YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Divisi Tanggap Darurat, Rekonstruksi dan Rehabilitasi (TDRR) Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah melaksanakan rapat koordinasi (rakor) Siaga Merapi via daring, Jum’at malam (10/09). Rakor menghadirkan nara sumber Hanik Humaida, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta.
Hadir pula Ketua MDMC PP Muhammadiyah, Budi Setiawan dan sebagai peserta rakor adalah MDMC PWM Jawa Tengah, MDMC PWM DIY, MDMC daerah kawasan lingkar Merapi yaitu Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten dan Sleman serta beberapa kepala desa di Kawasan Rawan Bencana III Merapi.
Koordinator Divisi TDRR MDMC PP Muhammadiyah, Indrayanto saat dihubungi menyampaikan rakor ini bertujuan untuk memahami karakteristik aktivitas siaga merapi.
“Nantinya informasi ini sebagai bahan rujukan menyusun rencana penanganan darurat bencana di masa pandemi covid 19 yang diperlukan oleh MDMC di lingkar Merapi dan konsolidasi kesiapsiagaan Muhammadiyah bersama komponen masyarakat lingkar merapi,” katanya.
Mengawali paparannya, Hanik Humaida mengungkapkan status siaga Gunung Merapi ditetapkan mulai tanggal 5 November 2020. “Merapi ini kenaikan aktivitasnya kan sudah cukup lama ya, jadi memang rangkaian panjang Merapi saat ini merupakan kegiatan sejak tahun 2018,” kata Hanik.
Penetapan status Siaga Merapi, menurut Hanik berdasarkan empat kondisi yang terjadi. “Waktu itu semua kegempaan meningkat dengan signifikan, sering terdengar suara guguran, kemudian kegempaan vulkanik sangat kuat dan terjadi peningkatan energi yang cukup besar,” ungkapnya.
Data pemantauan menjelang siaga tahun 2020 juga jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2006, mendekati kondisi tahun 2010. Sehingga waktu itu status siaga ditetapkan untuk antisipasi kalau ada erupsi ekslosif atau ekstruksi magma yang tinggi jumlahnya.
Merapi saat ini punya dua kubah yaitu kubah tengah dengan volume 3 juta m3 dan barat daya dengan volume 1 juta meter kubik.
BPPTKG juga sudah menyusun pemodelan jika terjadi erupsi Merapi. Dari pemodelan itu terungkap, jika kubah barat daya longsor, akan menimbulkan awan panas maksimal sejauh 5 km. Arah awan panas menuju Kali Boyong, Bebeng, Krasak dan Putih. Jika kubah tengah yang longsor, akan menjangkau jarak 5 km.
“Skenario paling buruk, dapat terjadi ketika laju ekstruksi meningkat sampai 100 m3 per hari kemudian volume kubah yang di tengah 10 juta m3. Jika kubah 50% kubah runtuh maka akan menghasilkan awan panas ke Kali Gendhol sejauh 9 km, Opak 6 km dan Woro 6 km,” kata Humaida.
Untuk desa-desa di Kawasan Rawan Bencana III Merapi akan terdampak dan masuk dalam kawasan bahaya skenario tersebut. Ada 10 desa di Kabupaten Magelang, 2 desa di Boyolali, 3 desa di Klaten dan 7 desa di Sleman.
Selain bahaya erupsi Merapi sendiri, material muntahan lain yang berbahaya adalah abu vulkanik.
“Yang paling utama bahayanya adalah awan panas, tapi bahaya abu juga harus kita antisipasi walaupun bahayanya tidak secara langsung terhadap kesehatan,” pungkas Humaida.
Sementara itu Ketua MDMC PP Muhammadiyah, Budi Setiawan dalam sambutannya mengatakan kita harus kenal dengan “polah” Merapi.
“Sangat penting kita mengetahui aktivitas Merapi. Tentu dengan ilmu pengetahuan sekarang, ada badan yang memang mengamati Merapi dengan keilmuan sedemikian majunya. Dengan demikian maka ketika Merapi akan bereaksi kita akan lebih dahulu mengetahui ke arah mana, sehingga dapat berbuat sebaik-baiknya untuk saudara kita di sekitaran Merapi,” kata Budi Setiawan. (Tim Media MDMC)