Menuju Pesantren Muhammadiyah Terakreditasi
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Pada tanggal 27 Agustus 2021 pukul 19.30 s.d. 21.30 WIB secara on line melalui zoom meeting, Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM) menyelenggarakan diskusi terpumpun dengan tema sentral menggagas akreditasi Pesantren Muhammadiyah sebagai salah satu instrumen penjamin mutu dan kualitas pesantren Muhammadiyah.
Sebagaimana yang dipaparkan juga oleh Dr. Toni Toharudin, M.Sc. selaku ketua BAN S/M ketika menjadi nara sumber pembuka dalam acara FGD ini, akreditasi internal ini sangat penting karena sejak adanya LP2PPM sebagai salah satu lembaga struktural di lingkungan PP Muhammadiyah yang khusus menangangi pendidikan pesantren, semangat warga Muhammadiyah dalam mendirikan pesantren dan lembaga-lembaga dengan sistem asrama ini sangat luar biasa, dan sesuai dengan catatan terakhir per 25 Agustus 2021 jumlah pesantren Muhammadiyah sudah mencapai 497, padahal data yang tercatat pada awal periode kelahiran LP2PPM ini jumlahnya tidak lebih dari 60 pesantren.
Tuntutan terhadap LP2PPM untuk membuat pedoman dan panduan penyelenggaraan pesantrenMu pun semakin deras sebagai dasar hukum bagi PRM/PCM/PDM yang ingin mendirikan pesantren. Maka sejak bulan pertama setelah Muktamar di Makassar LP2PPM langsung membreakdown semboyan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas dalam rangka mewujudkan impinan para mudir pontrenMu tersebut, sehingga dalam satu periode ini saja LP2PPM sudah mengeluarkan karya yang luar biasa, antara lain; buku paduan dan buku pedoman penyelenggaraan pendidikan di pesantren Muhammadiyah, silabus pembelajaran mata pelajaran khas pesantrenMu dan yang lebih fenomenal lagi adalah terbitnya 35 buku ajar berbahasa arab karya asātidzah beberapa pesantren Muhammadiyah.
Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa respon mayoritas pesantren Muhammadiyah terhadap karya besar LP2PPM ini sangat minim tidak sesuai dengan tingginya tuntutan yang diamanatkan kepada lembaga baru ini. Saya pribadi sering mengilustrasikan hubungan LP2PPM dengan pesantren-pesantren Muhammadiyah seperti hubungan salah seorang nabi dengan bani Israil yang digambarkan di dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 246 di mana bani Israil selalu menuntut nabinya untuk menentukan seorang raja sebagai panglima sehingga mereka bisa berperang melawan musuh-musuhnya, tetapi ternyata mereka hanya ngomong doang karena ketika perintah perang sudah turun malah mereka menolak dan banyak yang berpaling.
Begitu pula pesantren-pesantren Muhammadiyah banyak yang tidak siap melakukan adaptasi atau perubahan sesuai dengan struktur dan kultur pesantren Muhammadiyah yang digariskan di dalam panduan dan pedoman penyelenggaraan pesantren Muhammadiyah tersebut. Fakta dan ilustrasi ini sengaja saya angkat untuk dijadikan sebagai landasan fisolofis dan pijakan bagi LP2PPM dalam menentukan komponen dan instrumen akreditasi pesantren Muhammadiyah, sehingga komponen dan instrumen yang ditentukan tidak semakin membuat pesantren-pesantren Muhammadiyah frustasi, karena tidak mampu memenuhi grade yang ditentukan.
Saya sebagai mudir bidang pendidikan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran merasa terhormat bisa hadir urun rembug dalam FGD tersebut bersama KH. Aly Aulia direktur Muallimin Yogyakarta, KH. Anang Rikza Masyhadi direktur Tazakka Batang, KH. Ayik Mukhtar direktur Darul Arqam Garut dan Dr. Derliana Direktur Kulliyatul Muballighat Kauman Padang Panjang.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas saya sampaikan bahwa pesantren secara umum merupakan lembaga pendidikan yang sangat berbeda jauh dengan sekolah dan madrasah yang berbasis kepada pembelajaran klasikal. Siklus kehidupan yang konstan dan ajeg selama 24 jam di lingkungan pesantren dengan mengandalkan pada keteladanan dan kekuatan karakter sang kyai menjadi faktor yang sangat dominan dalam membentuk karakter santri-santrinya yang tidak ditemukan di sekolah dan madrasah yang tidak berbasis asrama.
Di samping itu pembiasaan ibadah yang terstruktur secara alami baik dalam bentuk shalat jamaah atau ibadah-ibadah tathawwu` yang lain juga menjadi unsur penting dalam menanamkan sikap disiplin pada diri santri-santri pesantren itu. Pada prinsipnya kehidupan di pesantren itu berputar pada masjid dan asrama; melaksanakan ibadah dan mengikuti kajian di masjid, kemudian bersosialisasi di lingkungan asrama (pondokan) menjadi rutinitas harian sepanjang tahun.
Sehingga dengan sangat sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal secara klasikal sekalipun, tetapi siklus kehidupan pesantren berjalan dengan teratur dan kyai menjalankan fungsinya sebagai tokoh sentral dan figur teladan bagi warga pesantren, maka pesantren semacam ini harus diapresiasi sebagi pesantren yang terakreditasi dan berhak memperoleh nomer induk dan izin pendirian pesantren, meskipun tidak memenuhi kriteria pesantren yang ditawarkan oleh Zamakhsyari Dhofier.
