Mohammad Natsir dan Ahlak Politik Islam

Membuhul Niat natsir

Mohammad Natsir Foto Dok Beitrage/SM

Mohammad Natsir dan Ahlak Politik Islam

Oleh Dr Masud HMN

Mengintegrasikan akhlak politik Islam sebagai fungsi kepribadian dalam realitas sangatlah tidak mudah dilaksanakan. Masalahnya akhlak politik itu adalah nilai. Sementara dengan realitas adalah masalah beragam suku, budaya dan tradisi.

Jadi Kepribadian merepsentasikan nilai, kejujuran, konsitensi, integitas, sementara realitas cermin dari keberagaman, budaya, suku dan agama. Kedua kata kunci itu yakni nilai dan reliatas haruslah dirajut menjadi kesatuan berkelindan satu sama lain.

Lantas di sinilah, tidak mudahnya melaksanakan ahklak politik Islam itu, bergelanggang mata orang banyak dan bersuluh matahari, dan kasak mata, akhlak politik seperti itu sekarang semakin jauh. Bahkan tidak dipedulikan lagi.

Dengan meminjam istilah lazim sekarang ini, yang dicari adalah bukan bagaimana menjaga integritas, melainkan bagaimana mengisi tas alias mencari uang. Integritas dikalahkan isi tas. Munculah Cash is king. Cash bermakna uang cash atau tunai, Uang adalah Raja.

Maka disinilah menariknya melihat peran partai Masyumi masa awal kemerdekaan. Masa itu ada figur Mohamad Natsir sebagai mewakili partai dalam pelaksanaan, menjadi cermin. Di satu pihak menjadi repsentasi Masyumi sebagai partai Islam harus mengedepankan nilai Islam, sementara dipihak lain berhadapan tokoh lain dalam Negara yang beragam suku budaya dan agama

Hal itu dapat dilihat dari delegasi yang dibentuk waktu menjelang penyerahan Belanda ke Republik Indonesia lewat perundingan Konferensi Meja Budar (KMB) 23 Agustus s/d 2 Nopember 1949 di Den Haag.

Natsir menjadi Menteri Penerangan yang harus menjelaskan kepada seluruh daerah tantang KMB dan keputusannya. Ia dipercaya oleh Hatta sebagai Ketua delegasi bersama Sultan Hamengkubuwono IX. Salah satu tugas yang amat krusial adalah penolakan Provisnsi Jawa Barat, salah satu bagian wilayah terbesar Indonesia menolak hasil KMB karena dipandang sebagai taktik Belanda untuk melumpuhkan Indonesia kembali dijajah.

Bukan hanya menolak KMB tapi penentangan lain, membentuk pemerintahan berdasar Islam. Pemerintahan yang dibentuk dengan nama Darul Islam pada akhir Agustus 1949 mengeliminir Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Dapat ditambahkan Jawa Barat menjadi tiga kelompok, yaitu yang pro kemerdekaan 17 Agustus, kedua Negara Pasundan RIS yang ketiga Darul Islam.

Tiga problem utama Republik Indonesia sebagai kesatuan. Negara Pasundan ingin menjadi Negara bagian federal, dan ingin Darul Islam yang berdiri sendiri terpisah negara merdeka. Meski esensi secara umum dilihat biasa, tetapi bagi Indonesia yang baru saja medeka, masalah itu tidak sederhana, Unsur kedaerahan berbasis etnis dan budaya, unsur interglistik dengan basis kebangsaan nasionalis, dan prinsip Islam dengan faham religiusitas, satu dan lainnya berdiri sendiri-sendiri

Mohamad Natsir dengan relegiusitasnya memang agak dekat Darul Islam secara ideologi dan agak dekat dengan nasiaonalisme kebangsaan dengan integralistiknya, hal itu dapat diurai dalam kenyataan berikutnya. Meski demikian kekentalan relegius yang dianut oleh Darul Islam di bawah kepepemiminan Kartosuwiryo membuat Natsir tidak cukup berdaya dalam meyakinkan kalangan kelompok Kartosuwiryo.

