Batik dalam Lintasan Sejarah Awal Muhammadiyah

Batik dalam Lintasan Sejarah Awal Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Dewasa ini, sudah lazim melihat warga Muhammadiyah mengenakan batik di dalam berbagai kegiatan formal. Dari anggota biasa Muhammadiyah hingga pucuk pimpinan organisasi ini berbatik ria di acara seperti rapat, pengajian, hingga muktamar. Motif batik yang dipakai beraneka ragam, dengan warna yang variatif. Tiap lembaga di dalam Muhammadiyah juga punya batik khasnya sendiri. Siswa-siswa sekolah Muhammadiyah dengan mudah bisa diidentifikasi di tengah publik lewat batik bertuliskan nama sekolahnya itu.

Kini, orang dari berbagai daerah bisa dengan mudah mendapatkan batik Muhammadiyah via situs belanja daring. Dus, pada masa sekarang keseharian warga Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari kain tradisional yang pada tahun 2009 yang lalu diakui oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi itu.

Usia dari relasi Muhammadiyah dan batik itu sebenarnya sudah mencapai satu abad. Sejarah dan perkembangan Muhammadiyah, khususnya di fase-fase awalnya, lekat dengan keberadaan batik, baik sebagai bahan pakaian, sebagai komoditas perdagangan, bahkan sebagai pilar yang menopang perkembangan Muhammadiyah. Usaha untuk melacak hubungan antara Muhammadiyah dan batik bahkan bisa dimulai dari sang pendiri Muhammadiyah sendiri, K.H. Ahmad Dahlan.

Lahir di Yogyakarta pada 1868, Kyai Dahlan, selain merupakan seorang pendakwah, juga berprofesi sebagai pedagang batik. Ini terutama dilakukannya di waktu luangnya saat ia menjadi khatib di Masjid Kasultanan Yogyakarta. Ia mendapatkan batik dari lingkungan sekitarnya di Kauman, baik dari saudara maupun dari orang-orang di sekitar rumahnya. Perkembangan Muhammadiyah ke berbagai daerah di tahun-tahun awalnya ditopang oleh jaringan para pedagang batiknya Kyai Dahlan di berbagai kota di Jawa.

Muhammadiyah, dengan demikian, pada mulanya merupakan organisasi para saudagar, khususnya batik. Ini tampak dari kawasan perdagangan dan sentra batik yang menjadi tonggak penopang awal Muhammadiyah, seperti Kauman, Laweyan dan Pekalongan.

Sejarawan Perancis terkemuka, Denys Lombard, dalam buku klasiknya tentang sejarah Jawa, Nusa Jawa: Jaringan Asia, menyebut bahwa di awal dekade kedua abad ke-20, ada dua organisasi penting yang berdiri di Jawa, yang kemudian memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan masyarakat di pulau itu. Dan, keduanya memiliki kaitan dengan batik. Para pedagang batik di Surakarta, termasuk Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam pada 1911 karena mereka, tulis Lombard, ‘mengkhawatirkan persaingan Cina’, sementara organisasi Muhammadiyah, lanjut Lombard, ‘didirikan pada tahun 1912 oleh seorang kiai dari Kauman Yogyakarta, Ki Ahmad Dahlan, yang juga ada hubungan dengan lingkungan batik’.

Bila menilik sejarah Muhammadiyah, orang sering menyebut bahwa Muhammadiyah lahir di Yogyakarta dan besar di Minangkabau. Ini terutama sekali merujuk pada peran penting para ulama Minangkabau dalam membawa dan mengembangkan Muhammadiyah dari tanah Jawa ke Ranah Minang.

Catatan sejarah menunjukkan bagaimana tokoh agama terkemuka di sana, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), mendirikan cabang Muhammadiyah di Maninjau setelah ia pada tahun 1925 berkunjung ke Jawa, di mana ia melihat kemajuan besar yang telah dibuat Muhammadiyah di bidang pendidikan dan keagamaan. Muhammadiyah pun dengan cepat tumbuh subur di wilayah yang berjarak lebih dari 1.000 km dari tempat kelahirannya sendiri. Di tengah sejarah perkembangan Muhammadiyah di antara Jawa dan Minangkabau ini, ada elemen batik pula yang terlibat.

