Avicenna Prize: Upaya Melestarikan Gagasan Bioetik Ibnu Sina
Oleh: Azhar Razyid
Nama Ibnu Sina, atau dalam ejaan Baratnya, Avicenna, sudah tidak asing lagi bagi kaum Muslim, khususnya mereka yang berminat pada sejarah Islam abad pertengahan. Lahir di Bukhara (dulu Iran, kini Uzbekistan), tahun 980 M, ia dikenal sebagai salah satu dokter serta filsuf terbesar di zamannya. Karyanya yang paling terkenal adalah sebuah kitab kedokteran yang berjudul Al-Qānūn fī al-ṭibb (The Canon of Medicine).
Warisan Ibnu Sina membentang dari buku medis yang ia tulis hingga namanya yang diabadikan menjadi nama rumah sakit. Di Indonesia sendiri, rumah sakit yang memakai nama Ibnu Sina telah berdiri di berbagai tempat, mulai dari Padang, Pekanbaru, Gresik, hingga Makassar. Kehadiran rumah sakit ini memberi gambaran tentang jauh dan luasnya pengaruh Ibnu Sina, melintasi batas geografis di mana ia lahir dan berkarier, berabad-abad setelah ia meninggal.
Nama Ibnu Sina tak hanya harum di tempat yang kental nuansa Islamnya seperti Indonesia. Dunia internasional pun juga mengapresiasi kiprah Ibnu Sina. Salah satunya adalah lembaga United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lembaga yang berdiri sejak tahun 1945 mempunyai sebuah penghargaan internasional bergengsi yang mengacu pada nama Ibnu Sina: Avicenna Prize.
Penghargaan ini telah diberikan sejak tahun 2003. Inisiatif datang dari pemerintah Iran. Dewan Eksekutif UNESCO lalu memutuskan bahwa penghargaan ini akan diberikan per dua tahun, tapi belakangan diganti menjadi per enam tahun. Nama lengkap penghargaan ini adalah “UNESCO Avicenna Prize for Ethics in Science”. Direktur Jenderal UNESCO akan memutuskan nama yang terpilih. Sebelumnya, ia diberi masukan oleh para juri yang menilik nama-nama kandidat dan kontribusi keilmuan mereka. Jurinya sendiri terdiri atas tiga orang anggota yang independen.
Apa tujuan UNESCO memberikan sebuah penghargaan yang memakai nama seorang dokter Muslim yang telah wafat hampir satu milenium yang lalu? UNESCO menggarisbawahi bahwa tujuan mereka ialah “untuk memberikan penghargaan pada aktivitas yang dilakukan individu atau kelompok di bidang etika ilmu pengetahuan”.
UNESCO menggarisbawahi bahwa Ibnu Sina tidak hanya patut dihargai karena kontribusi keilmuannya, tapi juga pada gagasan dan praktik hidupnya terkait moralitas dan etika dalam bidang medis. Ibnu Sina termasuk golongan dokter pertama yang mendobrak gagasan lama tentang siapa saja yang pantas menerima pelayanan kesehatan. Di masa sebelumnya, khususnya di zaman Yunani klasik, gagasan yang berlaku adalah bahwa hanya orang kaya dan kalangan bangsawan yang bisa mendapat akses medis. Kala itu, melakukan riset medis biayanya sangat mahal, dan praktik yang umum adalah pembiayaan riset medis ini dibiayai oleh raja atau bangsawan yang kaya. Tak heran bila perkembangan ilmu kedokteran sangat tergantung pada patron ini, dan patron ini pula yang kemudian mendapat manfaat dari teknik penyembuhan terbaru.
Tapi Ibnu Sina menolak gagasan ini, dan mempromosikan bahwa ilmu kedokteran harus bisa diaplikasikan juga bagi kalangan miskin. Bagi UNESCO, implikasi dari gagasan Ibnu Sina ini sangat besar. Kini, penelitian ilmu kedokteran tidak hanya bisa dilakukan oleh negara kaya, tapi juga oleh negara-negara miskin. Tak hanya itu, Ibnu Sina telah membuka pintu yang membuat masyarakat dari kalangan biasa bisa memberoleh akses kesehatan yang baik. Dengan kata lain, kini tidak harus terlahir sebagai bangsawan untuk bisa hidup sehat.
