Refleksi Pidato Kebangsaan Prof Haedar Nashir

haedar nashir pidato kebangsaan

Refleksi Pidato Kebangsaan Prof Haedar Nashir

Oleh: Imran Duse

Pidato adalah sahutan paling ujung yang masih sempat terdengar, ketika kecemasan terbit dan kita nyaris kehilangan kepercayaan kepada semua hal.

Kita cemas karena pagebluk masih mengintai. Dan anomali menayub di sekitar: dana bansos Covid-19 dicuri, honor pemakaman korban pandemi, mahalnya keadilan, buruknya komunikasi publik, memudarnya afinitas dan keakraban saudara-sebangsa, dan seterusnya.

Dalam histeria itu, kita mendengar selaur pidato. Diucapkan datar namun memenda, dengan narasi yang kuat, dan nawaitu yang ‘lurus’. Ia membawa harapan dan spirit, juga energi, untuk menjadi semacam evokasi menjemput masa depan.

Siang itu, Senin (30/8/2021), Prof. Dr. H. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyampaikan pidato kebangsaan yang disiarkan langsung TvMu Channel, CNN Indonesia, dan streaming di kanal YouTube. Mengusung tema “Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Bersama”, Prof. Haedar mengajak seluruh komponen bangsa menjadikannya rujukan bersama.

Saya mendengar tausiyah berdurasi 32 menit itu dalam perjalanan yang lenggang menuju Samarinda –di atas jalan tol yang baru diresmikan Presiden Jokowi. Sesekali saya memirsa Prof. Haedar di layar ponsel: mengenakan batik nuansa cokelat, dengan latar belakang diorama peta Indonesia dan panji Persyarikatan Muhammadiyah dan Merah Putih.

Nampak tak banyak berubah sejak saya mengenalnya tahun 1990 (saat saya kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan mendapat keluangan membantunya di LP3M UMY, hingga tahun 1998).

Juga teks yang diucapkan. Terhubung dengan concern Prof. Haedar semenjak 30 tahun lalu: Pancasila yang final, moderasi beragama, keindonesiaan, pluralisme. Benang merah itu juga terhantar saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar di UMY, akhir 2019.

Dalam pidato siang itu, Prof. Haedar menilik masalah-masalah kebangsaan mutakhir: suasana keterbelahan anak bangsa, pro-kontra penyikapan “radikalisme-ekstremisme”, korupsi dan perlakuan manja terhadap koruptor, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, utang luar negeri, investasi asing, dan seterusnya. Semua berlantas di tengah kecamuk coronavirus.

Menurutnya, jalan moderat mesti ditempuh jika hendak menjalankan Pancasila secara genuine. Ia berselisih paham dengan pendekatan deradikalisasi yang ekstrem. Ia memilih jalan moderat; juga ketika dihadapkan dengan paham radikal ekstrem.

Prof. Haedar mencontohkan kontroversi lomba menulis hukum menghormati bendera, Survei Lingkungan Belajar (SLB), dan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), sebagai yang harus dihindari jika ingin menempatkan Pancasila sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.

Ajaibnya, pada siang itu juga, terjadi 2 peristiwa yang hampir berbarengan. Pertama di Jakarta: Dewan Pengawas KPK menghukum Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik, dengan sanksi berat berupa pemotongan 40% gaji pokok selama 12 bulan (mediaindonesia.com, 30/8/2021, pukul 12.38 WIB).

Dan, kedua di Probolinggo: Harun al Rasyid, pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK, berhasil memimpin OTT Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dalam kasus suap seleksi jabatan kepala desa (merdeka.com, 30/8/2021, pukul 13.38 WIB). Dalam kasus ini, KPK sudah menahan 5 orang tersangka dari total 22 orang.

Prof. Haedar tak menampik capaian pemerintah pasca Orde Baru. Namun dengan serangkaian masalah tadi, ia menyerukan kembali menengok Pancasila. Yakni Pancasila yang berproses sejak pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga menjadi final pada 18 Agustus 1945 –yang melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta.

“Itulah hadiah terbesar dari umat Islam,” ujar Prof. Haedar, mengutip mantan Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Sejak itu, lanjut Prof. Haedar, Pancasila sejatinya “sudah selesai”. Berdiri kokoh di posisi “tengahan”, yang moderat, dan menjadi rujukan semua anak bangsa. Maka Pancasila hendaknya jangan ditarik ke “kiri” atau ke “kanan”.

Indonesia Jalan Tengah

Syahdan, yang barangkali perlu dilakukan ialah memeriksa (dengan saksama) “pengamalan” Pancasila di lembaga dan instansi, di parlemen, di kampus, di korporasi, di pasar swalayan, di sekolah, di…… . Dengan kata lain, Pancasila yang membumi.

Prof. Haedar mengemukakan berbilang dimensi yang memerlukan atensi segenap warga bangsa. Saya menangkap setidaknya 3 aspek esensial yang kudu permenungan, terutama jika kita relasikan dengan situasi hari ini.

Pertama, bangunan demokrasi kita. Prof. Haedar mengingatkan apa yang pernah disampaikan Bung Karno, bahwa demokrasi yang hendak dibangun ialah politiek-economische democratie. Yakni demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan sosial.

“Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup….. . Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan,“ seru Prof. Haedar, menukil Bung Karno.

Kedua, sistem ekonomi. Prof. Haedar menyoroti kian melebarnya kesenjangan sosial, sebagai akibat penguasaan kekayaan alam oleh segelintir pihak serta makin menguatnya oligarki politik. Karenanya,  pemerintah mesti hadir melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial. Inilah nafas pasal 33 UUD 1945: kemakmuran merata, yang kemudian melahirkan sistem “ekonomi terpimpin”.

Prof. Haedar selanjutnya mengutip Bung Hatta, “Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial.”

Dan, ketiga, merespon gagasan amandemen UUD 1945. Prof. Haedar mengingatkan agar “dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik”. Jangan sampai terselip kepentingan pragmatis yang menikai spirit reformasi 1998 dan tidak selaras dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

“Di sinilah pentingnya ‘hikmah kebijaksanaan’…., dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang ‘bernyawa’. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!,” seru Prof. Haedar Nashir di penghujung pidatonya.

Sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah, imbauan Prof. Haedar patutlah mendapat pengindahan. Sejarah mencatat Muhammadiyah punya saham dalam kebangkitan nasional dan perjuangan kemerdekaan. Juga di alam kemerdekaan, keluarga besar Muhammadiyah tak lelah meruahkan diri dalam bakti negeri.

Setidaknya, Muhammadiyah memiliki 19.951 sekolah, 13.000 masjid dan mushala, 765 BPR Syariah, 635 panti asuhan, 457 rumah sakit dan klinik, 437 baitul mal, 176 universitas, dan 102 pondok pesantren. Segenap infrastruktur itu berdiri di atas lahan lebih 21 juta hektar.

Konon, ada yang menaksir asset tersebut –ditambah kekayaan kas amal usaha– mencapai lebih Rp1.000 triliun. Tidak mengherankan jika Muhammadiyah menyumbang Rp 1 trilyun untuk penanganan pandemi Covid-19 (uang semua lho, gak pakai pasir… hehe).

Akhirnya, pidato Prof. Haedar Nashir, sekali lagi, sungguh esensial menjadi timbangan para elite –juga kita semua– dalam menempuh hari-hari mendatang: hari-hari yang nampaknya bakal menentukan arah perjalanan bangsa tercinta. Barangkali itu!

Imran Duse, Wakil Ketua Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur dan Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version