Haji Rasul Foto Dok Ilustrasi

Haji Rasul berangkat ke Jawa pada bulan Maret dan April 1925. Tujuan awalnya ialah untuk menengok putra-putrinya, Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Fatimah, yang tinggal di Pekalongan. Putrinya, Fatimah, bersuamikan A.R. Sutan Mansur, yang kala itu merupakan tokoh terkemuka Muhammadiyah di kota batik itu. Dan, sama seperti Kyai Dahlan, Sutan Mansur juga berprofesi sebagai saudagar batik.

Sejarawan Jeffrey Hadler dalam bukunya, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism, menyebut bahwa Sutan Mansur ‘was a succesful batik trader—a business (in Pekalongan and Surakarta, especially) favored by Minangkabau out-migrants’ (merupakan seorang pedagang yang sukses di bidang batik—suatu bisnis yang [khususnya di Pekalongan dan Surakarta] disukai oleh para perantau Minang). Jadi, jauh sebelum orang Minang dikenal sebagai perantau yang piawai di bidang kuliner, mereka adalah para pedagang yang banyak bergerak di bidang jual-beli batik.

Hamka, dalam bukunya yang mengisahkan kehidupan ayahnya, Ayahku, menulis bahwa Sutan Mansur sudah giat memajukan Muhammadiyah di Pekalongan sejak tahun 1923. Sebagai perantau Minangkabau di Pekalongan, salah satu target dakwah Sutan Mansur adalah orang-orang Minangkabau yang ada di kota itu. Dan, banyak dari para perantau yang belajar agama pada Sutan Mansur di Pekalongan ini adalah para saudagar batik asal Minangkabau.

Tidak semua pedagang batik memiliki pengetahuan agama yang kuat. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang diinisiasi Muhammadiyah dan kemudian dibawa Sutan Mansur ke Pekalongan meninggalkan kesan yang dalam bagi banyak pedagang batik asal Minangkabau ini. ‘Saudagar-saudagar batik’, tulis Hamka, ‘yang selama ini memandang ringan saja urusan agama, sekarang telah taat mengerjakannya’.

Akan tetapi, relasi antara Muhammadiyah dan batik tidak hanya dalam bentuk eksistensi saudagar batik yang memajukan persyarikatan Muhammadiyah saja. Batik juga menjadi salah satu kultur fesyen dan gaya hidup yang dipromosikan oleh warga Muhammadiyah. Popularitas batik di kalangan Muhammadiyah bisa dilacak pada sejarah promosi batik di era 1920an. Dan, untuk itu, apresiasi patut diberikan pada media resmi persyarikatan Muhammadiyah, Soeara Moehammadijah, yang kala itu sudah menjangkau berbagai kota di Jawa.

Sebagai saluran komunikasi pokok organisasi, Soeara Moehammadijah memiliki fungsi utama sebagai media penyampai keputusan dan arahan dari Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta. Tapi, di majalah ini juga tersedia ruang dari mana warga Muhammadiyah belajar tentang seperti apa standar berpakaian yang diharapkan di tengah kegiatan kemuhammadiyahan. Ini khususnya tampak di kolom iklan, yang pada dekade 1920an memberi banyak kesempatan pada pedagang batik untuk beriklan. Ekspos terhadap batik ini tidak hanya bermanfaat untuk memberi tahu pembaca majalah ini untuk tahu di mana mereka bisa membeli batik model terbaru, tetapi juga menjadi ruang di mana suatu gaya berpakaian diperkenalkan.

Dari dokumentasi Soeara Moehammadijah lawas yang sejauh ini masih bisa diamati, dapat diketahui bahwa sudah ada iklan batik di majalah ini sejak tahun 1921. Sejumlah pedagang batik asal Yogyakarta mengiklankan batiknya di sana. Ini memperlihatkan bahwa para saudagar itu percaya pada kekuatan Soeara Moehammadijah sebagai media promosi yang efektif bagi produk mereka. Salah satu pedagang yang paling mula-mula memasang advertensi di majalah ini ialah H. Abdul Aziz N.W., yang menyebut dirinya sebagai ‘Batikhandel’ alias pemilik toko batik asal Yogyakarta. Dalam sebuah edisi Soeara Moehammadijah di tahun 1921, Abdul Aziz mengiklankan tokonya yang menjual ketu udeng (bendo atau destar) model Bandung yang ‘batiknja Liris model Djocja’. Harganya? F. 3,50 sudah termasuk ongkos kirim.

