Majalah Pantjaran ‘Amal Terbitan Muhammadiyah Cabang Betawi Dan Dunia Yang Berubah Di Era 1930an (Bagian I)
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Masa kolonial Belanda, terutama di era 1920an, dikenal sebagai era kebangkitan nasional. Ini ditandai oleh kelahiran dan perkembangan berbagai organisasi yang berorientasi kebangsaan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut menjalankan beerbagai aktivitas untuk mewujudkan misinya, termasuk dengan menerbitkan media cetak sebagai sarana untuk penyampai aspirasi mereka kepada khalayak.
Dekade berikutnya, 1930an, dianggap sebagai periode krisis dalam perkembangan kesadaran kebangsaan Indonesia, terutama karena berbagai problem skala nasional dan internasional yang terjadi di era itu, misalnya serentetan tindakan represif yang diambil pemerintah kolonial terhadap kaum nasionalis serta Depresi Besar atau Zaman Malaise yang melanda seluruh dunia sejak tahun 1929. Ada kemunduran bahkan titik balik di dalam perjuangan kebangsaan Indonesia, yang bisa dilihat dari kegagalan berbagai organisasi politik berorientasi kemerdekaan Indonesia dalam meraih basis dukungan seperti yang mereka peroleh satu dekade sebelumnya.
Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa era 1930an stagnan sama sekali, termasuk dalam hal publikasi media cetak. Majalah resmi Persyarikatan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah (di era 1930an masih bernama Soeara Moehammadijah), tetap terbit seperti biasa. Yang juga menarik untuk diingat, sementara publik Indonesia dewasa ini umumnya memandang bahwa Persyarikatan Muhammadiyah hanya punya satu media cetak resmi, dalam hal ini majalah Suara Muhammadiyah, tidak demikian halnya di masa sekitar delapan dekade silam itu.
Selain berlangganan Soeara Moehammadijah yang terbit di Yogyakarta, cabang-cabang lokal Muhammadiyah di luar Yogyakarta juga menerbitkan media cetak mereka sendiri, dengan kualitas isi dan penampilan yang tak kalah bagusnya dibanding Soeara Moehammadijah. Memang, jumlah halamannya tidak sebanyak Soeara Moehammadijah (karena majalah ini mengkover Muhammadiyah se-Indonesia), namun konten majalah Muhammadiyah lokal ini juga amat penting dan menarik untuk diulas. Sementara halaman-halaman Soeara Moehammadijah di era itu banyak digunakan untuk menyampaikan urusan keorganisasian, media cetak Muhammadiyah lokal memberikan ruang lebih banyak untuk artikel berisi panduan keagamaan, pandangan redaksi tentang dunia yang sedang berubah, serta berita-berita setempat.
Beberapa Muhammadiyah lokal yang menerbitkan media cetak sendiri di sekitar era itu bisa disebut di sini: 1) Muhammadiyah cabang Solo yang menerbitkan Adil (eksis dari tahun 1932 hingga saat Jepang menduduki Indonesia tahun 1942), 2) Muhammadiyah Boyolali mempublikasikan Al-Kirom pada tahun 1928-1929, 3) Muhammadiyah di Malang menerbitkan majalah Ichtiyar pada tahun 1937-1938), 4) Muhammadiyah Semarang mempublikasikan Swara Islam pada tahun 1931-1933), dan 5) Muhammadiyah cabang Betawi yang menerbitkan majalah Pantjaran ‘Amal yang eksis pada tahun 1936-1939.
Majalah Pantjaran ‘Amal patut mendapat perhatian tersendiri di sini. Majalah ini terbit di Batavia (Betawi/Jakarta), ibukota Hindia Belanda sekaligus kota terbesar di koloni Belanda itu. Kehadiran Muhammadiyah di Batavia ditandai dengan berdirinya Muhammadiyah cabang Betawi pada tahun 1921, namun baru pada tahun 1928 cabang ini mendapatkan pengesahan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta.
