Validitas dan Pemahaman Hadits-hadits Larangan Riba

riba

Foto Dok Ilustrasi

Validitas dan Pemahaman Hadits-hadits Larangan Riba

Oleh: Mukhlis Rahmanto

Salah satu perkara agama Islam yang kini masih hangat diperbincangkan, baik oleh kalangan ulama dan cendekiawan muslim hingga umat awam adalah riba. Meski kini, salah satu penafsiran mengenai istilah riba yang dimaksudkan pada “bunga bank” telah berkembang praktiknya di dunia ekonomi dengan munculnya banyak lembaga keuangan Islam seperti bank syariah atau bank Islam di seluruh negara-negara di dunia yang tinggal di dalamnya umat Islam. Namun, masih banyak di kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia yang memperdebatkannya.

Di antaranya adalah kelompok dengan alamat instagram “@xbank.syariah.official” yang anti bank, termasuk bank syariah. Kebanyakan anggotanya adalah mereka mantan pegawai bank, juga bank syariah, yang merasa bahwa bank syariah dimana mereka pernah bekerja, belum sesuai dengan syariah dalam pemahaman mereka yang tentu dipengaruhi oleh pendapat sekelompok ulama yang menjadi pijakan gerakan tersebut.

Perintah meninggalkan riba dan melaksanakan jual beli sebagai solusinya sangat jelas termaktub di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an menyebutkan kata riba dengan beragam turunan katanya kurang lebih 20 kali, namun yang eksplisit menggunakan kata riba berjumlah 8 kali (QS. al-Baqarah: 275, 276, 278; Ali Imran :130; al-Nisa’ :161; 30:39). Ayat-ayat tentang riba diturunkan secara bertahap sebagaimana proses larangan minuman keras (khamr).

Dalam hadits, riba dikategorikan sebagai dosa-dosa besar (al-kaba’ir) dan kata riba sendiri disebutkan kurang lebih 1.195 kali di berbagai riwayat yang tersebar dalam kitab-kitab hadits. Pun di dalam haditslah terdapat penjelasan mengenai rincian benda-benda ribawi. Secara bahasa, kata riba berarti tumbuh (QS. Al-Hajj: 5); menyuburkan (QS. al-Baqarah: 276; ar-Rum: 39); mengembang (QS. ar-Ra’du: 17); dan menjadi besar dan banyak (QS. An-Nahl: 92), dimana kesemuanya identik dengan bertambahnya kuantitas dan kualitas sesuatu.

Ahli bahasa Arab, Ibnu Manzhur, memaknai riba sebagai hadiah sehingga terdapat kategori riba halal (Ar-Rum: 39) yaitu memberikan sesuatu pada orang lain agar mendapatkan sesuatu yang lebih baik lagi di kemudian hari dan riba haram atau kebalikannya. Intinya, larangan riba sesuai dengan tujuan umum mengapa syariat diturunkan oleh Allah (maqashid asy-syariah), khususnya untuk memelihara harta sebagai salah satu unsur penting utama kehidupan manusia.

Dok Ilustrasi

Yang menarik dalam wasiat terakhir Nabi yang diriwayatkan secara ahad (bukan mutawatir atau banyak rawi) oleh Umar bin al-Khatab ra., bahwa riba adalah salah satu perkara agama yang penjelasannya belum tuntas dan terperinci, meski pada umumnya, para ulama bersepakat bahwa ajaran Islam dan penjelasannya telah paripurna sebagaimana bunyi eksplisit surat Al-Maidah ayat 3. Dan Umar pun sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi, mengajak para sahabat untuk meninggalkan keraguan mengenai riba yang belum diberikan penjelasannya oleh Nabi Saw tersebut.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ ابْنُ أَبِي رَجَاءٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خَطَبَ عُمَرُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهِيَ مِنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالْعَسَلِ وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ وَثَلَاثٌ وَدِدْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُفَارِقْنَا حَتَّى يَعْهَدَ إِلَيْنَا عَهْدًا الْجَدُّ وَالْكَلَالَةُ وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا (رواه البخاري)