Sementara semua artikel Soeara Moehammadijah pada edisi itu menggunakan bahasa Jawa, hanya iklan Abdul Aziz ini yang memakai bahasa Melayu. Artinya, ketu udeng ini dipromosikan sebagai penutup kepala tradisional yang tak hanya cocok dipakai oleh masyarakat Sunda atau Jawa, melainkan juga oleh orang dari suku bangsa lainnya di Hindia Belanda.

Dalam edisi lain di tahun yang sama, Abdul Aziz kembali mengiklankan batiknya di Soeara Moehammadijah. Tampak bahwa para anggota dan simpatisan Muhammadiyah merupakan calon konsumen potensial yang disasar Abdul Aziz. Sementara di advertensi sebelumnya barang pokok yang dijualnya adalah ketu udeng, kali ini ia fokus pada berbagai macam kain batik di tokonya. Abdul Aziz dengan percaya diri mengiklankan batik dagangannya:

Selamanja ada sedia Batik Djokja jang TOELEN dan jang soeda kesohor di HINDIA WOELANDA, terlebih madjoe di Oost Java (Djawa Wetan) sebab; Modelnja amat netjes, sedang babarannja tida akan membikin ketjiwa bagai lengganan! Dan sedia djoega Kain batik aloes-aloes boewat dipakai sendiri; Kain pandjang, Iket kepala, saroeng, (sawitan) Dari harga kami tanggoeng pantes! Tjobalah pesan! Djangan loepa! Menoenggoe pesenan dengan hormat!

Selain toko batiknya Abdul Aziz, ada toko batik lain yang lebih lengkap yang beriklan di Soeara Moehammadijah. Pemiliknya bernama Zaini, dengan toko yang juga berada di Yogyakarta, tepatnya di kawasan Notoprajan. Sementara toko batik Abdul Aziz fokus pada model dari batik, maka toko Zaini menawarkan batik sebagai gaya hidup bagi kalangan yang berkelas dan memiliki selera tinggi. Sebagaimana bisa dibaca di iklannya di Soeara Moehammadijah tahun 1921, yang dijualnya adalah ‘batik aloesan model keraton, jang terpakai oeleh bangsa perjaji-perjaji’.

Ada berbagai jenis kain ‘bangsa priyayi’ yang dijual toko ini, seperti kain sawitan dan kain panjang dengan batik kotak retnowati, batik kotak markati, batik gulang sari, dan batik pucang-rinenggo. Harganya tergolong mahal, minimal f. 6,75. Tapi, bagi Zaini, harga ini sesuai dengan kualitas batik itu dan juga karena ‘ini batik soeda tersohor di Koeliling kota Djocja, karena babarannja ada sangat bagoes’.

Tampaknya, para saudagar batik di Yogyakarta di era itu percaya bahwa warga Muhammadiyah adalah calon pelanggan kain batik yang penting. Mungkin ini ada kaitannya dengan fakta bahwa warga Muhammadiyah tergolong sebagai suatu kelompok sosial di dalam masyarakat Hindia Belanda yang amat sering mengadakan kegiatan publik, terutama rapat dalam berbagai skala, mulai dari vergadering kecil hingga kongres yang bersifat nasional.

Aktivitas ini membutuhkan pesertanya untuk berpakaian rapi (netjes atau necis), menutup aurat, bernuansa ketimuran, memiliki nilai filosofis, sekaligus juga artisik. Warga Muhammadiyah memang sudah mengadopsi beberapa elemen pakaian Eropa, dengan yang paling mencolok adalah penggunaan jas atau beskap (dari bahasa Belanda, beschaafd, yang artinya beradab). Tapi, pakaian yang sepenuhnya ala Belanda tidak memenuhi berbagai syarat yang dikemukakan di atas. Di kain batiklah warga Muhammadiyah mendapatkan karakter-karakter itu.

Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2020

Exit mobile version