Adalah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang melihat peluang dan signifikansi pendirian suatu cabang Muhammadiyah di sana tatkala ia transit sebentar di sana dalam perjalanannya dari Yogyakarta menuju ke Mekkah tahun 1920. Setelah berdiskusi dengan Kyai Dahlan inilah muncul keinginan beberapa sosok yang belakangan dikenal sebagai pembuka jalan Muhammadiyah di Jakarta—Sardjono, Kartosudarmo, Wirjosudarmo dan Suwito—untuk turut pula mendirikan suatu cabang Muhammadiyah di Batavia.
Sebagaimana lazimnya pendirian cabang-cabang Muhammadiyah di daerah, warga Muhammadiyah di Batavia memusatkan kegiatannya pada bidang pengajian dan pendidikan. Publikasi majalah Pantjaran ‘Amal memberi nilai tambah pada eksistensi Muhammadiyah di Batavia.
Majalah yang kantor redaksi dan administrasinya beralamat di Kramat No. 5, Batavia-Centrum, ini bernama lengkap ‘Pantjaran ‘Amal: Madjallah Moehammadijah Tjabang Betawi’. Pimpinan umum majalah ini ialah Sardjono (sebagai ‘directeur’), dengan Al-Bahry sebagai ‘verantw. redacteur’ (dari bahasa Belanda, verantwoordelijke redacteur, atau pemimpin redaksi). Harga langganan selama 3 bulan ialah f 0,75 sementara untuk 12 bulan f 3.
Bagaimana bila ada pedagang atau toko yang mau beriklan di sini? Ruang iklan terbuka untuk umum, dengan biaya, seperti ditulis oleh redaksinya, ‘boleh berdamai sama Administratie’ alias terjangkau dan bisa ditawar.
Ada dua unsur yang khas dari majalah ini, yang membuatnya tidak hanya berbeda, tapi juga lebih maju dibandingkan dengan publikasi Muhammadiyah lainnya, bahkan dibandingkan dengan media cetak berbahasa Melayu/Indonesia pada umumnya di Hindia Belanda kala itu. Pertama, majalah ini membuka kesempatan bagi calon pembaca yang berada di luar batas geografis Hindia Belanda untuk menjadi pembaca dan pelanggan setianya. Di halaman kover majalah ini tercantum biaya berlangganan bagi para pembaca yang berasal dari luar negeri: f 3,50 per tahun, alias hanya berselisih f 0,50 dari langganan dalam negeri selama setahun.
Hanya saja, tidak diketahui apakah memang kemudian ada pembaca Pantjaran ‘Amal yang berasal dari luar negeri, atau, kalaupun ada, dari mana saja asal mereka dan, yang tak kalah pentingnya, mengapa mereka menganggap majalah ini menarik dan apa tanggapan mereka terhadap isi majalah ini.
Kedua, kehadiran seorang redaktur di luar negeri. Namanya Oemar Amin Hoesin, dan ia berada di Singapura. Ini memberi petunjuk tentang pentingnya kota-kota besar Asia Tenggara dalam pandangan Muhammadiyah Betawi sebagai penghubung berbagai sisi dunia, dari mana ide mengalir dan dipertukarkan. Sementara Batavia adalah konektor penting antara kota-kota di Hindia Belanda, Singapura yang strategis di Selat Malaka menghubungkan Hindia Belanda ke dunia yang lebih jauh lagi, dunia Melayu dan dunia kolonial Malaya-Inggris. Keberadaan kontributor asing ini adalah suatu hal yang pantas saja mengingat Pantjaran ‘Amal terbit di kota paling internasional di Hindia Belanda.
Sudah sulit mencari edisi perdana majalah Pantjaran ‘Amal ini. Edisi-edisi yang masih terselamatkan dan bisa dibaca saat ini dimulai dari tahun 1938, atau terbitan yang berasal dari tahun ketiga eksistensinya. Dari yang masih ada itupun tidak semuanya dalam kondisi yang utuh lantaran sebagian halaman ada yang sudah koyak dan hilang. Meski demikian, rekonstruksi sejarah atas kiprah majalah ini masih bisa dilakukan dengan sumber yang terbatas tersebut. (bersambung)
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2020