Kisah Jeddah, Pintu Gerbang menuju Mekkah dan Madinah
Oleh: Azhar Rasyid
Tatkala berbicara tentang tanah suci umat Islam, pikiran kita dengan segera akan tertuju pada dua kota di Arab Saudi, Mekkah dan Madinah. Mekkah merupakan kota yang paling disucikan umat Islam sedunia. Di sinilah bermula berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, mulai dari tempat lahirnya pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad saw, hingga sebagai kota terletaknya Ka’bah, situs suci ke arah mana kaum Muslim mengarahkan dirinya ketika shalat. Adapun Madinah (sebelumnya bernama Yastrib), yang jaraknya sekitar 442 kilometer dari Mekkah, memiliki posisi krusial lain dalam sejarah Islam. Hijrahnya Nabi Muhammad saw dan pengikutnya ke kota ini pada tahun 622 M menjadi awal dari penanggalan Islam yang masih dipakai hingga kini. Madinah juga menjadi lokasi di mana Nabi Muhammad saw dimakamkan.
Di luar dua kota di atas, sebenarnya ada kota-kota lain di Jazirah Arab yang juga mempunyai tempat penting dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah Kota Jeddah, sebuah kota yang sejauh ini lebih banyak dikenal sebagai kota pelabuhan melalui apa para jamaah haji dari seantero dunia akan memasuki Mekkah dan Madinah. Di luar sebagai kota pelabuhan para calon haji, Jeddah mempunyai sejarah lain yang tak kalah menariknya.
Kota ini memiliki banyak nama, tergantung pada pengucapan dalam bahasa apa yang kita pakai. Di antara nama-nama itu adalah Jidda, Jiddah, Jaddah, dan Juddah. Meski penyebutannya berbeda, namun banyak orang sepakat bahwa Jeddah, yang diambil dari kata Jaddah, memiliki arti “nenek”. Mengapa demikian? Sebabnya tak lain karena ada keyakinan bahwa Hawa, nenek moyangnya seluruh umat manusia, turun di sini dari surga. Makam Hawa pun dipercaya ada di Jeddah. Sementara itu, Nabi Adam diyakini turun di India. Mereka berdua lalu bertemu di Gunung Arafat.
Kota Jeddah terletak sekitar 70 kilometer di sebelah baratnya Mekkah. Sejarah Jeddah bisa dilacak hingga ke tiga milenium silam. Awalnya kota ini hanyalah sebuah kawasan persinggahan yang dipakai sebagai tempat istirahat bagi para nelayan selepas mereka melaut. Kalifah Usman bin Affan adalah sosok penting yang kemudian memajukan Jeddah. Ialah yang sejak tahun 648 M menjadikan kota ini sebagai kota pelabuhan bagi para calon jamaah haji yang akan ke Mekkah. Ini terutama sekali bagi mereka yang melintasi Laut Merah untuk mencapai Jazirah Arab. Kedatangan para calon haji ini tak hanya menyebabkan datangnya demikian banyak orang ke Mekkah dan Madinah. Para calon haji ini juga yang secara signifikan memajukan perekenomian Jeddah. Aktivitas perdagangan berkembang dengan sangat cepat di kota ini.
Kekuatan politik regional dan global turut mewarnai sejarah Jeddah. Pada abad ke-15, Jeddah berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk dari Mesir. Posisi gubernur Jeddah dipegang oleh Hussein al-Kurdi, seorang pangeran Mamluk. Bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis, yang kala itu mulai mengarungi dunia, juga menjadikan Jazirah Arab sebagai sasaran penjelajahan dan penaklukannya. Untuk mencegah masuknya bangsa Portugis, al-Kurdi bersama-sama masyarakat Jeddah membangun benteng dan menara mengelilingi kawasan Jeddah Lama, yang merupakan downtown (kawasan inti)-nya Jeddah. Sang gubernur bahkan memasang meriam untuk menghalangi kapal penyerbu dari Portugis.
Berbeda dengan Mekkah yang relatif homogen (karena hanya Muslim yang diizinkan memasukinya), Jeddah tergolong sebagai kota yang sangat kosmopolitan sejak masa-masa awal perkembangannya. Sebagai kota pelabuhan, Jeddah terbuka untuk didatangi kapal dari berbagai wilayah yang secara kultur dan keyakinan berbeda dari Mekkah sebagai inti Jazirah Arab. Berbagai jenis pekerjaan lahir karena aktifnya perdagangan antarwilayah dan interaksi antarbudaya ini. Kalangan non-Muslim yang ingin berinteraksi dengan warga Arab namun tidak bisa memasuki Mekkah memilih untuk menetap di Jeddah.
Maka, tak mengherankan bila dulu Jeddah dijuluki sebagai Balad Al-Qanasil atau Kota Konsulat lantaran banyaknya konsulat dari berbagai negara asing di kota ini. Belanda, misalnya, mendirikan konsulatnya di Jeddah tahun 1872, yang dimanfaatkan sebagai kantor yang mengelola jamaah haji asal Hindia Belanda (Indonesia). Haji Agus Salim sempat bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah ini sebelum kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi pemimpin Sarekat Islam. Sebelumnya, bahkan Perancis dan Inggris juga telah mendahului Belanda membuka konsulat di Jeddah.
Sebagai salah satu kota penting bagi Muslim, berbagai masjid penting dan bersejarah dibangun di kota ini sejak zaman dulu. Di antaranya ada Masjid Usman bin Affan (dibangun pada abad ke-9 dan 10 Hijriah), Masjid Akash (dibangun pada tahun 1379 Hijriah) dan Masjid Al Mem’ar, yang dibangun oleh Mustafa Mem’ar Pasha tahun 1384 Hijriah. Tempat-tempat lain yang menunjukkan panjangnya sejarah Jeddah adalah pasar-pasar lama serta pemakaman-pemakaman tua yang ada di kota ini.
Dewasa ini, Jeddah merupakan salah satu kota terbesar di Arab Saudi, dan hanya kalah dari ibu kota Arab Saudi, Riyadh. Untuk kawasan Laut Merah, Jeddah bahkan merupakan kota terbesar di tepiannya. Keragaman populasinya tercermin dari komposisi masyarakatnya. Jumlah penduduk berkewarganegaraan Arab Saudi di kota Jeddah hampir setara jumlahnya dengan jumlah penduduk non-Arab Saudi. Walau terkenal sebagai kota pelabuhan dan kota perdagangan, nuansa Islam di kota ini masih sangat kental. Salah satu ikon ternama di kota ini adalah Masjid Al-Rahma, yang dikenal pula sebagai masjid terapung (floating mosque). Masjid ini dibangun di atas pilar-pilar yang dipancangkan di Laut Merah. Karena warna masjidnya yang sangat putih, banyak pula orang yang menyebutnya sebagai Masjid Putih.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2019