Menengok Riwayat Islam di Ujung Selatan Afrika
Oleh: Azhar Razyid
Bila menyebut Islam dan Benua Afrika, maka yang pertama hinggap di benak orang tentulah kehadiran agama ini di negara-negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair dan Maroko. Dengan kata lain, Islam di Afrika identik dengan Islam di Afrika bagian utara dan timur laut. Ini tidaklah mengherankan mengingat wilayah-wilayah ini punya ikatan sejarah yang amat panjang dengan agama Islam. Dinasti Umayyah telah menaklukkan Maroko sejak abad ke-7, dan nuansa Islam di negeri ini masih bertahan hingga kini. Nabi Musa menjalankan tugas kenabiannya dengan Mesir sebagai latar geografisnya. Dewasa ini, Mesir, khususnya Universitas Al-Azharnya, dikenal sebagai salah satu pusat studi Islam terkemuka di dunia. Bagian-bagian lain dari Afrika Utara juga punya sejarah yang erat dengan lahir dan tumbuhnya agama Islam.
Kuatnya ikatan sejarah antara Afrika Utara dengan Islam membuat kehadiran Islam di bagian Afrika lainnya menjadi agak terabaikan. Salah satunya di bagian Afrika yang paling jauh dari pusat-pusat penting Islam, seperti Mekkah dan Madinah. Bagian Afrika itu adalah Afrika di bagian selatan, suatu kawasan yang mencakup Botswana, Swaziland, Lesotho, Namibia, dan, yang terbesar di antara semuanya, Afrika Selatan. Nama-nama ini tergolong asing bagi telinga publik dalam kaitan mereka dengan Islam. Padahal, Islam juga telah cukup lama hadir dan berkembang di wilayah-wilayah ini.
Memang, eksistensi Islam di Afrika bagian selatan masih sangat muda bila dibandingkan dengan di bagian utara benua ini. Berbeda dari sejarah Islam di Afrika Utara yang sudah berusia lebih dari satu milenium, Islam di selatan Afrika baru berumur sekitar tiga abad. Pembawa pertama Islam ke kawasan selatan Afrika adalah seorang Muslim bernama Ibrahim van Batavia. Ia adalah seorang budak yang dibawah oleh kapal milik perusahaan dagang Belanda, VOC, ke Table Bay (Teluk Meja) di negeri yang kini menjadi Afrika Selatan. Afrika Selatan kala itu merupakan pos peristirahatan kapal VOC dalam perjalanan antara Belanda dan Batavia.
Tercatat Ibrahim tiba pada paroh kedua abad ke-17, tepatnya tahun 1653. Ia bertugas untuk membangun tempat persinggahan kapal-kapal VOC di sana. Melihat namanya yang memakai ‘Batavia’, ia kemungkinan berasal dari Pulau Jawa, tepatnya kota Batavia (Jakarta), yang saat itu dikuasai oleh VOC. Bagi para sejarawan, ini adalah sesuatu yang mengherankan. Islam tidak dibawa oleh pedagang atau kaum sufi, seperti yang terjadi dalam persebaran Islam dari Jazirah Arab dan India ke Asia Tenggara. Islam di Afrika bagian selatan justru dibawa oleh orang yang tidak merdeka di masanya, dan difasilitasi oleh kapal sebuah perusahaan yang menjadi simbol penjajahan bangsa Barat terhadap bangsa Timur.
Selain catatan bahwa seorang Muslim bernama Ibrahim telah menjejakkan kaki di Afrika bagian selatan pada paroh kedua abad ke-17 itu, tidak tersedia informasi lebih banyak tentang Ibrahim. Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah bagaimana Ibrahim menjalankan Islam di sana, apakah ia juga mengajak warga lokal untuk menganut Islam, atau perihal bagaimana respon orang Belanda terhadap kehadiran Muslim di wilayah itu. Minimnya cerita rinci tentang Ibrahim memang wajar mengingat sebagai budak, Ibrahim bukanlah sosok yang dianggap penting dalam arsip Belanda.
Jejak Islam yang lebih jelas di wilayah ini baru terlihat pada dekade-dekade selanjutnya. Pembawanya adalah sosok yang juga terkenal di Indonesia, Syekh Yusuf. Lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf Al-Makasari (1626-1699) merupakan sekutu raja Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, dalam menghadapi intervensi Belanda di Banten. Atas dukungannya pada Sultan Banten ia ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Srilanka. Ia perlu dibuang jauh karena punya pengaruh yang besar di kalangan Muslim di Banten. Nyatanya, di Srilanka pun ia tetap menjadi sosok penting bagi komunitasnya karena di sana ia bahkan bisa mengislamkan penduduk lokal. Alhasil, Belanda membuang Syekh Yusuf lebih jauh, kali ini ke Afrika Selatan.
Ia tiba di Afrika Selatan pada tahun 1693. Sebagaimana yang telah ia lakukan di Banten dan Srilanka, di titik paling selatan Benua Afrika ini pun ia tetap berdakwah. Dibantu oleh para muridnya, ia bahkan berhasil merintis sebuah komunitas Muslim yang dikenal sebagai Cape Malays, atau orang Melayu Cape [Town]. Sepeninggal Syekh Yusuf pada tahun 1699, murid-muridnya melanjutkan dakwah sang guru. Kini, ada sekitar 1,5 % dari 57 juta penduduk Afrika Selatan yang menganut Islam, menjadikan Muslim sebagai salah satu minoritas terbesar di kawasan Afrika bagian selatan.
Botswana, negara yang tepat berada di tengah Afrika bagian selatan, adalah rumah kecil lain bagi minoritas Muslim di kawasan ini. Dari sekitar 2,2 juta penduduk Botswana, jumlah Muslim hanya sekitar 0,5 % saja. Bila di Afrika Selatan Islam dibawa oleh Muslim asal Indonesia, maka di Botswana para pedagang Muslim asal Indialah yang memperkenalkan agama Islam ke sana. Catatan paling awal menyebut mereka hadir di Botswana pada tahun 1882. Mereka membangun hunian yang kemudian menjadi perkampungan Muslim tertua di Bostwana. Perkampungan itu terletak di Ramotswa, sebuah desa di tenggara Botswana. Masjid pertama di Bostwana baru berdiri tahun 1967, atau setelah agama Islam hidup di Botswana selama hampir satu abad.
Di luar kedua negara di atas, Islam eksis pula di Swaziland, yang dikenal juga sebagai Eswatini. Negara kecil yang berada di sebelah timur Afrika Selatan ini berpenduduk mayoritas Kristen. Islam membentuk 2 persen populasinya dewasa ini. Di zaman kolonialisme dulu negeri ini berada di bawah penjajahan Inggris. Imigran Muslim paling awal yang datang ke sini juga berasal dari wilayah-wilayah jajahan Inggris lainnya, khususnya India dan Afrika Selatan. Belakangan, datang pula imigran dari negara Afrika lain yang berpenduduk Muslim, seperti Somalia dan Sudan. Penduduk lokal Eswatini juga ada yang menganut agama Islam. Pengakuan terhadap Islam di Eswatini akhirnya datang dengan ditetapkannya Islam sebagai salah satu agama resmi di negara ini pada tahun 1972.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2019