Al-Ḥalīm, Allah Yang Maha Penyantun

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah

Al-Ḥalīm, Allah Yang Maha Penyantun

Oleh: Ahmad Fatoni

SALAH SATU Al-Asmā’ al-Ḥusnā (nama-nama Allah SwT Yang Maha Bagus) adalah Al-Ḥalīm. Secara bahasa, Al-Ḥalīm memiliki makna, antara lain, “tidak buru-buru.” Menurut penuturan Syaikh As-Sa’di rahimahullah, Al-Ḥalīm adalah yang memiliki sifat penyantun yang sempurna, yang sifat santun-Nya juga meliputi orang-orang kafir dan ahli maksiat. Dia menahan hukuman-Nya untuk segera ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat zalim dengan memberi mereka tenggang waktu untuk bertaubat.

Bahkan kata Rasulullah SAW: “Tidak ada seorang pun atau tidak ada sesuatu pun yang lebih sabar dengan gangguan yang ia dengar dari pada Allah. Sesungguhnya mereka berseru bahwa Allah memiliki anak, namun Dia masih saja memaafkan mereka dan memberi rizeki kepada mereka”. (HR. Al-Bukhari).

Begitulah Allah Al-Ḥalīm, Yang Maha Penyantun. Dalam Al-Qur’an, sebutan Al-Ḥalīm tidak hanya khas milik Allah, tapi atribut ini bisa disandang manusia pilihan yang memiliki sifat penyantun. Setidaknya ada empat ayat yang digunakan Al-Qur’an untuk memberi gelar Al-Ḥalīm kepada manusia. Mereka itu adalah Nabi Ibrahim dalam  Surat At-Taubah [9]: 114 dan Surat Hûd [11]: 75. Orang kedua adalah Nabi Ismail dalam Surat Ash-Shâffât [37]: 101. Kedua nabi tersebut mendapatkan julukan Al-Ḥalīm langsung dari Allah. Adapun orang ketiga adalah nabi Syu’aib dalam Hûd [11]: 87 yang mendapat sebutan Al-Ḥalīm dari kaumnya atas kesantunannya dalam mendakwahkan risalah kenabian.

Adakah kesantunan manusia biasa yang bisa melebihi kesantunan nabi-nabi tersebut? Seperti apa pun orang yang menyandang gelar Al-Ḥalīm, sikap santun Allah berbeda: tidak dibatasi ruang dan waktu. Dialah yang menyaksikan kedurhakaan para pendurhaka, melihat pembangkangan para pembangkang, mengawasi kezaliman orang-orang yang zalim, namun Allah masih memberi peluang bagi mereka untuk memperbaiki diri.

Jika tidak karena kesantunan dan kasih sayang Allah, kehidupan di muka bumi ini akan musnah sebagaimana firman-Nya: “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Fâthir [35]: 45).

Di antara hikmah mengimani nama Al-Ḥalīm ialah kita memahami betapa besar kasih sayang Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Betapa besar pula nikmat Allah yang tetap memberi rizeki kepada hamba-hamba-Nya tanpa pandang bulu. Tentu hal ini menuntut kita agar senantiasa mensyukuri segala karunia-Nya dan berusaha menjadi hamba Allah yang santun, mudah memberi maaf, suka berbagi, dan jauh dari sikap kasar atas kaum yang lemah.

Ahmad Fatoni, Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab FAI UMM

Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018

Exit mobile version