Doakan Musuhmu Agar Lupa Pada Niat Jahatnya

Berguru Kepada Ibuku Sendiri

Doakan Musuhmu Agar Lupa Pada Niat Jahatnya

Foto Dok Ilustrasi

Doakan Musuhmu Agar Lupa Pada Niat Jahatnya

Berguru Kepada Ibuku Sendiri

Nasyiah yang bersimbul padi

Terdidik tiap hari

Kemuliaan Islam dicari

Bekerja digemari…

Radio tetangga yang diputar pada gelombang RRI Nusantara II  Yogyakarta menyiarkan lagu mars Nasyiatul Aisyiyah. Pagi hari. Tiap hari Jum’at, ketika sekolah Muhammadiyah libur. Anak-anak putri kecil keluarga Muhammadiyah berada di gedung pertemuan Mushola Aisyiyah Kotagede untuk mendidik dirinya menjadi kader NA sekaligus kader Aisyiyah. Mbakyu-mbakyu mereka yang bersekolah di Muallimat atau yang di tempat lain rutin datang untuk menemani dan menggembirakan hati putri-putri kecil itu. Mereka diajari lagu yang indah, diceritakan dongeng yang dalam bahasa sekarang disebut inspiratif dan diberi motivasi agar rajin belajar agama dan ilmu umum serta rajin bekerja membantu keluarga.

“Ibu waktu kecil tiap Jum’at pagi juga datang ke gedung pertemuan Mushola itu lho,” begitu kata ibu suatu hari ketika saya kecil.

“Jadi ibu termasuk Cah NA kalau begitu?”

“Tentu. Apalagi Ibu sekolah di sekolah Kapsul Muhammadiyah di Prenggan dekat Masjid Perak.”

Saya heran ada sekolah dengan nama mirip pil itu. Ketika saya tanya dimana gedung sekolah itu, Ibu menjawab gedung sekolah itu dibumihanguskan ketika Doorstot. Belanda datang di tahun 1948. Makanya yang kelihatan di situ cuma kebun dan bangunan rusak.

Lagu mars Nasyiatul Aisyiyah diulang lagi dan terdengar penyiar mengucapkan salam lalu acara dilanjutkan seperti biasa. Ibu lalu bercerita tentang nama-nama perempuan seumur dia yang aktif datang ke Mushola Aisyiyah Kotagede tiap-tiap Jum’at pagi. Juga Mbakyu-mbakyu yang menjadi pengasuh. Nama itu asing bagi saya, lalu Ibu menjelaskan kalau mereka sudah berkeluarga dan namanya lebih dikenal sebagai nama Bu Anu. Ternyata banyak di antara mereka adalah ibu dari teman teman sebayaku. Ibu juga menyebutkan nama teman sekolah.

Ibuku adalah perempuan Jawa yang kalau mendidik anaknya lebih banyak menggunakan cerita dan pengalaman langsung.

Dalam lagu mars Nasyiatul Aisyiyah itu ada baris kalimat: bekerja digemari. Itu yang paling disukai Ibu waktu kecil. Waktu masih anak-anak, Ibu sudah bekerja di tempat budenya, kakak dari ibunya di kampung Prenggan. Uang hasil bekerja dia tabung untuk melanjutkan sekolah, tetapi dilarang oleh orang tua. Uang itu diminta untuk biaya keluarga. Maklum, ibu adalah anak yatim, ayahnya sudah meninggal dunia lalu ibunya kawin lagi dan segera melahirkan adik-adik Ibu. Jadi nenek untuk sementara berhenti bekerja, Ayah barunya adalah seorang Kiai kecil yang pekerjaannya mengajar ngaji dan adzan di masjid. Ibu sebagai anak kedua dibebani tanggung jawab untuk mencari uang agar adiknya bisa makan.

Ibu menceritakan hal ini dengan gembira tanpa beban. Kadang dia dibantu kakaknya. Lebih-lebih waktu Belanda datang, gedung sekolah dibumihanguskan. Belanda membuat markas tentara di dua tempat di Kotagede. Di Tegalgendu dan dan di utara kampung Ndalem. Pasar sepi. Orang berjual beli keperluan rumah tangga di halaman masjid besar Kotagede. Itu saja dagangan digendong dan siap lari kalau ada serangan serdadu Belanda.

