Majalah Pantjaran ‘Amal Terbitan Muhammadiyah Cabang Betawi Dan Dunia Yang Berubah Di Era 1930an (Bagian 2)
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Ada beberapa kolom yang dapat menggambarkan dinamisnya isi majalah ini dan arti pentingnya untuk zaman itu. Pertama, kolom berisi kutipan ayat suci Al-Qur’an, terjemahannya, dan penafsiran atas ayat-ayat tersebut yang di salah satu edisi dari tahun 1938, disediakan sekitar 3,5 halaman. Ayat yang diangkat berasal dari Surat Al-Baqarah ayat 111-113.
Kedua, kolom bertajuk ‘ilmoe kebatinan’. Yang dimaksud di sini bukanlah mengenai pengetahuan dan praktik yang dewasa ini dikenal berkonotasi ghaib, melainkan ilmu yang berkenaan dengan ilmu jiwa, atau dengan kata lain perihal psikologi. Ini tampak dari tulisan seorang guru bernama Pandi Soeriahardja, ‘Keterangan Bahagian Ilmoe Djiwa’ di Pantjaran ‘Amal tahun 1938. Di sana dibahas tentang apa yang disebut oleh penulisnya sebagai ‘peringatan’, atau yang dalam bahasa psikologi kini dikenal sebagai ‘ingatan’ (memory). Diterangkan bahwa ingatan bisa dibagi dua, yakni ingatan mechanisch dan logisch.
Menariknya, Soeriadihardja juga membahas tentang apa yang di masa sekarang dikenal sebagai ‘gaya belajar’, atau teknik yang dipakai seseorang untuk dapat menerima dan menyerap informasi, yang disesuaikan dengan kecenderungan belajarnya. Sang penulis menggunakan teori gaya belajar yang mutakhir di zamannya, dengan menyebut bahwa manusia dapat dikategorikan menjadi ‘kaoem visuelen’ (‘jaitoe orang-orang jang moedah sekali mengingatkan barang-barang jang ia lihat sadja’), ‘kaoem auditieven atau accustischen’ (‘jaitoe jang moedah diingatkannja tjiptaan-tjiptaan jang dapat dari pantjaindra pendengaran’), ‘kaoem motorischen’ (‘jaitoe jang baik peringatannja hanja oentoek tjiptaan-tjiptaan gerakan sadja’), dan ‘kaoem orang jang moedah mengingatkan apa-apa jang mereka telah raba (tactiele type)’.
Ini menandakan bahwa warga Muhammadiyah di era 1930an itu tak hanya mendapat pengetahuan Barat modern dalam bentuk pengetahuan literasi dasar seperti membaca huruf Latin dan berhitung, tetapi juga dalam hal ilmu tentang mental manusia. Kala itu, psikologi tengah berkembang pesat di Eropa dan Amerika sebagai sebuah ilmu modern tentang manusia, pikiran dan kebiasaannya. Maka, tak heran bila istilah-istilah psikologi yang dipakai berasal dari bahasa Belanda.
Dengan kata lain, kehadiran majalah ini merupakan bagian dari gerakan luas keaktifan warga Muhammadiyah dalam menerbitkan berbagai majalah berisi informasi keorganisasian maupun artikel keagamaan. Media cetak ini menyediakan kesempatan bagi warga Muhammadiyah untuk memperluas horizon wawasannya menjadi lebih luas. Bahkan juga menaruh perhatian pada usaha memberikan panduan keagamaan dan mental (psikologi) bagi para pembacanya.
Namun, sebagai majalah yang diterbitkan oleh suatu cabang Muhammadiyah, tak mengherankan bila halaman-halaman majalah ini juga banyak memuat berbagai hal yang berkenaan dengan perkembangan Muhammadiyah.
Selain itu, Ada beberapa tema besar tentang kemuhammadiyahan yang hadir di dalam majalah ini. Pertama, mengenai kegiatan keorganisasian, seperti konferensi Muhammadiyah daerah. Ruang yang disediakan untuk ini di Pantjaran ‘Amal tidak sebanyak di Soeara Moehammadijah yang memang merupakan terbitan resmi HB Muhammadiyah di Yogyakarta. Namun, laporan yang ada memberikan gambaran tentang perkembangan Muhammadiyah di sekitar Batavia. Salah satunya adalah mengenai Muhammadiyah di Jawa Barat. Dalam Pantjaran ‘Amal edisi Mei 1938 disampaikan laporan mengenai konferensi Muhamamdiyah Jawa Barat ke-V yang diadakan di Rangkasbitung, Banten, Jawa Barat pada 15-17 April 1938.
Laporan ini semacam notulensi mengenai pertemuan itu. Ada banyak rincian menarik yang bisa diketahui tentang konferensi tersebut, yang memberi gambaran tentang bagaimana Muhammadiyah daerah dengan kreatif dan matang merencanakan, menyusun jadwal dan menyelenggarakan konferensi itu agar sukses serta melakukan evaluasi selepasnya. Misalnya tentang lokasi acara (bukan di gedung milik Muhammadiyah, melainkan di gedung Phonix di Rangkasbitung), latar belakang peserta yang hadir dan asal usul daerahnya (cabang-cabang dan grup-grup Muhammadiyah se-Jawa Barat, utusan ‘Aisyiyah serta perwakilan Pemuda Muhammadiyah), serta para peninjau dari luar Muhammadiyah (wakil media cetak dan polisi). Daftar berisi keputusan yang diambil oleh Muhammadiyah, ‘Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah juga disampaikan agar warga Muhammadiyah se-Jawa Barat tahu apa saja aturan atau panduan yang disahkan dan instruksi apa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut.