Telah bercerita pada kami Ahmad bin Abi Raja`, telah bercerita pada kami Yahya dari Abu Hayyan At-Taimi dari Asy-Sya’bi dari Ibnu Umar ra. yang berkata: Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah Saw. yang bersabda: “Sesungguhnya telah ditetapkan keharaman khamr yaitu dari lima jenis; (perasan) anggur, tamr (minuman dari perasan kurma kering), biji gandum, tepung dan madu, sedang khamr adalah sesuatu yang dapat menghalangi akal (sehat). Dan tiga perkara yang aku berharap Rasulullah Saw. memberikan penjelasan kepada kami sebelum beliau meninggal; (hak waris) seorang kakek, al-kalalah (orang yang tidak punya anak dan ayah), dan pintu-pintu riba (HR. Al-Bukhari)

Hal ini memunculkan keberagaman (pluralitas) penafsiran mengenai riba, mulai dari para ulama salaf-klasik, neo-klasik, modernis hingga neo-revivalis (Abdullah Saeed: 1996). Ibnu Abbas ra. dan ahli tafsir At-Thabari, yang tergolong salaf-klasik, berpendapat bahwa riba hanya satu macam yaitu riba jahiliyah atau sebelum Islam yang didefinisikan sebagai tambahan pada saat jatuh tempo atau kontrak berlaku dan tidak dipersyaratkan sejak awal akad atau dalam istilah sekarang disebut dengan kredit berjangka. Sedang riba dalam hadits berupa rincian benda-benda ribawi seperti emas dan perak dianggap tidak ada.

Ibnu al-Arabi seorang ulama mazhab Maliki, menganggap riba yang dimaksudkan oleh Qur’an sebagai tambahan yang diambil (oleh si pemberi pinjaman kepada si peminjam) tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang. Transaksi pengganti di sini ialah transaksi bisnis atau komersial yang membenarkan penambahan itu dan sesuai syariah seperti transaksi jual beli dan bagi hasil suatu kerjasama bisnis.

Ulama neo-klasik seperti Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim lebih menekankan unsur ketidakadilan di dalam pengharaman riba dengan mendasarkan pada penggalan ayat ke 280 QS. al-Baqarah, “la tazhlimuna wala tuzhlamun, kamu tidak menganiaya dan teraniaya”. Bagi kelompok ini, bunga bank ketika dibawa kepada sesuatu yang termasuk riba harus dibedakan sesuai asas keadilan. Misalkan, apakah bunga itu untuk keperluan usaha produktif atau untuk sekedar kredit konsumtif? Pendapat mereka didukung oleh ulama modernis seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdurrazaq as-Sanhuri, Fazlur Rahman, Muhammad Asad, Abdulah Yusuf Ali dan Said al-Najar.

Pendapat ulama modernis dikritik oleh ulama neo-revivalis (mereka yang menginginkan kebangkitan Islam kembali) seperti Abu A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Muhammad Umer Chapra yang berpendapat bahwa riba, intinya terkait dengan unsur legal-hukumnya dengan mendasarkan pada penggalan ayat ke-280 al-Baqarah “lakum ru’usu amwalikum, bagimu pokok hartamu serta penggalan ayat 130 QS. Ali-Imran yaitu “adh’afan mudha’afatan, berlipat ganda, baik kuantitasnya besar ataupun kecil. Maka dalam kasus bunga bank yang dimasukan sebagai satu bentuk riba, kelompok ini menggeneralisir, bahwa bunga bank adalah haram berapapun porsentasenya serta tidak akan melihat kepada pertimbangan apakah bunga itu untuk keperluan usaha produktif atau hanya konsumtif.

Selain itu, para fukaha dan lembaga-institusi fatwa di berbagai negara Islam pun berbeda fatwa dalam hal bunga bank ini, meski kecenderungan dewasa ini mengharamkannya. Di Muhammadiyah sendiri, penafsiran mengenai riba khususnya terkait dan yang dimaksudkan salah satunya pada bunga bank mengalami pentahapan. Mulai dari ditetapkan hukumnya syubhat sebagaimana keputusan Tarjih di Sidoarjo tahun 1968, dikarenakan kondisi saat itu belum adanya sarana-prasarana pendukung seperti halnya lembaga keuangan alternatif yang berbentuk dan sesuai syariah, seperti bank syariah dewasa ini, hingga kemudian difatwakan haram pada tahun 2006 setelah sarana-prasarana alternatif itu telah muncul. Tulisan ini bertujuan untuk mengetengahkan validitas hadits-hadits seputar riba sekaligus ikhtiar pemaknaan terkininya. Riwayat dan tema yang dipilih dan diketengahkan menyesuaikan urutannya sebagaimana pemeringkatan kitab hadits (Kutub as-sittah dan seterusnya).

