Masih Pandemi, Muktamar ke-48 Harus Disiapkan Secara Seksama Yang Mencerminkan Islam Jalan Tengah
Tanwir Muhamadiyah yang digelar secara daring untuk kali kedua ini mengambil tema “Optimis Menghadapi Covid-19 Menuju Sukses Muktamar ke48”. Tema ini dipakai dengan harapan semangat yang optimistik Tanwir dapat berjalan lancar disertai kebersamaan yang tinggi untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi kemaslahatan Muhammadiyah, umat, dan bangsa.
Dalam pidato iftitah tanwir, ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir menyatakan kalau diksi “optimis” dipilih dalam tema Tanwir ini karena dalam KBBI disebut “Optimis” sebagai “orang yang selalu berpengharapan atau berpandangan baik dalam menghadapi segala hal”. Orang yang memiliki pikiran tentang masa depan yang baik dan sudut pandang yang positif dalam melihat suatu perkara. Oleh karena itu narasi optimis perlu dikedepankan agar segenap anggota Muhammadiyah maupun warga bangsa memiliki alam pikiran dan sikap yang baik dalam menghadapi musibah pandemi Covid-19 maupun dalam menghadapai masalahmasalah kehidupan lainnya.
Haedar menyebut, selaku kaum beriman warga Muhammadiyah telah menerima pandemi Covid-19 ini sebagai musibah “tha’un” yang berat. Walakin, seberat apa pun musibah itu tentu dapat dihadapi dengan sabar dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
“Kualitas kesabaran dan kesungguhan berikhtiar benar-benar diuji dalam menghadapi musibah ini sebagaimana peringatan Allah dalam QS Muḥammad: 31. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. Tegas Haedar.
Haedar juga mengingatkan, Allah mengajarkan kaum beriman kearifan dalam menyikapi musibah. Untuk itu, agar kuat menghadapi musibah dan masalah hidup yang berat diperlukan fondasi iman yang kokoh sehingga setiap insan mukmin tercerahkan akal budinya. Juga betapa pentingnya menyadari betapa pandemi ini merupakan masalah bersama, sehingga siapa pun tidak dapat bersikap sesuka hati karena satu sama lain saling terkoneksi.
“Luruhkan sikap meratapi, mengeluh, saling menyalahkan, dan merasa jatuh diri. Sebaliknya jauhi sikap egois, merasa diri tidak terpapar, menyepelekan, dan mengabaikan wabah sehingga hilang keseksamaan, kewaspadaan, dan kebersamaan”. Himbau Haedar.
Muktamar ke-48 Tahun 2022
Tentang pelaksanaan Keputusan Muktamar ke-48 tahun 2022, Haedar Nashir menyebut kalau Tanwir daring pertama tahun lalu (19 Juli 2020) telah menetapkan bahwa Muktamar ke-48 akan dihelat pada tahun 2022 setelah ibadah haji yang akan ditentukan sistem dan modelnya pada Tanwir kedua ini. Oleh sebab itu, Haedar Nashir selaku Pimpinan Pusat berharap pembahasan Tanwir tentang Muktamar kali ini dapat berjalan lancar agar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dapat menyelenggarakan permusyawaratan tertinggi itu dengan seksama. Muktamar yang harus memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai hal, khususnya yang terkait pandemi dan berbagai dampak ikutannya ini.
“Pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi penting menjadi dasar pandangan dalam memutuskan perkara yang berat dan berdampak luas ini.” Tandas Haedar.
Menurut Haedar, Muhammadiyah merasa penting meletakkan musibah pandemi yang telah berjalan dua tahun ini sebagai “‘ām al-ḥuzni” atau “tahun duka”. Betapa berat korban sakit dan meninggal aikbat virus corona ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Para dokter, tenaga kesehatan, relawan, dan berbagai pihak yang terlibat dalam usaha penanganan Covid-19 merasakan beban yang berat.
“Banyak saudara-saudara sebangsa terutama di akar-rumput yang terdampak sosial ekonomi dan psikososial dari pandemi ini. Karenanya diperlukan empati, simpati, peduli, dan sikap kemanusiaan yang luhur dari seluruh anak bangsa dan semua pihak dalam mengatasi musibah berat ini.” Imbuh Haedar.
Dengan mengutip Buya Hamka, Haedar Nashir mengtakan arti penting sikap “tawāzun” atau “tawasuth” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat “al-jubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya juga dilarang bersikap “tahawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan ialah “syajā‘ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “Wasathiyyah Islam”, Islam Jalan Tengah.
“Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan masalah kehidupan lainnya selama ini mengembangkan sikap tengahan antara pendekatan “rasional-ilmiah” dan “spiritual-ruhaniah” dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang saling terhubung. Itulah Muhammadiyah Jalan Tengah.” Tegas Haedar.
Dalam konteks Muktamar ke-48 di Surakarta, Haedar Nashir mengingatkan perlunya pelaksanaan Muktamar yang betul-betul harus disiapkan secara seksama dengan mempertimbangkan berbagai aspek situasional.
“Pelaksanaan Muktamar dengan sistem Muktamar “Khusus” dapat menjadi pilihan dalam sejumlah opsi. Muktamar ke-48 justru menjadi terdesentralisasi. Muktamar yang penyelenggaranya Muhammadiyah seluruh Indonesia.” Haedar menawarkan opsinya.
Sedangkan tentang syiar dan silaturahmi luring penting dikonversi secara daring dengan dukungan sistem teknologi informasi yang cepat, mudah, canggih, dan luas yang menggambarkan Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai organisasi modern yang hidup di era Revolusi 4.0.
Walau begitu Haedar juga mengingatkan selain Muktamar, roda pergerakan organisasi Muhammadiyah harus terus berjalan di tengah gelombang kehidupan yang kompleks sesuai hukum dinamika zaman. (mjr8)