Fondasi Islam dalam Mencerdaskan Kehidupan

Fondasi Islam dalam Mencerdaskan Kehidupan

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Milad ke-107 tahun ini Muhammadiyah mengangkat tema “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Dengan tema tersebut Muhammadiyah meneguhkan komitmen untuk terus berusaha memberikan kontribusi terbaik bagi kemajuan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta antara lain melalui gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari misi dakwah dan tajdid dalam gerakannya.

Makna “mencerdaskan”  ialah “menjadikan cerdas dan mengusahakan supaya sempurna akal budi manusia dalam kehidupannya”. Objek yang dicerdaskan bukan hanya manusianya, tetapi keseluruhan hidupnya yang menyangkut pencerdasan akal budi dan perilaku manusia, sistem, dan lingkungan umat atau bangsa yang luas cakupannya dalam perikehidupan sepanjang zaman.

Perspektif Islam

Secara teologis usaha mencerdaskan kehidupan melekat dengan misi kerisalahan Islam. Misi “mencerdaskan” dimula dari risalah “Iqra” sebagai Wahyu pertama Islam yang dibawa Nabi Muhammad dari Gua Hira. Risalah Iqra sungguh revolusioner dan transformasional ketika bangsa Arab kala itu berada dalam sistem dan budaya Jahiliyah. Iqra yang diajarkan Allah bersifat “profetik” yakni “Iqra bismi rabbikal ladzi khalaq” (Bacalah atasnama Tuhan yang telah menciptakan); “Khalaqal insana min ‘alaq” (Yang menciptakan manusia dari segumpal darah); “Iqra wa Rabbukal akram” (Bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia); “Khalaqal insana maa lam ya’lam”, (Yang mengajarkan manusia dari apa-apa yang tidak mereka ketahui” (QS Iqra: 1-5).

Dengan tradisi iqra setiap muslim tidak hanya diajarkan untuk membaca ayat-ayat Quran tetapi juga ayat-ayat kauniyah atau ayat-ayat semesta. Iqra menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra” dalam literasi Arab seperti tafakur, tadabbur, tanadhar, tadzakur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, keilmuan, dan pembacaan sejarah  secara menyeluruh. Dalam perspektif Manhaj Tarjih iqra memiliki makna pada pemahaman keislaman dan semesta kehidupan secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi.

Risalah “mencerdaskan kehidupan” dalam Islam juga melekat dengan misi  “Menyempurnakan akhlaq manusia” untuk mencerahkan akal-budi manusia. Hadis Nabi “Innama bu’istsu li-utammima makarima al-akhlaq” (bahwa sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia) merupakan pesan kerisalahan yang mendalam dan mendasar akan pentingnya membangun akal-budi manusia dalam wujud budi pekerti, karakter, mental, etika, dan pola perilaku manusia dalam keadaban sebagai insan paripurna atau insan kamil. Manusia diciptakan sebagai “fi ahsan at-taqwim”, sebaik-baik ciptaan, yang berbeda dengan makhluk lainnya, apalagi sangat berbeda dan tidak dapat dibandingkan dengan “robot” atau benda ciptaan manusia sehebat apapun kemampuannya sebagaimana kini manusia modern tengah gandrung dengan teknologi “artificial intelegence” atau  “Kecerdasan buatan”.

Dengan risalah Iqra dan membangun akhlak mulia yang mencerahkan akal-budi manusia, Nabi berhasil membebaskan bangsa Arab yang Jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban cerah dan mencerahkan dalam puncak risalah  “al-Madinah al-Munawwarah”.  Dari rahim peradaban Madinah itu kemudian Islam berkembang menjadi agama yang membuana dan menciptakan kejayaan peradaban semesta selama berabad-abad di pentas sejarah dunia.

Perspektif Muhammadiyah

Dalam sejarah kelahiran Muhammadiyah tradisi Iqra dan membangun akal-budi yang berkaitan dengan usaha mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa diajarkan sejak awal oleh Kyai Dahlan. Kyai mengajak  agar orang Islam menggunakan  kecerdasan “akal yang suci-murni” dan “berpikiran maju”. Lawan maju dan cerdas ialah “bodoh” dan “jumud”.  Dalam Pidato Sidang Tahunan 1921 yang berjudul “Tali Pengikat Hidup”,  Kyai Dahlan menyampaikan pandangan, kenapa orang mengabaikan dan menolak kebenaran, hal itu karena lima sebab yaitu: (1) Bodoh, ini yang banyak sekali, (2) Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran, (3) Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya, (4) Khawatir tercerai  dengan sanak-saudara dan teman-temannya, dan (5) Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya, dan seagainya.

Dalam pelajaran keempat dari Tujuh Falsafah Kyai Dahlan sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Pendiri Muhammadiyah itu menyatakan, “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya,  untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”.  Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.

Gerak pendidikan Muhammadiyah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selain pada aspek kesehatan dan lainnya, tersebar di seluruh tanah air hingga ke pelosok-pelosok terjauh, terdepan, dan tertinggal dari wilayah  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua usaha Muhamamdiyah tersebut dilakukan dikandasi spirit amal shaleh tanpa pamrih dalam etos “sedikit bicara banyak bekerja” serta “berilmu amaliah dan bermal ilmiah”.

Dalam narasi filosofi pendidikan Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah bekerja untuk: (1) Mendidik manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berfikir cerdas, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, dan kompetetif; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial, teknologi, informasi, dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, daya-cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni-budaya; dan (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

Muhammadiyah meyakini bahwa Indonesia dapat mencapai tujuan untuk menjadi negara dan bangsa yang berkemajuan di tengah dinamika global sarat tantangan sekaligus dapat menyelesaikan masalah-masalah besar dirinya manakala elite dan warganya cerdas akal budi, pikiran, dan tindakannya. Kebijakan-kebijakan negara pun baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta institusi kenegaraan lainnya jika dibangun di atas prinsip-prinsip pemikiran yang cerdas serta tidak terjebak pada kebodohan. Dimensi kecerdasan bangsa tentu harus bersifat utuh sebagaimana filosofi yang diletakkan para pendiri Indonesia tentang “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan kecerdasan unstrumental yang hanya mengandalkan kemampuan kognisi dan skill teknik atau teknologis belaka, tetapi menyangkut kecerdasan akal budi dalam khazanah karakter akhlak mulia dan life-skill yang utuh.

Pada posisi dan peran kebangsaan inilah Muhammadiyah terus berkomitmen dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkiprah tak kenal lelah untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar  bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pendiri negeri serta memiliki fondasi pada nilai ajaran Islam berbasis Iqra dan pembentukan akal budi berakhlak mulia.

Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2019

Exit mobile version