Foto Dok Ilustrasi

Riba termasuk dosa besar, dilempari batu di neraka, dan apakah dosa teringannya seperti zina terhadap ibu sendiri?

عن أبي هريرةَ رضيَ اللهُ عنه عنِ النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: اجتنِبوا السَّبعَ الموبقات. قالوا: يا رسولَ اللهِ، وما هُنَّ ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقتْلُ النَّفسِ التي حَرَّمَ اللهُ إلاّ بالحقّ؛ وأكلُ الرِّبا، وأكلُ مالِ اليَتيم، والتَّولِّي يوم الزَّحفِ، وقذفُ المُحصناتِ المؤمناتِ الغافِلاتِ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda: Jauhilah tujuh (dosa) yang menghancurkan. Mereka (para sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, apa itu? Beliau menjawab: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh zina terhadap wanita-wanita yang baik, yang beriman (dan) yang lengah (karena tidak pernah sekalipun terngiang akan melakukan perbuatan keji tersebut) (HR. al-Bukhari)

Riba dimasukan dalam kategori dosa-dosa besar dikarenakan merusak asas siklus kehidupan yaitu keadilan yang menjadi ruh ajaran Islam, khususnya keadilan ekonomi. Dosa-dosa besar lain yang disebutkan dalam hadits di atas juga terkait dan merusak sendi utama hidup yang harus terpelihara dalam kacamata maqashid asy-syariah seperti syirik yang merusak fitrah ketauhidan dan ketuhanan. Dalam kasus riba nasiah atau transaksi simpan-pinjam dana konvensional, si pemberi pinjaman, bisa berbentuk lembaga keuangan hingga menjadi dosa korporat, mengambil tambahan (bunga) tanpa adanya penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan durasi waktu peminjaman.

Ketidakadilan muncul tatkala si peminjam diwajibkan dan harus selalu untung selama diberikan kesempatan dan waktu peminjaman tersebut. Padahal sunnatullah-hukum alamnya menegaskan, jika ada keuntungan pastilah ada kerugian. Pengalaman dan kasus dunia nyata membuktikan, seperti pinjaman yang diberikan oleh para rentenir-lintah darat di pasar-pasar Yogyakarta misalnya, dengan kisaran bunga 10, 20 sampai 30 persen, itupun belum dipotong 10 persen dari pokok pinjamannya, dimana dapat merusak pondasi keuangan suatu keluarga yang tidak dapat membayar pokok hutang dan angsurannya yang beranak-pianak bunganya. Dalam hal ini, solusi yang diberikan oleh syariat salah satunya adalah dengan transaksi bagi hasil dalam skema kerjasama bisnis yang dipraktikan oleh lembaga keuangan syariah.

عن سَمُرةَ بنِ جُنْدبٍ رضيَ الله عنهُ قال: قال النبيُّ صلى الله عليه وسلم: رأيتُ الليلةَ رجُلَين أتَياني فأخرَجاني إلى أرضٍ مقدَّسةٍ، فانطَقْنا حتّى أتيْنا على نهرٍ من دَمٍ، فيهِ رجُلٌ قائمٌ، وعلى وَسَطِ النهرِ رجُلٌ بينَ يدَيهِ حِجارةٌ. فأقبَلَ الرَّجُلُ الذي في النهرِ، فإذا أراد الرجُل أن يَخرُجَ رَمى الرجُلَ بحَجَرٍ في فيهِ فرَدَّهُ حيثُ كان، فجعلَ كلَّما جاء ليَخْرُجَ رَمى في فيهِ بحجَرٍ فيَرْجِعُ كما كان، فقلتُ: ماهذا؟ فقال الذي رأيتُهُ في النهرِ: آكِلُ الرِّبا (رواه البخاري)

Dari Samurah bin Jundub berkata, Nabi Saw. bersabda: Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat hingga kami mendatangi sungai darah. Di dalamnya ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula (begitu terus berulang). Aku bertanya, “Apakah ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba” (HR. al-Bukhari)

Isi riwayat di atas menggambarkan satu rangkaian struktur keadilan dalam Islam yang dibangun pada asas teologis kesatuan antara alam dunia dan akhirat. Para pelaku kejahatan, termasuk pelaku riba, tidak hanya akan mendapatkan balasan dan hukuman di dunia saja dengan dijadikan harta yang diperolehnya tidak mendapatkan keberkahan, namun juga hukuman di akhirat menanti sebagai bentuk pembalasan yang paling adil dari Tuhan yang Maha Adil.