Itulah yang terjadi saat Natsir diutus Hatta menemui Kartosuwiryo agar mencegah mendirikan Negara Darul Islam, ia tidak berhasil, Darul Islam secara terpisah diproklamirkan oleh Kartowuwiryo untuk seluruh Jawa Barat, Kartosuwiryo tidak bisa bertemu lansung, hanya lewat utusan, hasilnya tidak dapat menerima harapan Natsir untuk menjadikan Darul Islam kembali ke pangkuan RI.

Alasan yang dikemukakan adalah sudah terlambat, dan tidak bisa dicabut kembali, Jawa Barat menjadi Negara dibawah Darul Islam yang kelak menjadi ironisnya hubungan umat Islam dalam Negara Republik Indonesia. Ini pula menjadi beban sejarah sebagai bentuk terpecahnya kohesi golongan Islam kenegaraan dan kebangsaan di belakang hari.

Pribadi Natsir dalam posisi objektif adalah memperjuangkan Negara bersama bersatu dengan kalangan lain seperti Katolik, Kristen dan kelompok etnik budaya, namun posisi subjektif ia harus memainkan kemampuannya untuk Islam dan pada aspek Negara dan hukum serta tatanan sosial kemasyrakatan. Terkadang ia bersama tetapi tak juga berlawanan karena pijakan akhlak dan moral keperibadiannya sebagai muslim

Seperti akhlak politik yang dianut Ibnul Qayyim, akhlak politik tak terpisahkan dengan agama. Baginya Agama Islam seluruhnya akhlak, siapa yang merusak ahlak adalah dia merusak agama. Sejatinya agama dan akhlak politik berada dakm koridor jalan bersama, Hanya dalam realitas yang berubah-ubah maka politik pun mengalami perubahan sewaktu-waktu. (Mukhtashar Zaadul Maad.terjemahan.Pustaka Arafah, 1996 , Jakarta).

Hal ini menyebabkan terjadi pertikaian pertentantangan bahkan permusuhan. Tidak lain akibat menampilkan ahlak politik tidak sehat lalu menjadi persoalan dan malapateka. Padahal Islam membolehkan politik sepanjang tidak meninggalkan akhlak.

Sejalan dengan itu Imam Ghazali memberi landasan faham yang tidak jauh berbeda, Imam Ghazali berpendapat Negara dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan (Ihya Ulumuddhin terjemahan, Pustaka Pelajar Jogyakarta, 1996) Agama dengan pijakan akhlak sedangkan kekuasaan merupakan domain politik, Agama dan akhlak atau agama akhlak dan politik tidak terpisahkan, Demikian Imam Ghazali.

Keterlibatan sosok Natsir dalam Sejarah Indonesia dapat dibentangkan dari beberapa aspek, yaitu:

Pertama aspek Aspek modernisasi

Pandangannya dapat dicatatkan dari pemahamannya tentang sosiologi masyarakat, dari agama dan suku dan budaya, Hasil pembelajarannya terlihat dari kepercayaannya kepada hukum dan demokrasi dia orang amat konstitusional dalam berpikir.

Dalam esensi dua sisi mata uang ia melihat demokrasi dan modernisissai sebuah jalan yang tepat dalam membawa masyarakat yang berubah dan modern. Sementara demokrasi bagi sebagian orang berpendapat itu adalah modernisasi barat yang tidak semua cocok dengan nilai moral bangsa Indonesia,

Dari paparan diatas ditemukan Ahklak Islam pada Kepribadian Mohammad Natsir dalam bentuk 3 hal yaitu

Pertama, kepribadian yang integral

Kedua, kesungguhannya

Ketiga, kesabaran yang luar biasa

Ketiga bentuk keperibadiannya itu terbentuk sepanjang hidupnya. Tidak salah kalau figur Mohammad Natsir teladan utama ahklak politik bangsa Indonesia. Harus menjadi contoh untuk generasi dibelakangnya. Semoga.

DR Masud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Exit mobile version