Ekspresi Syukur di Masyarakat

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah melangsungkan Podcast Dialog Dakwah Budaya dengan tema “Makna Syukuran di Masyarakat”. Podcast tersebut disiarkan langsung pada hari Senin (27/09/2021) dari Studio Tabligh Digital Gedung Pusdiklat Institut Tabligh Muhammadiyah. Pembicara yang dihadirkan pada podcast tersebut ialah Dr. Atik Triratnawati, M.A. selaku anggota Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah. Acara tersebut dipandu langsung oleh Nahar Miladi, S.E.

Syukuran merupakan kata yang lumrah dan kerap kali terdengar di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia. Ekspresi syukuran hampir selalu mewarnai tiap ada keberhasilan baru yang dicapai oleh seseorang, seolah tak lengkap saja jika keberhasilan dan pencapaian tak dibumbui dengan syukuran. Bersyukur sendiri merupakan kewajiban kita sebagai umat Islam, perintah untuk bersyukur atas nikmat yang kita terima disebutkan dalam beberapa ayat di Al-Quran.

Syukuran merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia untuk mengungkapkan rasa gembira, rasa syukur atas anugerah, pencapaian, dan cita-cita yang terkabul. “Sebetulnya ekspresi syukur itu dapat dilakukan dengan sederhana, artinya yang tidak berbiaya sampai yang berbiaya. Sebagai orang Islam kita kalau mendapat anugerah cukup dengan mengucapkan Alhamdulillah pun sudah cukup. Akan tetapi di masyarakat, ekspresi syukur jika hanya dilakukan oleh individu yang bersangkutan dianggap kurang sempurna. Jadi harus ada ekspresi yang dibagi dalam bentuk yang beragam, misalnya dalam bentuk makanan, pesta, selametan, kenduren, dll” tutur Atik.

“Pada dasarnya ekspresi syukur ini dialami oleh orang dalam semua kelas, dari wong cilik hingga bangsawan. Ekspresi-ekspresi yang dinampakkan pasti akan berbeda mengikuti kemampuan ekonomi, jabata, status sosial, dll. Sederhananya kalau seseorang mengalami kebahagiaan dan orang tersebut tidak melakukan syukuran maka orang tersebut akan merasa ada yang kurang, meninggalkan kebiasaan” tambah Atik.

Konteks mengadakan upacara bersyukur memang lebih banyak dilaksanakan oleh masyarakat agraris. Misalnya ketika panen dan berhasil maka bersyukur dan diikuti dengan upacara, tidak kena hama maka mengadakan syukuran. Sebab itulah di Indonesia yang merupakan negara agraris konsep syukuran ini begitu universal dan tidak hanya terjadi di masyarakat Jawa saja. Sebagai penghujung acara, Dr. Atik Triratnawati menyebutkan bahwa “Syukuran itu silakan diekspresikan menurut aturan agama, kalau kita ingin mengekspresikan syukuran melalui cara adat maka ekspresikan mengikuti kemapuan, bukan kemauan”. (syq)

Exit mobile version