Foto Dok Ilustrasi

حدّثنا أبو بكر بن إسحاق وأبو بكر بن بالويه قالا: أنبأ محمد بن غالب، ثنا عمرو بن علي، ثنا ابن أبي عدي، ثنا شعبة ان الحجاج، عن زبيد بن الحارث اليامي، عن إبراهيم النخعي، عن مسروق الأجدع، عن عبد الله بن مسعود عن النبيّ صلي الله عليه وسلم قال: الرّبا ثلاثةٌ وَسَبْعُونَ باباً، أيْسَرُها مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبا عرْضُ الرّجُلِ الْمُسْلِمِ (رواه الحاكم والبيهقي)

Menginfokan pada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Abu Bakar bin Balwaih keduanya berkata: menginfokan kami Muhammad bin Ghalib, mengabarkan kami Amru bin Ali mengabarkan kami Ibnu Abi Adiy, mengabarkan kami Amru bin Ali mengkabarkan kami Ibnu Abi Adiy, mengkabarkan kami Syubah bin al-Hajaj dari Zubaid bin al-Harits dari Ibrahim an-Nakhaiy dari Masyruq bin al-Ajda’ dari Abdullah bin Masud dari Nabi Saw bersabda: riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan seperti seseorang yang menikahi (berzina pada) ibunya. Sedang riba paling besar ketika seseorang menyingkap (melanggar) kehormatan seorang muslim (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak ala Shahihain, kitab jual beli no. 2300 dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 394 dari sahabat Abdullah bin Masud ra. Jika ditelisik ada sekitar 8 jalan periwayatan lain dari para sahabat. Oleh para kritikus hadits, baik kalangan mutaqaddimin (sebelum tahun 400 H, jika merujuk masa dan atau berakhirnya masa periwayatan) dan muta’akhirin (sesudah tahun 400 H), status hadits ini diperselisihkan, dimana ada yang menguatkan (tashhih) dan yang melemahkan (tadh’if).

Di antara yang menguatkan yaitu: al-Hakim, al-Mundziri, Al-Iraqi, Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Sakhawi, az-Zabidi dan Al-Albani, yang beralasan bahwa sanadnya baik , terutama dari jalur Abdullah bin Masud ra. dan Abdullah bin al-Hanzhalah ra., serta tidak didapati perawinya yang dinilai negatif (tajrih). Pun didukung oleh banyaknya jalur lain lain (mutaba’at maupun syawahid).

Sedang mereka yang melemahkan yaitu Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at dan al-Muallimi al-Yamani, dengan alasan meski sekilas sanadnya baik, namun matannya mengandung kecacatan dan keanehan. Penulis pun menguatkan kelompok kedua ini. Dimana al-Baihaqi sendiri memberikan catatan pendek setelah mengetengahkan riwayat tersebut dalam kitabnya, bahwa sanadnya baik namun isi atau matannya munkar. Di dalam matan riwayat di atas, terdapat penggalan tambahan “aisaruha mitslu ay-yankiha ar-rajulu ummahu” yang dimasukan oleh salah seorang rawi bernama Muhammad al-Ghalib di dalamnya.

Padahal redaksi matan aslinya tidak terdapat tambahan tersebut yang dinilai membuat sesuatu, kuantitas dan kualitas dosanya dalam hal ini, menjadi bombastis. Suatu cirikhas hadits dinilai lemah (dhaif) salah satunya adalah ketika ukuran pahala dan dosa di dalam matannya dinilai berlebihan, yaitu mengenai dosa memakan harta riba yang dinilai lebih berat dari seseorang yang menzinahi ibunya. Jika dibandingkan, dosa zina mengakibatkan kerusakan yang lebih sistematis, mulai dari merusak moral hingga nasab-keturunan, dari hanya memakan 1 dirham harta yang berasal dari riba sebagaimana disebut dalam riwayat lain. Adapun matan hadits dari Abdullah bin Masud ra. yang dinilai belum ada penggalan tambahan di dalamnya,

حدّثنا أبو بكر قال حدثنا ابن فضيل عن الأعمش عن عمارة عن عبد الرحمٰن بن يزيد قال: قال عبد الله بن مسعود أن النبي صلي الله عليه وسلم قال : الربا بضعٌ وسبعونَ بابًا، والشرك مثل ذلك (رواه البزار و ابن أبي شيبة)

Mengabarkan kami Abu Bakar berkata Ibnu Fudhail dari al-‘Amasy dari Umarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata, berkata Abdullah bin Masud bahwa Nabi Saw. bersabda: riba itu memiliki 70 sekian pintu, demikian seperti syirik. (HR. Al-Bazar dan Ibnu Abi Syaibah).

