Peneguhan dan Pencerahan Beragama

Peneguhan dan Pencerahan Beragama

Oleh Prof DR KH Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid di era modern abad ke-21 sungguh memiliki tangangan berat selain untuk menghadirkan dakwah yang mencerahkan dan pusat-pusat keunggulan sebagai persambungan dari gerakannya yang telah berlangsung 107 tahun, pada saat ini dihadapkan pada dinamika kehidupan modern yang memerlukan agenda-agenda tajdid yang penting dan strategis.

Dalam masyarakat modern yang sekuler sekalipun agama tetap relevan dan penting dalam kehidupan umat manusia, meskipun ekspresi dan aktualisasinya tidak bersifat langsung dan dalam kehidupan bernegara terjadi pemisahan antara domain publik dan agama. Agenda utamanya bagaimana agama di tangan masing-masing umat beragama benar-benar berfungsi sebagai pencerah kehidupan yang membawa pada keutamaan spiritual, moral, dan tindakan yang serba mulia sehingga menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia mutakhir kecenderungan positif dari keberagamaan ialah semarak untuk menjalankan agama secara ritual semakin tinggi. Di kalangan umat Islam ditandai dengan meningkatnya jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahun, bahkan harus menunggu berpuluh tahun untuk haji. Demikian pula kegiatan pengajian-pengajian dan majelis-majelis taklim, majelis dzikir, gerakan shalat berjamaah, dan berbagai ritual dan simbolik yang menunjukkan identitas keagamaan. Hal serupa terjadi di agama-agama lain.

Karenanya  Muhammadiyah khususnya melalui Majelis Tarjih penting menghadirkan “Risalah Dakwah dan Tajdid” yang memberi pedoman atau panduan hidup “Beragama di era Modern” yang membawa misi tengahan, damai, mencerdaskan, dan memajukan sebagaimana Risalah Pencerahan hasil Tanwir Bsngkulu dalam tema “Beragama yang Mencerahkan”.  Jangan sampai semarak beragama dan penguatan identitas keagamaan yang tinggi menjurus ke ekstrimitas dalam beragama yang ekslusif, verbalistik, dan menimbulkan kecenderungan “ta’arudh” atau “virus bermusuhan” terhadap pihak lain yang berbeda paham dan praktik keagamaan.

Beragama yang Substantif

Dakwah dan tajdid di era medisa sosial dan revolusi 4.0. Perkembangan media sosial benar-benar menjadi kenyataan dunia baru bagi masyarakat Indonesia. Warga bangsa bukan hanya lekat dengan dunia media sosial (medsos) antara lain mlalui gaya hidup gemar berinteraksi melalui twitter, feacebook, whatschapp, dan lainnya. Mereka bahkan tergantung pada media digital tersebut, seolah tampak keranjingan, sehingga tiada detik tanpa bermedsos. Bermedsos cenderung bebas, liar, dan apa saja boleh sehingga menjadi sekuler dan liberal.

Dalam keputusan Muktamar Makassar 2015 tentang “Isu-isu Strategis tentang Keumatan” disebutkan,  pentingnya mengembangkan “Substansialisasi Agama”. Pertimbangannya, bahwa Perkembangan teknologi telekomunikasi dan transportasi menciptakan perubahan besar terhadap tradisi, gaya hidup, dan pola keberagamaan dalam masyarakat. Di antara dampaknya adalah mudahnya pengaruh dari tempat lain, baik positif maupun negatif, masuk ke negeri ini hingga ke berbagai daerah terpencil. Tradisi baca, orientasi seksual, model berpakaian, pola komunikasi antara manusia, hubungan kekeluargaan (kawin-cerai), hedonism, serta interaksi lawan jenis dan tua-muda adalah beberapa contoh dari perubahan sikap yang kadang dipengaruhi oleh arus globalisasi. Keberagamaan pada sebagian kalangan cenderung menjadi bagian lifestyle dan performance daripada kesadaran spiritual.”.

Disebutkan, bahwa Muhammadiyah memandang Islam sebagai jalan hidup (way of life) dan filosofi hidup, bukan sekadar gaya hidup. Esensi dari Islam lebih penting daripada performative-nya. Esensi dari agama yang substantif antara lain terwujud dalam kesalihan diri dan kesalihan sosial, melakukan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, pemberantasan korupsi, hidup bersahabat dengan umat lain, dan sikap saling tolong-menolong. Karena itu, Muhammadiyah menganjurkan kepada warganya untuk menekankan pentingnya esesnsi dan substansi Islam, bukan pada unsur lifestyle dan performative.

Kini, ketika masyarakat menjadi sekuler, liberal, hedonis, dan oportunis sesungguhnya nilai-nilai agama harus hadir atau dihadirkan sebagai kanopi suci dalam melakukan spiritualisasi yang mencerdaskan dan mencerahkan. Bukan sekadar agama serba ritual, simbolis, dan menjadi identitas formal belaka. Agama harus menjadi petunjuk, pembimbing, dan fondasi nilai yang membawa kebahagiaan hidup umat manusia di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi dalam rengkuhan ridla Ilahi.