Untung pasar di desa, di Jejeran atau Pleret masih lebih aman dan ramai. Di pasar desa inilah Ibu yang masih anak-anak bersama kakaknya dan tetangga yang juga masih anak anak berdagang. Dari rumah membawa kain batik warisan keluarga, maklum nenek ibuku ini juragan batik asal Gegulu Kulonprogo, jadi ibunya ibu menyimpan cukup banyak kain batik.

Kain batik ini di pasar desa ditukar dengan beras dan sedikit uang untuk biaya hidup sekeluarga di rumah.

Ini rutin dilakukan ibu kalau rumah kehabisan beras dan uang.

Dalam rombongan anak-anak masuk ke pasar desa ini Ibu yang biasanya memimpin. Maklum, sebagai kader NA dia sudah dibekali dasar-dasar kepemimpinan walau masih sederhana rumusannya. Ibu dalam kesempatan ke rumah neneknya juga sering menguping pembicaraan pamannya yang menjadi tentara. Ketika pamannya berdiskusi dengan teman-temannya tentang taktik perang, setelah menyuguhkan minuman dan makanan, Ibu suka memasang kuping d belakang pintu. Dengan demikian ibu punya bekal pengetahuan tentang taktik perang saat datang ke pasar desa. Dasar anak-anak, dalam suasana perang mereka pun masih sempat bercanda kalau berjalan pulang pergi ke pasar desa.

Waktu pulang dari Pasar Jejeran yang sekarang terkenal dengan sate klataknya Pak Baru, dulu belum musim sate klatak, rombongan ibuku sampai di Desa Dladan. Desa di atas sungai Gajah Uwong, di selatan jauh desa Semoyan. Semua gembira karena masing-masing anak membawa beras dan sedikit uang. Jualan kain batik laku semua.

Di dekat desa Dladan ada clangap atau selokan irigasi yang menyalurkan air dari Bendungan atau dam Mrican. Air mengalir jernih walau ada perang.

Karena semua anak mereka bercanda dan tertawa-tawa. Tidak tahunya suara tawa mereka yang keras bergema ke tebing timur, di atas kalen Kotagede menuju tempuran sungai Gajah Uwong di barat desa Karang Singosaren. Di tebing timur ada patroli serdadu Belanda. Mendengar suara tertawa itu Serdadu Belanda marah, satu regu serdadu Belanda segera mengokang senjata lalu menembak dengan membabi-buta ke arah Dladan, asal suara tawa.

Ibu yang pernah melihat sendiri pak Lik dia yang tentara Republik bongkar pasang senjata secara sembunyi di balik tembok rumah nenek, juga melihat bagaimana tentara yang berkumpul disitu mengokang senjata, begitu mendengar suara satu regu serdadu mengokang senjata sambil berteriak-teriak, langsung Ibu saya melompat masuk clangap atau selokan itu sambil berteriak ke arah temannya.

“Berlindung!”

Byur. Semua anak ikut melompat ke selokan. Saat itu terdengar rentetan tembakan dari tebing timur. Peluru peluru berdesing di atas selokan mengenai daun dan pohon pisang yang banyak tumbuh di sekitar situ.

Ibuku dan teman-teman dia semua selamat

Mereka tidak bersuara. Ketakutan. Lalu ibuku mengajak temannya untuk bergerak ke arah utara. Berjalan di dalam air terlindung bibir selokan.

“Terus berlindung. Jangan ada yang menonjolkan kepala,” kata ibuku bergaya komandan pasukan.

“Kita kemana Yu?”

“Kita nanti muncul di bawah Bendungan Mrican. Kita mengendap endap, menyeberang sungai berlindung alang-alang. Sampai di seberang timur, berlindung hutan bambu lalu masuk makam Santan di kampung Citran, melihat situasi. Kalau aman kita menyusup ke kampung Karangduren, masuk makam Ngledok. Kalau keadaan aman, baru kita pulang ke rumah masing-masing. Paham?”

“Paham Yu.”

Mereka pun bergerak pulang lewat jalur yang telah dirancang Ibuku. Tubuh mereka basah kuyup, beras juga basah dan bertambah berat. Tetapi mereka malah menertawakan kemalangan itu.

“Yang penting kita selamat dari tembakan Landa Didong itu,” kata ibuku.

“Ya, Yu. Yang penting kita selamat walaupun tubuh basah dan beras ikut basah.”

* * *

Ibu makin sadar sebagai anak yatim ketika suatu hari bermain ke Selakraman. Ke rumah Kiai Amir.  Dia sedang bermain di bawah pohon ketika Kiai Amir yang waktu sedang berbincang dengan tamu, kemudian meninggalkan tamu dan berjalan mendekati Ibu. Ibu ditanya anak siapa dan lugu dijawab apa adanya.