Yang juga menarik adalah susunan acara konferensi, yang mencerminkan bahwa acara ini tidak melulu serius, tetapi juga dikombinasikan dengan kegiatan seni sebagai hiburan bagi para pesertanya. Acara pembukaan konferensi misalnya, tidak langsung diisi oleh pidato tuan rumah, melainkan diawali dengan acara panembromo (paduan suara) oleh anak-anak yatim dan anak-anak yang menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Barulah selepas koor itu acara-acara resmi dimulai, seperti sambutan dari Voorzitter Comite van Ontvangst (Ketua Panitia Penyambutan), pidato Konsul Muhammadiyah Jawa Barat (Kartosudarmo), dan pemandangan-pemandangan dari para utusan daerah yang hadir terhadap konferensi itu. Sepanjang konferensi, acara hiburan lain juga digelar, mulai dari tentoonstelling (pameran), optocht (parade) yang dibawakan oleh Hizbul Wathan, hingga pertandingan sepak raga (semacam sepak takraw).
Kedua, perkembangan mutakhir yang berkenaan dengan kepemimpinan Muhammadiyah dalam kaitannya dengan perkembangan sosial-politik di Hindia Belanda. Majalah Pantjaran ‘Amal menaruhnya di kolom bertajuk ‘Pertjatoren Dalam Negeri’. Di edisi 10 Januari 1939 (19 Zulqaidah 1357) misalnya, kolom ini diisi oleh berita mengenai Ketua Umum PP (dalam istilah masa itu: hoofdzitter H.B. Moehammadijah), K.H. Mas Mansur yang memasuki lapangan politik. Sebagaimana diketahui, Mas Mansur bersama Sukiman Wiryosanjoyo, Ki Bagus Hadikusumo dan R Wiwoho Purbohadijoyo pada tahun 1938 mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) sebagai saluran penyampai aspirasi politik umat Islam Indonesia.
Keputusan Mas Mansur ambil bagian di dalam PII itu memantik gejolak di antara warga Muhammadiyah. Kala itu memang sedang ada perdebatan tentang apakah Muhammadiyah, yang sedang berkembang pesat di lapangan sosial-keagamaan, perlu turut terjun pula ke ranah politik, di tengah pengekangan politik yang dilakukan pemerintah kolonial atas segala aspirasi politik masyarakat pribumi selepas pemberontakan kaum komunis tahun 1928. Sebagian kalangan memandang bahwa umat Islam harus masuk ke gelanggang politik agar aspirasi politiknya tersampaikan, sementara ada pula yang bersikap anti terhadap politik.
Penolakan internal di kalangan Muhammadiyah terhadap masuknya Mas Mansur ke dalam PII bisa dibaca dengan jelas di Pantjaran ‘Amal tahun 1939. Seorang penulis berinisial ‘Sj’ (tidak diketahui persisnya siapa), menuliskan opininya, yang tampaknya juga mewakili pikiran sebagian warga Muhammadiyah lainnya, di kolom ‘Pertjatoeran Dalam Negeri’. Bertajuk ‘Kijai H Mas Mansoer Masoek Poelitik’, sang penulis memulai opininya dengan mengutip pandangan redaksi surat kabar Pedoman Masjarakat, 16 November 1938, yang menjustifikasi masuknya Mas Mansur ke dunia politik. Argumen utama redaksi koran terbitan Medan itu ialah bahwa itu bukanlah kali pertama tokoh Muhammadiyah juga mengabdi di bidang politik.
Redaksi Pedoman Masjarakat menyebut beberapa contohnya, seperti pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang ambil bagian sebagai penasihat Centraal Sarekat Islam, dan Haji Fachroedin yang menjadi komisaris di organiasi yang sama. Contoh lain yang diambil redaksi Pedoman Masjarakat berasal dari pengalaman Muhammadiyah di Minangkabau. Redaksi menyebut beberapa penganjur Muhammadiyah setempat yang terlibat dalam berbagai urusan politik lokal, seperti S. St. Mangkoeto dan M. Zein Djambek. Orang Muhammadiyah yang menerima masuknya orang-orang ini ke dunia politik, dan demikian juga menerima keterlibatan Mas Mansur di dalam PII, oleh redaksi Pedoman Masjarakat disebut sebagai ‘kaoem Moehammadijah jg telah lama mengetahoei pergerakan ini, dan berdada lapang’.
Tapi, penulis di Pantjaran ‘Amal itu tidak setuju dengan pandangan dan argumen Pedoman Masjarakat di atas. Ada tiga pokok keberatan atau bantahannya. Pertama, di zaman Kyai Dahlan, Muhammadiyah merupakan organisasi yang baru saja lahir, sementara di akhir 1930an itu Muhammadiyah sudah jauh lebih maju dan besar, dengan cabang di mana-mana. Dengan banyaknya urusan di Muhammadiyah, terang penulisnya, tidaklah mungkin ketua umum Muhammadiyah dapat mengelola organisasi lain. Kedua, penulisnya menyampaikan potensi akan adanya benturan kepentingan bagi warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dari partai politik, terutama bila idealisme partai itu berbeda dengan cita-cita Muhammadiyah dan bila anggota Muhammadiyah hanya dijadikan sebagai ‘pasar’ di mana ‘propagandisten’ (propagandis) partai itu menyebarluaskan ide-idenya. Ketiga, menurut sang penulis, pendirian sebuah partai Islam baru sementara pada saat yang sama sudah ada pula partai Islam lain yang sudah eksis hanya memperlihatkan bahwa perpecahan telah terjadi di antara umat Islam.
Laporan dan opini yang ditampilkan di Pantjaran ‘Amal tentang keterlibatan Mas Mansur di PII merupakan sumber sejarah yang penting dalam memahami relasi antara Muhammadiyah dengan politik, kebangsaan dan pendudukan asing di akhir 1930an dan awal 1940an.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2020