Al-Muqît, Allah Yang Maha Memelihara
Al-Muqît berarti Yang Maha Memelihara. Ya, Allah adalah yang memelihara segala sesuatu.
وَكَانَ اللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيتًا
Dan Allah menjadi pemelihara segala sesuatu. (Qs. an-Nisa’: 85).
Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan di sini? Bila dihubungkan dengan siyâq (konteks) dari ayat tersebut, maka makna pemeliharaan di sini berkaitan dengan kemampuan Allah untuk senantiasa membalas perbuatan – yang baik dibalas dengan kebaikan, dan yang buruk dibalas dengan keburukan. Menurut Ibn ‘Asyur, sifat muqît di sini, yang asalnya berarti penjaga atau pengawas, digunakan untuk menunjukkan makna penjagaan dan pengawasan secara terus-menerus.
Secara kebahasaan kata muqît berhubungan dengan kata qût (jamaknya aqwât), yang diartikan sebagai makanan, asupan, rezeki, atau apa yang dikonsumsi oleh manusia untuk hidup. Kata kerja qâta-yaqûtu berarti memberi makan. Dari sisi ini, Al-Muqît, sebagaimana diartikan oleh al-Ghazali, adalah pemberi atau penyampai makanan kepada makhluk-Nya agar mereka dapat bertahan hidup. Dengan kata lain, Al-Muqît berarti yang memelihara dan menjaga makhluk-Nya secara saksama dengan memberi mereka sesuatu yang dapat mempertahankan hidup mereka.
Allah-lah yang menjamin ketersediaan pangan bagi semua makhluk. Bahkan, dipahami dari surah Fushshilat ayat 10 (… wa qaddara fîhâ aqwâtahâ…) bahwa Allah menciptakan makanan bagi masing-masing makhluk sebelum Dia menciptakannya.
Allah memberi makan tanpa diminta, termasuk kepada manusia yang tidak dapat meminta ataupun bekerja. Kepada yang bisa berusaha untuk mencari rezeki, Allah memberikan mereka sarana – tanpa mereka minta – untuk menjemput atau mendapatkan rezeki. Akan tetapi, manusia diberi dua pilihan: apakah memilih yang halal atau mau yang haram.
Memilih hanya yang halal tidak akan mengurangi jatah rezeki. Demikian pula, memilih yang haram juga tidak akan menambah jatah rezeki. Akan tetapi, pilihan yang halal dapat menyelamatkan diri dari azab, sedangkan pilihan yang haram dapat membahayakan diri dan menjauhkan diri dari kenikmatan hakiki. Orang yang benar-benar menghamba kepada Al-Muqît hanya akan memilih yang halal dan percaya bahwa makanan yang menjadi kekuatan hidupnya adalah pemberian dari Allah. Dia tidak akan risau dengan jaminan pemeliharaan dari Allah. Dia tidak akan cemas dengan urusan makanan untuk menyambung hidup walaupun ia sering-sering berbagi dengan sesamanya. Alih-alih, yang dia risaukan adalah urusan ibadahnya kepada Allah Yang Maha Memelihara.
Izza Rohman, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DKI Jakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018