Pancasila Untuk Semua

Pancasila Untuk Semua

Pancasila Untuk Semua

Oleh: Zulfikar Yusuf

(Kabid TKK DPD IMM DIY)

Pembahasan antara relasi agama dan negara seringkali menjadi perbincangan yang hangat di tengah publik, mulai dari kajian ilmiah di kelas-kelas akademik hingga diskusi ringan di warung kopi. Perdebatan yang sering muncul ke permukaan tidak akan jauh dan selalu berkaitan dengan posisi serta peran agama didalam interaksi dan hubungan sosial antar masyarakat. Termasuk didalamnya peran agama Islam dalam merumuskan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diskursus ini bukanlah bahan baru yang muncul ke publik. Tetapi mengulas persoalan ini lebih dalam tentu akan menghasilkan pemahaman dan wawasan keilmuan yang lebih luas demi mencari pola terbaik dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang berbasis pada kemaslahatan. Dengan jalan terbaik itu akan melahirkan kehidupan yang harmonis dengan menjunjung tinggi kepentingan rakyat.

Didalam wacana sistem ketatanegaraan Islam, kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah merupakan sebuah tujuan (ghayah), tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan (wasilah). Tujuan utama dari sebuah negara adalah menciptakan kemaslahatan dan keadilan. Simpulnya, negara diseleranggarakan demi terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat.

Karena itulah, Islam lebih banyak berbicara persoalan negara yang lebih bersifat global (ijmali) dan garis besar (kulli), seperti keadilan (al-‘adalah) dalam QS An-Nisa: 58, musyawarah (asy-syura) dalam QS Ali Imran: 159, kesetaraan (al-musawah) dalam QS An-Nisa: 1, kebebasan (al-hurriyah) dalam QS Al-Isra’: 70 dan lain sebagainya. Dalil-dalil ini merupakan prinsip dalam menjalankan sistem pemerintahan yang kesemuanya tentu bermuara kemaslahatan umum (Muhajir: 2017).

Para Ulama berpendapat bahwa esensi dari kehidupan sejatinya hanya ada dua, yaitu mendatangkan kebaikan (maslahah) dan menghindari keburukan (mafsadat). Dengan tujuan utama tersebut, tentu menjadi penting untuk mewujudkan kemaslahatan dengan menghadirkan negara sebagai bagian dari sarana dengan meletakkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Islam. Kesetaraan dan keadilan antar umat manusia sangat sulit akan terwujud jika tanpa kehadiran negara. Pun sebaliknya, negara yang dibangun tanpa didasari pada prinsip-prinsip kemaslahatan akan sulit mewujudkan keadilan dalam hubungan sosial.

Senada dengan itu pula, kehadiran negara untuk mendatangkan kemaslahatan merupakan sebuah keniscayaan yang digambarkan dalam kaidah fiqh:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang menjadi syarat terwujudnya wajib adalah wajib.”

Islam memandang bahwa negara akan sangat membantu dalam mewujudkan kemaslahatan. Agama dan negara layaknya mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Agama memerlukan negara untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebajikan sebagaimana negara membutuhkan agama untuk membimbing jalannya pemerintahan berdasar pada prinsip-prinsip umum kemaslahatan dan kebaikan.

Maka dalam konteks inilah, Islam hadir di bumi Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk utama serta menjadi kompas dan arah perjalanan yang kemudian direpresentasikan melalui Pancasila sebagai dasar negara. Islam hadir melalui misi rahmatan lil ‘alamin yang dibingkai dalam Pancasila sebagai cita-cita bersama dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera di tengah kondisi masyarakat yang majemuk. Pancasila lahir dari budaya bangsa Indonesia yang luhur, juga diterima dan disepakati sebagai dasar negara.

Demikian pula dalam pandangan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah yang memandang Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Asy-Syahadah (negara konsensus dan persaksian) sebagaimana pandangan NU yang memahami bahwa Pancasila merupakan Mu’ahadah Wathaniyah (konsensus kebangsaan).  Sebab dalam konteks masyarakat Indonesia yang multi-kultural, multi-ras dan multi-agama, Pancasila merupakan dasar yang paling ideal. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya, Islam yang menampilkan sikap santun, beradab, damai, toleran, dan saling mengasihi dan saling merangkul dalam kebaikan.

Memang, dalam sejarahnya bangsa Indonesia khususnya founding fathers dan para pejuang kemerdekaan pernah memperdebatkan soal dasar negara yang salah satu opsinya adalah menerapkan syariat Islam secara eksplisit. Bukti yang paling jelas sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun, perdebatan tersebut menimbulkan pro dan kontra yang kemudian berujung pada penghapusan 7 kata pada silat pertama.

Penghapusan ini tentu bukan tanpa sebab. Seandainya para pejuang kemerdekaan dengan mayoritas yang diisi oleh kaum muslim tetap ngotot untuk mempertahankan dasar negara dengan menerapkan syariat Islam secara eksplisit dalam konteks budaya dan bangsa Indonesia yang pusparagam, bukan tidak mungkin jika bangsa Indonesia akan terpecah dan justru akan menghasilkan konflik yang berkepanjangan. Penolakan itu muncul sesuai aspirasi dari masyarakat Indonesia timur yang keberatan jika menggunakan redaksi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Walaupun kemudian Islam sangat menjamin toleransi dan berpihak pada keadilan, menghindari konflik dan perpecahan merupakan pilihan terbaik dibanding bertahan pada pilihan yang justru menumpahkan darah antar sesama anak bangsa yang melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Pilihan ini tentu sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Upaya menolak kerusakan harus diprioritaskan daripada upaya untuk memperoleh kemaslahatan.”

Karena itulah, dalam konteks keindonesiaan, Pancasila merupakan dasar yang cocok dan sangat ideal dengan realitas kebudayaan yang ragam. Kesepakatan ini merupakan perwujudan untuk menetapkan dasar negara yang berorientasi pada kemaslahatan namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya sebagai semboyan belaka, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai dasar dari kehidupan rakyat Indonesia.

Ketika Soekarno berpidato pada 1 Juni 1945, ia menyatakan bahwa hendaknya Indonesia memiliki philosofische grondslag, yaitu fundamen, filsafat dan pikiran yang sedalam-dalamnya yang berfungsi sebagai dasar dari bangunan suatu negara (Nashir, 2019). Itulah yang hari ini kita sebut dengan Pancasila. Dasar yang menjunjung tinggi kemerdekaan dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Exit mobile version