Foto Dok Ilustrasi

Artikel sebelumnya telah membahas mengenai dosa-dosa besar terkait dengan riba dimana kebanyakan menggunakan bahasa kiasan (majazi) atau disamakan dosa riba dengan perbuatan-perbuatan keji lain yang dilarang oleh agama. Pun di dalam Al-Qur’an dalam tahap pertama pelarangan riba, perbuatan ini dianggap tercela dengan tidak dapat dijadikan sebagai sarana menambah pundi-pundi kekayaan, pun dilarang di dalam agama-agama terdahulu (Yahudi dan Nasrani), sebagaimana dimaklumkan dalam tahap kedua pelarangannya.

Pada tahap ketiga dan keempat, Al-Quran mulai tegas melarangnya dikarenakan perbuatan tersebut adalah bentuk kriminal yang mendapatkan ancaman “diperangi langsung” oleh Allah dan Rasul-Nya., dimana dilakukan dengan berlipat ganda. Artinya, inilah bentuk riba jahiliyah yang banyak dipraktikan oleh masyarakat pada saat itu. Riba jahiliyah kemudian dipertegas lagi keharamannya saat Nabi Saw berkhutbah terakhir kalinya yaitu pada haji wada’

عن سليمان بن عمرو عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع يقول ألا إن كل ربا من ربا الجاهلية موضوع لكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون (رواه أبو داود)

Dari Sulaiman bin Amr, dari ayahku (dilaporkan bahwa) ia berkata: Aku mendengar sabda Rasulullah Saw pada saat haji wada’: Ketahuilah bahwa setiap bentuk riba adalah jahiliyah telah dihapus; bagimu pokok hartamu; kamu tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi (HR. Abu Dawud)

Riba jahiliyah atau sering disebut dengan riba Al-Qur’an (ketika ditentangkan dengan pendapat tidak adanya riba selain riba jahiliyah) telah dipraktikan oleh masyarakat jahiliyah dimana tidak dapat dilepaskan dari posisi kota Mekah sebagai “melting polt” perdagangan dari Syam (Suriah) dan ke Yaman sebaliknya, terutama yang dilakukan oleh kaum Quraisy, yang kebanyakan menjadikan dagang sebagai mata pencaharian utama. Posisi Mekah sebagai kota penghubung meningkatkan permintaan modal di antara para pedagang yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, kredit produktif (semisal dalam perdagangan) dari pihak lain, baik itu bersistem bunga maupun bagi hasil, banyak dibutuhkan (Abu Zahrah: 1986).

Seperti yang dilakukan oleh al-Abbas (paman Nabi), Utsman bin Affan, dan Khalid bin Walid, dimana nama-nama tersebut sebelum masuk Islam adalah konglomerat yang mengkreditkan modalnya kepada pihak lain dalam bentuk riba dan mendapatkan keuntungan besar darinya. Sebagai contoh, Al-Abbas meminjamkan modal kepada beberapa orang dari suku Tsaqif dari Bani ‘Amr bin ‘Umair dan kemudian mereka Bani ‘Amr bin ‘Umair memutarkannya kembali dengan meminjamkan kepada orang-orang dari Bani al-Mughirah. Terjadilah siklus perputaran riba. Dan kemudian hal ini dilarang oleh Nabi ketika telah datang dan jelas jelas pengharamannya dalam Al-Qur’an:

عن جابرِ بنِ عبدِ الله رضي الله عنه فـي قِصَّةِ حَجَّةِ النبـيِّ صلَّـى الله علـيهِ وسلَّـمَ أَنَّ النبـيَّ صلَّـى الله علـيهِ وسلَّـمَ قالَ فـي خُطْبَتِهِ: «أَلاَ وإِنَّ كُلَّ شىءٍ من أمرِ الـجاهلـيةِ موضوعٌ تـحتَ قَدَمي، ورِبَا الـجاهلـيةِ موضوعٌ، وأَوَّلُ رباً أَضَعُهُ رِبَا العباسِ بنِ عبدِ الـمطلبِ، فَإِنَّهُ موضوعٌ كُلُّهُ (رواه البيهقي)