LP2PPM telah bergerak cepat dan bijak menyikapi terbitnya undang-undang Pesantren terbaru yang terkesan lebih banyak nuansa politisnya dan berorientasi memihak kepada satu kelompok masyarakat tertentu dengan melakukan koordinasi yang intens dengan beberapa pakar pendidikan untuk mengkaji secara mendalam isi dan substansi UU tersebut, di samping itu ketua LP2PPM Dr. Masykuri, M.Ed. juga telah berulang kali melakukan audiensi dengan instansi-instansi terkait baik di tingkat DPR maupun pada tataran kementrian agama sebagai upaya klarifikasi sekaligus memperjuangkan keberadaan pesantren-pesantren Muhammadiyah untuk tetap mendapatkan pengakuan administratif dari negara.
Begitu pula ketika pemerintah dalam hal ini kementrian agama berkeinginan menyelenggarakan akreditasi di tingkat pesantren dengan membentuk sebuah badan akreditasi pesantren bernama majelis masyasikh, LP2PPM menyikapinya dengan menyelenggarakan FGD ini sebagai langkah awal menyerap dan mendengar beberapa masukan dari para tokoh pendidikan dan paparan best practice dari beberapa pesantren dalam rangka menentukan komponen dan instrumen akreditasi yang dianggap paling mempengaruhi kualitas proses pembelajaran di pesantren.
Secara global dapat dikatakan bahwa setidaknya ada dua landasan teori yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk menentukan komponen akreditasi pesantren, yaitu landasan teologis dan landasan sosiologis. Quran Surat al-Taubah [9]: 122 dapat dijadikan sebagai landasan teologis untuk menentukan komponen akreditasi pesantren, karena secara tidak langsung ayat ini sudah diakui bersama sebagai ayatnya pesantren. Dari ayat ini bisa diambil minimal 3 standar penilaian;
Pertama, standar santri sebagai peserta didik yang digambarkan di dalam ayat tersebut sebagai kelompok spesial yang memiliki karakter khusus (fa law lā nafara min kulli firqatin minhum thā’ifah); Kedua, standar proses yaitu li yatafaqqahū fī al-dīn dan ini menjadi komponen yang sangat penting bagi semua jenis pesantren, karena proses tafaqquh ini merupakan core of the corenya pesantren, baik melalui pembelajaran formal dengan sistem kelas, atau melalui pengajian informal di mesjid. Ketiga adalah standar lulusan yang intsrumen utamanya ada pada peran religiusitas para alumninya di lingkungannya. (li yundzirū qawmahum idzā raja`ū ilayhim).
Adapun landasan sosiologis mengacu kepada definisi pesantren yang dikembangkan oleh Pondok Modern Gontor, yaitu bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai figur sentral dan masjid sebagai pusat kegiatan (pembelajaran dan keagamaan). Dengan mengacu kepada definisi klasik ini dapat ditentukan secara garis besarnya beberapa komponen yang bisa dikembangkan pada tataran instrumennya secara terperinci.
Pertama sarana dan prasarana yang di dalam konteks persyarikatan baik bangunan maupun lahan menjadi aset muhammadiyah bukan aset yayasan yang didrikan oleh kyainya. Kedua, keberadaan kyai di lingkungan pesantren sebagai teladan dan figur sentral bagi seluruh warga pesantren, dan komponen ketiga dari landasan sosiologis ini adalah standar proses, yaitu sebuah sistem yang konstan, teratur dan terstruktur dalam penyelenggaraan pembelajaran dan pembiaasaan. Dengan demikian secara garis besar ada lima komponen yang bisa ditentukan sebagai standar penilaian pesantren Muhammadiyah; standar santri, standar lulusan, standar kyai/pendidik, standar proses dan standar sarana, yang secara terperinci instrumennya bisa dikembangkan dari pedoman dan panduan penyelenggaraan pesantren Muhammadiyah yang sudah tanfidz dengan tetap mengadaptasi komponen dan instrumen yang terdapat pada akreditasi sekolah dan madrasah tahun 2020.
Gagasan tentang adanya instrumen akreditasi pesantren Muhammadiyah tidak hanya untuk membantu pesantren-pesantren muhammadiyah menyiapkan diri menghadapi akreditasi eksternal dengan target mendapat pengakuan legal dari pemerintah saja, tetapi harus juga mempunyai tujuan konkrit yang bisa dirasakan oleh warga muhammadiyah secara umum. Akreditasi internal ini harus berfungsi sebagai instrumen untuk memilah, memilih dan menentukan pesantren muhammadiyah yang struktural dari yang kultural, karena secara kelembagaan 497 pesantren yang tercatat di data base LP2PPM tidak semuanya berbadan hukum Muhammadiyah.
Selanjutnya Instrumen akreditasi internal ini juga harus berfungsi sebagai pengawal ideologi persyarikatan dengan meluruskan arah dan orientasi keberagamaan pesantren muhammadiyah sesuai dengan faham dan manhaj muhammadiyah dalam memahami agama sebagai program tindak lajut pasca akreditasi. Dan akhirnya instrumen ini harus mampu memberi solusi bagi masa depan pesantren muhammadiyah; mau diapakan dan mau dibawa kemana?, sehingga kita tidak hanya bangga dengan kwantitas pesantren Muhammadiyah yang terus bertambah, tetapi karakter pesantren Muhammadiyah juga membutuhkan perhatian dan kerja bersama untuk dibangun kekuatan dan dimunculkan ciri khas serta keunggulannya.
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Wakil Ketua LP2 PWM Jawa Timur