang cerdas” jelas pakar filsafat yang pernah menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terserbut.

Lanjutnya, HAMKA juga dapat menjelaskan dengan baik kepada lawan bicara atau lawan berpikirnya berbagai ajaran atau pandangan Islam dengan cara filsafat. Dia dapat merespon berbagai persoalan termasuk persoalan kenegaraan dengan landasan moral dan filosofisnya yang dalam. Dia telah menunjukkan bagaimana untuk dapat berbicara pada zamananya. Merespon dengan filsafat, filsafat yang berdasarkan pada ajaran Islam. Bukti konkritnya adalah HAMKA memaparkan bahwa nilai  kemanusian (humanisme) tidaklah berdiri sendiri. nilai tersebut berasal dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan manusia bukanlah bersifat absolut atau merupakan segalanya, tetapi dia terikat dengan nilai moral yang diajarkan lewat agama. Pandangan tersebut dibawanya ketika mengikuti perdebatan di Majelis Konstituante untuk menemukan bentuk dasar kenegaraan dan kebangsaan kita.

Sebagai penutup, Prof. Dr. Zainun Kamal menyatakan bahwa “bangsa dan negara kita seperti mengalami ketertinggalan dengan bangsa dan negara lainnya. Karena tidak mau mengikuti HAMKA. Tidak mau menggunakan filsafat dalam menghadapi dinamika zaman dan juga menggunakan moral dan agama untuk menyikapinya.” Senada dengan hal tersebut, Rocky Gerung juga menyatakan bahwa kita harus tetap mengikuti HAMKA yang terus berfilsafat dan berpikir. Menurutnya, berhenti bersifat berarti kita telah berhenti berpikir dan mengabaikan suatu rahmat luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita. Namun, pikiran juga harus dilawan dengan pikiran. Dia merupakan suatu kegiatan yang harus “diganggu” dengan komentar atau kritik yang lain. “Kalau pikiran tidak mau diganggu, berarti dia sedang berdoa atau bukan sedang berpikir,” imbuh pakar filsafat tenar tersebut.

Kegiatan webinar tersebut berlangsung selama kurang lebih dua jam. Dipandu oleh Dr. Budi Johan, Wakil Ketua Pusat Studi Buya HAMKA (PSBH) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) sebagai moderator. Diikuti ratusan peserta yang bergabung menggunakan aplikasi Zoom Meeting dan juga tampil secara live di media sosial Youtube. Webinar juga berlangsung secara dialektis dengan pemaparan dari pembicara ditanggapi oleh beberapa peserta webinar dan kemudian ditanggapi kembali oleh dua pembicara utama yang sangat ahli dalam bidang filsafat. Banyak poin yang bisa diambil dari diskusi, dan salah satunya adalah bahwa dengan terus berfilsafat kita dapat merespon dan mengurai persoalan bangsa ini, karena berfilsafat juga berarti memegang komitmen moral yang kuat. (Riz)

Exit mobile version