Dari Jabir bin Abdilah ra. dalam kisah hajinya Nabi Saw bahwa Nabi Saw bersabda dalam khutbah (wada’-nya): ketahuilah bahwa segala sesuatu urusan (terkait era ) jahiliyah terhapus di bawah aturanku. Dan riba jahiliyah telah dihapus dan riba pertama yang Aku hapus adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthalib dan bahwasannya riba itu dihapus seluruhnya (HR. Al-Baihaqi)

Namun tidak kemudian, sistem riba di kalangan suku Quraisy jahiliyah mendapatkan pembenarannya secara umum, dikarenakan ada beberapa penentangan akan sistem bisnis tersebut sebagaimana dilakukan oleh Abu Wahab, paman ayah Nabi dan salah satu tokoh utama Quraisy yang ketika akan dilakukan renovasi Ka’bah, melarang penggunaan harta riba sebagai salah satu sumber dana pembangunannya. Pun Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Saw yang dalam sistem bisnis-dagangnya menjauhi sistem riba dengan menggunakan sistem bagi hasil/mudharabah.

Dari sini dapat disimpulkan adanya jenis riba pertama, yaitu riba utang-piutang (ad-duyun) atau bisa dengan banyak sebutan lainnya yaitu: riba kredit (riba al-qardh), riba al-Qur’an, riba jahiliyah, dan riba nasi’ah. Dinamakan riba nasi’ah karena terkait dengan lamanya tenggang waktu (nasi’ah) peminjaman yang diberikan. Riba jenis ini biasanya terjadi antara kreditur dan debitur, dimana kreditur (pemberi pinjaman) mensyaratkan adanya tambahan atas pokok hutang saat akad kepada debitur (peminjam) atau pada saat terjadinya penundaan pembayaran hutang tersebut.

Oleh karena itu, riba yang berkembang dan dipraktikan oleh masyarakat jahiliyah banyak bersumber dari perdagangan, baik itu hutang piutang karena modal dagang-hutang jual beli, maupun khususnya bersumber dari akad jual beli itu sendiri. Dari sini Nabi Saw kemudian mensabdakan pelarangan akan riba dalam jual beli yang disertai dengan penyebutan enam benda ribawi:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ عَنْ أَبِي الأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ «الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَإذَا اخْتَلَفَتْ هٰذِهِ الأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ (رواه مسلم)

Telah menceritakan pada kami Sufyan dari Khalid al-Hadzai dari Abi Qilabah dari Abi al-‘Asy’at dari Ubadah bin al-Shamit berkata: bersabda Rasulullah: (Tukarkanlah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara sama jumlahnya dan kualitasnya serta secara tunai. Apabila macamnya berbeda, maka jual-belikanlah sesuai kehendakmu asalkan secara tunai (HR. Muslim)

Hadits di atas, secara eksplisit melarang barter-penukaran enam macam benda ribawi secara berlebih, baik dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Benda pertama adalah emas dan perak, dimana menjadi bahan pembuatan uang logam, sedang sisa empat lainnya terkait dengan bahan pangan. Penukaran benda-benda ini jika sama, maka harus sama pula kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Jika berbeda macam, misalnya antara emas dengan perak, maka boleh terjadi kelebihan, namun harus dilakukan secara tunai. Jika terjadi penundaan penyerahan barang tersebut, maka terjadilah riba penangguhan (nasa’). Jika penukaran antara benda yang berlainan, semisal antara dirham dengan garam, gandum dengan kurma, maka tidak dipersyaratkan kuantitasnya sama dan boleh tidak tunai.

Redaksi hadits di a tas juga, memunculkan jenis riba kedua yang dikenal dengan riba jual beli (al-buyu’), dimana dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: riba al-fadhl dan riba nasa’. Riba al-fadhl adalah kelebihan jumlah pada salah satu pihak dalam jual beli secara barter enam barang di atas, termasuk barang atau benda lain di luar yang enam tersebut, yang menurut jumhur ulama, diqiyas-analogkan dengan enam barang tersebut. Sedang riba nasa’ adalah terjadinya penangguhan penyerahan enam benda-benda ribawi dan lainnya yang dianalogikan, meskipun kuantitasnya sama. Wallahu ‘alam bis-Shawab.

Mukhlis Rahmanto, Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sumber: Majalah SM No 12-13, dan 15 Tahun 2019

Exit mobile version