JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Korban kasus kekerasan seksual masih banyak yang takut untuk bersuara di ruang publik. Kaprodi BKPI PPs IAIN Batusangkar, Wahidah Fitriani, mengaku dirinya kerap menjumpai banyak kasus kekerasan di sejumlah daerah terutama korban penyintas KDRT.
Di masa pandemi, angkat KDRT pun meningkat tajam. Wahidah menyatakan padahal pernikahan seharusnya menjadi jalan untuk menggapai surga Ilahi, bahkan bila perlu menjadikan pernikahan sebagai surga di dunia. Namun kenyataan berbanding terbalik dari realita, terutama selama masa pandemi.
“Kita masih menemukan masih banyak korban kekerasan yang tidak berani membuka suara. Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan masih dibayangi oleh cinderella syndrom, hidup enak, bahagia semua kebutuhan tercukupi, tapi kenyataannya ketika mereka menikah hal tersebut malah tidak seusai dengan harapan,” ujar Wahidah dalam diskusi serial keenam Gerakan Zakat Nasional bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang diselenggarakan PSIPP ITBAD Jakarta bersama LAZISMU, Jumat (24/9/2021).
Secara psikologis, Alumni Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang ini mengungkapkan para korban mendapatkan efek yang luas biasa terhadap mental psikisnya. Mereka mengalami peristiwa traumatis yang sangat dalam. Bahkan korban terkadang sampai tidak mengenali keluarganya.
Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI, Mardi Candra, juga membenarkan kasus perceraian akibat adanya KDRT jumlahnya sangat banyak. Ia sendiri mengakui telah menangani puluhan ribu kasus perceraian.
Mardi berharap zakat sebagai filantropi Islam memiliki potensi besar dalam membangkitkan kesejahteraan umat Islam, termasuk memberikan manfaaat bagi para korban kekerasan.
“Saya mengapresiasi terbitnya buku ini (Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak) yang bisa menjadi salah satu referensi bagi BAZNAS, lembaga filantropi, NGO dan umat Islam di berbagai dunia lainnya,” imbuh Mardi Candra.
Aktivis Perempuan Gema Perempuan, Aida Milasari, pun sepakat bahwa zakat dapat membantu meningkatkan kesejahteraan sesama manusia. Sebab, di dalam harta seseorang, terdapat hak-hak orang lain yang wajib dikeluarkan.
“Ini penting seperti shalat, kewajiban kepada Allah (hablum minallah). Sedangkan zakat yakni mengeluarkan harta yang kita punya, karena ada kewajiban kita kepada sesama manusia (hablum minannaas),” terang Aida.
Lebih jauh Aida mendorong lembaga zakat melakukan reinterpretasi atau menafsir ulang Surat At-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang delapan asnaf zakat, infaq dan shodaqah.
Bendahara PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Irma Novida, menguatkan kembali untuk menelaah ayat tentang golongan penerima zakat. Menurut Irma, para korban kekerasan secara tersurat masuk kategori empat golongan penerima zakat, yaitu fakir, miskin, riqab dan fii sabilillah.
Dikatakan Irma, para korban yang mengalami kekerasan berupa KDRT, seringkali diusir dari rumah sehingga kehilangan hak-haknya, termasuk akses finansial. Selain diusir, korban juga mendapat stigma buruk dari lingkungan sekitarnya.
“Dia (korban) selama hidupnya bergantung pada suami, ketika mengalami KDRT maka dia otomatis kehilangan segalanya. Maka dia masuk kelompok penerima zakat. Korban juga masuk dalam kategori fii sabilillah, sebab mereka adalah orang-orang yang menuntut hak atas keadilan, hak kebenaran dan hak pemulihan,” pungkas Irma. (Riz)