Demikian halnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi niscaya menjadi kekuatan strategis bagi kemajuan peradaban bangsa, bukan menjadikan manusia sebagai “budak” dan “robot” sebagaimana pandangan Alvin Toffler tentang “the modular man” dan Robert Marcuse mengenai sosok “one-dimentional man”. Jika bangsa Indonesia ingin menjadi unggul dan menguasai dunia moderen, maka niscaya harus berilmu dan menguasai teknologi. Semua negara maju menguasai iptek dengan dominan, sehingga menjadi adidaya. Era digital dengan dunia medsos justru produk dari penguasaan iptek yang canggih. Orang-orang terkaya dunia saat ini ialah raja-raja industri teknologi. Karenanya dunia medsos dan era digital harus dijadikan sarana membangun peradaban maju yang tetap berpijak pada martabat manusia sebagai “khalifat fil-ardl”.

Muhammadiyah antara lain melalui Tarjih penting menghadirkan pedoman keagamaan atau keislaman untuk “hidup beradab di era medsos dan era 4.0.”. Diperlukan menyusun “Fiikih Bermedsos” dalam satu rangkaian dengan “Fikih Informasi” dengan menampilkan “Etika Publik” atau  “Etika Relasi Sosial Baru” berbasis “Etika Al-Hujarat”. Agenda ini disertai gerakan “Dakwah Komunitas” atau “GJDJ Baru” sebagaimana hasil Muktamar Makassar tahun 2015.

Wasathiyah Berkemajuan

Penguatan tajdid internal Muhammadiyah. Dunia modern saat ini baik di tingkat global maupun nasional dan lokal antara lain memiliki kecenderungan “mengeras” (radikal, ekstrem) sebagai respons atau terkait dengan situasi kehidupan yang sarat antagonistik dalam berbagai aspek kehidupan. Francis Fukuyama dalam karya terbarunya “Identitiy” (2019), secara sepesifik menyoroti fenomena menguatnya identitas kelompok, dengan menyatakan bahwa “identitas merupakan isu yang mendasari banyak fenomena politik saat ini, dari gerakan nasionalis populis baru hingga para pejuang Islam atau kaum “Islamis”  hingga kontroversi yang terjadi di kampus universitas. Kita tidak akan luput berpikir tentang politik dan diri kita sendiri dalam hal identitas.”.

Kecenderungan kaum “Islamis” dalam telaahan Fukuyama senada dengan kajian Olivier Roy yang dijumpai di negeri-negeri muslim yang menampilkan kelompok-kelompok Islam yang berkarakter “neo-konservatif” dengan orientasi yang keras, kaku,  dan formalis baik dalam sikap keagamaan maupun berpolitik. Di Indonesia kecenderungan beragama dan berpolitik yang “mengeras” itu mulai mengemuka di ruang publik, lebih-lebih memperoleh ruang bebas melalui media sosial.

Muhammadiyah menyadari kecenderungan tersebut sebagaimana tertuang dalam hasil Muktamar Makassar 2015. Antara lain tentang pentingnya “Keberagamaan Yang Moderat” karena ditemukan fakta, bahwa Perkembangan mutakhir menunjukkan gejala meningkatnya perilaku keberagamaan yang ekstrim antara lain kecenderungan mengkafirkan pihak lain (takfiri). Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal. Kecenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.”.

Dinyatakan, bahwa “Mencermati potensi destruktif yang ditimbulkan oleh kelompok takfiri, Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interkasi sosial yang santun.  Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah, rahmat, dan khazanah intelektual yang dapat memperkaya pemikiran dan memperluas wawasan yang  mendorong kemajuan. Persatuan bukanlah kesatuan dan penyeragaman tetapi sinergi, saling menghormati dan bekerjasama dengan ikatan iman, semangat ukhuwah, tasamuh, dan fastabiqu al-khairat. Dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan yang terbuka, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap beragama yang tengahan (wasithiyah, moderat),  saling mendukung dan memperkuat, serta tidak saling memperlemah dan meniadakan kelompok lain yang berbeda.”.

Karenanya diperlukan pandangan keislaman yang moderat atau “Islam Wasathiyah” yang mengajarkan beragama yang tengahan dan damai, sekaligus berkemajuan. Umat Islam Indonesia dan dunia tidak cukup hanya berkarakter moderat, tetapi juga harus maju (berkemajuan), yakni unggul dalam segala bidang kehidupan, sehingga kehadirannya sebagai pembawa misi rahmat bagi semesta alam benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata di muka bumi ini. Di sinilah relevansi pandangan “Islam wasathiyah-berkemajuan” sejalan spirit Al-Quran Surat Al-Baqarah 143 untuk dihadirkan sebagai gerakan Islam transformatif yang menghadirkan peran Islam alterrnatif dalam memasuki dunia modern abad ke-21!

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2019

Exit mobile version