“Oh, Kamu anaknya Taslim cucunya Kang Idlhar?”

Ibu mengangguk.

Kiai Amir menggandeng tangan ibu di bawa ke belakang, ke Pawon.

“Bu, ini cucunya Kang Idlhar. Takonana wis maem apa durung.”

Nyai Amir tanggap, menyuruh Ibuku makan pagi.

Ibu ditanya kenapa dokan sampai jauh. Jawab Ibu membuat Bu Nyai terharu. Sebab Ibu menjawab kalau dia ingat pada ayahnya yang sudah meninggal, dan pernah mendengar kalau di Selakraman ada saudara walau tidak dekat. Ia ingin menghibur diri dengan bermain di tempat ini. Ternyata melihat ada anak kecil bermain sendirian, Kiai Amir tertarik. Dan setelah tahu ibu anak yatim dan masih saudara jauh, Kiai Amir lalu menyerahkan ibu ke Bu Nyai. Bu Nyai berpesan kalau lain hari ingin bermain lagi langsung saja menemui pak Kiai atau Bu Nyai.

Kisah kebaikan keluarga Kiai Amir ini  diceritakan ibu berulang ulang sebagai kisah indah di masa kecil.

Ibu kemudian mengisahkan bagaimana dia merintis masa depannya. Dengan kasih bekerja di tempat Budenya dia diam-diam menyisihkan uang untuk mengikuti kursus yang diadakan oleh Aisyah atau lainnya. Kemudian ketika remaja dan lalu menjadi pemudi pernah diminta untuk mengajar di sebuah TK ABA tetapi kemudian ketika menikah dan sibuk mengurus anak dan dagangan di Pasar Beringharjo Ibu tidak lagi mengajar.

Sebagai cucu seorang pengusaha batik yang kaya ibuku melihat bagaimana saudara ibunya tidak ada yang meneruskan usaha batik itu. Bude dia menjadi pengusaha konveksi dan ibunya sendiri menjadi pedagang pakaian yang sehari-hari berjualan di Pasar Wates atau pasar lainnya.

Bekerja digemari, bunyi lagu Mars Nasyiatul Aisyiyah menjadi semboyan hidupnya. Apalagi Ibu aktif di pengajian yang diselenggarakan Aisyiyah dan paling senang kalau yang mengisi pengajian Pak AR Fakhruddin. Para ibu merasa terhibur dan makin kuat mentalnya menjadi seorang ibu bagi anak anaknya, seorang isteri bagi suaminya dan kakek bagi adik-adiknya.

Ibu menikah dengan Ayah yang sama-sama anak nomer dua yang sebelum menikah sama-sama menjadi tulang punggung keluarga. Juga sama-sama saudara sepupu karena Mbah Hasyim dan Mbah Taslim kakak beradik. Ketika menikah, menjadi dewasa dan hidup memisahkan diri dari orang tua masing-masing. Awalnya diminta tinggal di rumah Mbah Dulah Qomari, kakak dari Mbah Hasyim. Kemudian pindah ke rumah Mbah buyut Idlhar di Pondongan. Diam-diam Ayah dan Ibu menabung. Saat mendapat uang rapel pensiunan tentara, uang rapel itu dipakai untuk membeli rumah Pondongan, atau dalam istilah Jawa nusuki.

Karena Ayah pensiun dini sebagai tentara, dia pernah luka tembak di dada dan tangan dalam pertempuran sengit di Pelemsewu Bantul. Jadi Ayah pensiun dengan pangkat Kopka. Sekaligus menjadi anggota Corp Cacat Veteran RI. Juga menjadi anggota Koperasi Veteran yang waktu kalau mengambil beras di Bintaran (Rumah Dinas Pangsar Sudirman lewat pintu timur, sebelum jadi museum) kemudian pindah ke Janturan.

Sebenarnya secara ekonomi keluarga, sebelum ada Dekrit Presiden 1959, kondisinya baik-baik saja. Apa saja masih murah walau kabinet jatuh bangun. Dengan uang dipensiun ditambah usaha dagang, Ayah masih mampu membiayai sendiri kegiatan pengajian anak-anak di rumah. Termasuk membeli snack untuk konsumsi dengan maksud menggembirakan anak-anak yang mengaji.

