YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bedah karya sejarah memasuki pekan pertamanya pada September (6/9). Pemantik diskusi kali ini adalah sosok yang sudah tidak asing lagi dalam dunia penulisan sejarah dan kearsipan Muhammadiyah yaitu, Mu’arif, M.Pd.
Diskusi bertajuk “Muhammadiyah dan Wong Cilik: Sejarah Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)” ini juga dimoderatori oleh Ichsan dari Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.
Penceriteraan sejarah PKO, menurut Mu’arif, bukan saja dimulai pada tanggal resmi pendiriannya, melainkan beberapa tahun lebih ke belakang. Ketika Muhammadiyah mengambil langkah tegas untuk membantu korban bencana erupsi Gunung Kelud pada 20 Mei 1919.
Gerakan mengorganisasi bantuan ini diinisiasi dan dimotori langsung oleh Kiai Sudja’. Bersamanya juga ikut seorang mantan organisatoris kiri Bernama Drijowongso yang kala itu menjadi sekretaris Kiai Sudjak.
Keterlibatan dan keaktifan Drijowongso menulis dalam kegiatan-kegiatan filantropi Muhammadiyah memberi warisan berharga bagi generasi sekarang. Dari sanalah para penulis sejarah mendapat jejak-jejak cerita pergerakan Muhammadiyah.
“Meskipun tidak urut [dan] ia menceritakannya secara fragmented. Drijowongso menuliskan hal penting mengenai latar belakang pendiriannya [Bagian PKO],” ungkap Mu’arif.
Ketika itu Kiai Sudja’ yang mendapat berita bahwa meletusnya Gunung Kelud menelan banyak korban jiwa, langsung mengorganisir sumbangan. Beliau juga bekerja sama dengan berbagai kalangan, baik orang bumiputra maupun Eropa, yang tergabung dalam Komite Kelud.
Seketika sumbangan berupa uang, bahan makanan, serta tenaga medis pun berdatangan. Namun, Keraton Yogyakarta mengeluarkan instruksi untuk mengalihkan bantuan tersebut kepada masyarakat miskin Yogyakarta. Sebab, korban bencana di Kelud sudah ditangani oleh Pemerintah Kolonial.
Instruksi tersebut diterima oleh Kiai Sudja’, sehingga segala bantuan yang sudah terkumpul digunakan untuk menangani fakir miskin. Pada titik inilah disebut Mu’arif sebagai tahapan prapembentukan Bagian PKO.
Setelah itu kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan dana masih dilakukan. Salah satunya lewat Restoran Bulan Puasa di Kauman. Pengelolaan ini dipegang langsung oleh PKO dan dananya untuk membiayai rumah miskin, rumah yatim, poliklinik, dll.
Bahasan mengenai Restoran Bulan Puasa tersebut memantik pengembangan diskusi malam itu. Ada yang berasumsi bahwa penyelenggaraan Restoran itu sama dengan Pasar Tiban Kauman yang dikenal sekarang. Artinya, Pasar Tiban yang rutin dilakukan sore hari selama Ramadhan sudah berusia lebih dari satu abad.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Restoran Bulan Puasa tidak berbentuk seperti Pasar Tiban. Ia hanya diisi beberapa penjual makanan yang rutin berjualan kala Ramadhan tiba. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa Pasar Tiban merupakan evolusi dari Restoran Bulan Puasa.
Dalam pelaksanaan programnya, Bagian PKO juga mendapat suntikan dana dari Keraton Yogyakarta dan Pakualaman sebesar 100 f. Akan tetapi, subsidi ini sempat terhenti. Hal yang lebih membuat Muhammadiyah kecewa karena penghentian bantuan Keraton tersebut dialihkan alokasinya untuk mengelola program serupa dari kaum misionaris.
Padahal, Kiai Ahmad Dahlan membentuk gerakan Muhammadiyah ketika itu bertujuan untuk memberantas kebodohan, kemiskinan, dan keterjajahan Muslim bumiputra.
Walapun halang-rintang banyak berdatangan di tengah jalan pergerakan Muhammadiyah, termasuk lambatnya perkembangan PKO dibandingkan dengan Panti Rapih milik Belanda, Muhammadiyah tetap terus berjuang untuk bergerak membantu wong cilik. (ykk)