Satu hal lain dari Ibnu Sina yang menurut UNESCO sangat penting bagi lahirnya prinsip bioetik adalah perjalanan hidup Ibnu Sina sendiri sebagai seorang dokter yang mandiri. Sebagaimana disinggung di atas, di zaman itu adalah praktik umum bagi bangsawan untuk mensponsori dokter. Tapi tidak demikian dengan Ibnu Sina. Ia tidak punya sponsor semacam itu. Ia mendanai sendiri penelitiannya dan penulisan bukunya. Situasi inilah yang mempelopori lahirnya peneliti yang di masa sekarang dikenal sebagai peneliti independen, yang hasil penelitiannya bisa bermanfaat jauh lebih luas daripada penelitian yang disponsori tokoh atau lembaga tertentu.
Mengingat peran Ibnu Sina tersebut, siapa yang pantas menerima Avicenna Prize ini? UNESCO memasang kualifikasi tinggi bagi calon penerima penghargaan ini: “kandidat harus memiliki kontribusi berupa riset yang berkualitas tinggi di bidang etika ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Penghargaan perdana Avicenna Prize diberikan pada tahun 2003. Pemenangnya adalah Profesor Margaret Somerville. Ia merupakan direktur Centre of Medicine, Ethics and Law, di Universitas McGill di Montreal, Kanada. Penghargaan diberikan di kantor pusat UNESCO di Paris. Ia dipilih karena dianggap telah berkontribusi pada bidang etika kedokteran, khususnya dalam pengembangan bioetika.
Bioetika sendiri mengacu pada bagaimana etika dan moral diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas medis. Pada hakikatnya, medis tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menyembuhkan penyakit, tapi juga berkaitan dengan bagaimana berinteraksi dengan manusia-manusia yang terlibat di dalam proses penyembuhan penyakit, termasuk pasien dan mereka yang ambil bagian dalam penelitian medis.
Somerville menulis berbagai karya yang mengulas soal panduan moral dalam bidang kedokteran, termasuk soal bunuh diri pasien yang dibantu oleh dokternya. UNESCO menilai bahwa studi Somerville merupakan kelanjutan dari gagasan soal bioetika yang telah dipelopori oleh Avicenna, seorang dokter yang juga seorang humanis.
Setelah Somerville, penerima Avicenna Prize berikutnya (2005) ialah Profesor Abdallah S. Daar yang bekerja di Universitas Toronto dan Profesor Renzong Qiu (2009), seorang guru besar di Peking Union Medical College.
Yang terbaru (2015), penghargaan Avicenna Prize dianugerahkan pada Profesor Zabta Khan Shinwari dari Pakistan. Shinwari merupakan sekretaris jenderal di Akademi Ilmu Pengetahuan Pakistan serta Kepala Departemen Bioteknologi di Universitas Quaid-i-Azam, Islamabad. Juri Avicenna Prize menilai bahwa gagasan yang dipromosikan Shinwari sangat penting bagi dunia kedokteran. Shinwari terutama sekali menekankan bahwa riset tidak hanya harus berkembang tapi juga harus memiliki tanggung jawab etik. Ia juga mewanti-wanti agar bioteknologi jangan sampai disalahgunakan.
Di samping itu, dalam riset-riset medisnya, Shinwari kerap bekerja sama dengan warga lokal. Tujuannya, kesehatan warga bisa diperbaiki sementara di sisi lain warga lokal ini didorong untuk memanfaatkan sekaligus menjaga sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Pada akhirnya, masyarakat menjadi lebih sehat dan sejahtera sementara biodiversitas di lingkungan mereka tetap lestari.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2019