Tetapi, setelah Dekrit Presiden kondisi ekonomi rakyat kacau. Harga barang mulai mahal, cari uang sulit, bencana alam, hama menggagalkan panen petani, orang mulai kelaparan, penderita busung lapar bergelimanpangan dan saya menyaksikan sendiri orang dari gunung masuk kota mencari makan.  Ayah bertindak taktis dengan mengubah halaman dan kebun di sekitar rumah menjadi lumbung pangan. Ibu menjual hasil kebun ke pasar untuk ditukar dengan bahan makanan.

Saya betul-betul menyaksikan bagaimana Ibu ahli dalam berimprovisasi di pasar dan di rumah. Makanan rumah diturunkan standarnya dari beras ke jagung, ketela, umbi, kadang pisang rebus atau tiwul. Kadang ibu menjahit kalau ada pesanan atau permintaan. Pengajian anak-anak di rumah berhenti. Hasil pensiunan Ayah tidak mencukupi kebutuhan hidup sebulan. Saya diminta untuk antre minyak tanah di dekat kelurahan.

Beras seperti emas. Kalau mendapat jatah, beras berkualitas rendah, dihemat betul dan bekas juragan jahit ibu suatu hari menangis, ingin berhutang beras ke Ibu. Tabungan beras diberikan Sebagian.

Di zaman ekonomi sulit ketegangan politik dimana orang komunis mendirikan pos pengamatan dan pengawasan untuk membatasi mobilitas warga, ibu yang malah bisa luwes kemana mana. Orang komunis tidak berani mengganggu Ibu karena tahu dia itu isteri Ayah yang pensiunan tentara dan santri pondok yang bersama Mbah Buchori pendekar mereka perhitungkan. Saya sebagai anak kecil bebas kemana mana, bisa membaca koran yang ditempelkan di dinding dan melihat orang kiri menggali lubang besar di dekat makam Panembahan Senopati. Apa saja yang saya lihat dan apa yang Ibu lihat dilaporkan ke Ayah yang waktu pernah bertugas menumpas pemberontak Madiun.

Hidup betul-betul menegangkan. Juga muncul hal yang lucu. Ketika orang komunis mengecat rumah mereka dengan cat hitam, ayah dan teman temannya memakai jurus Abu Nawas juga mengecat rumahnya dengan cat hitam. Termasuk rumah kakek yang sebelumnya ada gambar bulan bintang di atas pun. Gambar itu ditutup dengan cat hitam. Jadi rumah milik kelompok merah sama catnya dengan rumah milik kelompok hijau.

Nah, setelah keadaan aman dan banyak orang kiri dibawa ke pulau Buru, Ayah dan teman teman menggerakkan dakwah dengan mengamalkan Surat An Nashr.

Pasar mulai menggeliat, dan ibu berdagang kembali. Saya sebagai anak kedua selain diminta mewarisi kisah perjuangan hidup ibu sebagai kader kelas teri dari NA dan Aisyiyah yaitu mendampingi suami yang pejuang kemerdekaan yang cacat karena tembakan Belanda. Ibuku juga bersemangat sekali mendidik saya sebagai kader pedagang. Saya ditugaskan mengambil barang dagangan, juga ditugaskan menemani ibu ke pasar desa berjualan pakaian, kalau pas libur sekolah.

Ketika ibu berhenti berdagang di pasar desa dan membuka warung sembako, saya yang bertugas untuk membeli dagangan sehabis Subuh di pasar Kotagede. Kalau modal menipis, saya diminta menjual ayam peliharaan kalau pas pasaran Legi. Hasil penjualan ayam dipakai untuk membeli barang dagangan.

Di kemudian hari saya terbukti kurang berbakat berdagang barang, tetap justru berbakat berdagang ide yaitu menulis. Menulis sebagai jurnalis, sebagai sastrawan dan sebagai aktivis perbukuan. Ibu tidak melaksanakan kehendak dan tidak protes ketika saya memilih berdagang ide ini. Hanya saja Ibuku sadar persaingan di dunia perdagangan ide sangat keras dalam persaingan.

“Mungkin ada dan akan ada orang yang memusuhi atau menyaingimu. Cara untuk selamat adalah, doakan musuhmu atau sainganmu agar dia lupa dengan niat jahatnya. Dengan demikian dia dan kamu sama-sama selamat,” kata Ibuku suatu hari. Nasihat yang bermakna dalam yang bisa melindungi diriku ketika aku aktif sebagai jurnalis, sebagai sastrawan dan aktivis perbukuan. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version