YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Suara Aisyiyah merupakan wajah kemajuan perempuan Muslim pada masa itu, kira-kira begitu Muhammad Ichsan Budi membuka pemaparannya. Senin malam lalu (13/9) panitia Kongres Sejarawan Muhammadiyah kembali menyapa audiens dengan topik-topik sejarah yang segar setiap minggunya.
Edisi malam itu, Bedah Karya menyajikan topik sejarah media syiar Suara Aisyiyah (SA) sepanjang1930-1985 yang merupakan hasil penelitian tesis M. Ichsan di Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Bila dibaca dalam konteks waktunya, pendirian SA terjadi pada kurun temporal yang khas yaitu, pada awal abad ke-20. Di mana pergerakan untuk melakukan reformasi Islam dan kebangsaan tengah menggelora di Hindia Belanda, dan kondisi global secara umum.
Dalam konteks reformasi Islam, SA menjadi wujud aktivitas perempuan Muslim yang sudah berkembang daripada tradisi keperempuanan di masanya. Atau dalam istilah Susan Blackburn dari M. Ichsan, perjuangan nilai humanisme yang melampaui poin keperempuanan. Lalu dalam konteks pergerakan bangsa, SA merupakan bentuk perkembangan budaya literasi perempuan.
Keredaksian Suara Aisyiyah mengalami masa keemasan pertamanya ketika momen Kongres Perempuan Indonesia pada Desember 1928. Dukungan politis sesama perempuan setelah Kongres Perempuan inilah yang dimanfaatkan oleh SA untuk menggulirkan wacana-wacana kritis. Meskipun SA menjadi media resmi organisasi Aisyiyah, ia tidak kehilangan sikap independen mereka dalam bersuara.
Memasuki masa pascakemerdekaan Indonesia, SA juga turut masuk dalam pusaran keriuhan polarisasi politik. Dalam masa ini, M. Ichsan menyampaikan bahwa sikap SA akan lebih mengikuti arah dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Namun, keadaan menjadi berubah ketika rezim Orde Baru. Suara Aisyiyah berasa dalam posisi yang sulit dan mengalami kemunduran karena sikap kritis dibungkam oleh Suharto. Walaupun demikian, ketika muncul wacana kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana SA kembali menampakkan dirinya sebagai corong bersuara perempuan Muslim moderat.
Setelah pemaparan selesai, diskusi bergulir pada isu tentang poligami yang ditulis dalam Suara Aisyiyah. Menariknya, obrolan tentang ini diramaikan langsung oleh Bu Hajar selaku Pimpinan Redaksi SA, yang juga pernah meneliti tentang sikap politik Aisyiyah tahun 1950-an.
Dikatakannya, isu poligami ini ditanggapi secara proposional oleh Aisyiyah. Maksudnya, tanggapan tidak dilakuakn dengan memberi penghakiman, melainkan melalui penjelasan panjang nan logis. Meskipun memang, ada pernyataan tegas juga untuk lebih menganjurkan monogami dalam perkawinan.
Tidak hanya isu poligami, obrolan semakin seru saat Ibu Uswatun Hasanah bergabung dan berbagi cerita tentang kehidupan putri Aisyiyah pada masa pendudukan Jepang. Ketegangan menjadi makanan perempuan sehari-hari. Bahkan, untuk tetap memproduksi tulisan, Ibu Zubair sampai harus menyembunyikan kertas-kertasnya di dalam stagen.
Tidak terasa perjalanan diskusi Bedah Karya sudah hampir menghabiskan dua jam. Pada penutupnya, M. Ichsan menyampaikan harapannya agar lebih banyak lagi yang menulis sejarah tentang perempuan, khususnya pergerakan perempuan Muslim. Apalagi sebenarnya Aisyiyah dan Muhammadiyah sebenarnya memiliki “harta karun” besar yang bisa menjadi sumber penulisan sejarah, yakni Suara Aisyiyah (ykk).