Perdamaian Israel Palestina (Bagian 2)
Oleh: Hasnan Bachtiar
Masalah konflik ideologi Israel-Palestina tidak mungkin diselesaikan hanya melalui rekonsiliasi iman, betapapun kita berteriak bahwa Ibrahim adalah bapak para nabi dan Jerusalem adalah kota semua agama. Sejak tahun 1940an hingga petang ini 11 Mei 2019, konflik antara Israel dan Palestina tak pernah padam. Bahkan cenderung semakin membara.
Alasannya adalah, setelah bantuan dana militer Amerika sejumlah 38 miliar dolar dikucurkan pada 2016, Israel mencaplok paksa wilayah Palestina di West Bank untuk hunian 4.000 warganya. Merasa menang, lantas Donald Trump pada 15 Februari 2017, memaksakan one-state solution dalam mengatasi konflik tersebut: tanah Palestina hanya untuk Israel.
1 Mei masih di tahun yang sama, Hamas bersikeras untuk, “Tidak mengakui hak kedaulatan Israel di bagian mana pun di tanah Palestina, dan tidak akan menghentikan aksi-aksi militeristik melawan Israel.” Akan tetapi, 6 Desember 2017, Trump mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke kota tersebut.
Harapan Perdamaian
Di tengah keruhnya suasana konflik, Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman justru mengambinghitamkan Hamas sebagai masalah pokok yang selama ini menghambat proses perdamaian. Ia bahkan secara terang-terangan mendukung proposal yang diajukan Trump mengenai “Deal of the century.”
Deal ini memaksa berdirinya Palestina yang hanya terdiri dari Gaza dan 50% West Bank. Jika kedua wilayah itu digabung, maka keseluruhan Palestina sebelum dijajah bangsa Eropa dan pada akhirnya diduduki Israel, tidak lebih dari 11%. Seandainya deal ini diterima, jelas menandakan bahwa Palestina kalah telak.
Meskipun demikian, jika tawaran-tawaran perdamaian yang lebih besar seperti Perjanjian Madrid, Oslo I, Oslo II, Camp David dan Annapolis saja gagal, maka prediksi yang paling akurat mengenai hal ini adalah deal yang dilemparkan Trump juga dapat dipastikan akan gagal.
Ann M. Lesch dan Ian S. Lustick, para analis perdamaian Israel-Palestina, bertemu dengan para sarjana pemerhati kajian Israel-Palestina. Seperti misalnya Laleh Khalili, Elie Podeh, Sari Hanafi, Elazar Barkan, Amal Jamal, Zeev Khanin, Michael Fischbach, Yehouda Shenhav, Salim Tamari, Nadim Rouhana, Ilan Pappe dan Gershon Shafir.
Lesch dan Lustick berdiskusi dengan cerdik pandai tersebut dan berkesimpulan bahwa, dalam rangka menginisiasi perdamaian, maka dibutuhkan syarat-syarat utama. Pertama, mereka harus berhenti saling mengancam. Kedua, mereka harus saling memaafkan dan saling mengakui hak dan kedaulatan satu sama lain. Yang terakhir, mereka harus saling menghargai dan memenuhi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. (Lesch dan Lustick, “The Failure of Oslo and the Abiding Question of the Refugees,” Exile and Return, 2005).
Sayangnya, apa yang diajukan Lesch dan Lustick adalah hal yang tampaknya sulit diwujudkan. Kenyataannya, mereka yang gemar akan perang terlampau dominan. Intervensi Amerika mengenai masalah “Deal Abad 21” misalnya, merupakan buah dari kerja keras lobbying para agensi Zionisme internasional: dalang pembuat onar yang sebenarnya.
Organisasi Zionisme internasional yang dimaksud adalah “HaHistadrut HaTzionit Ha’Olamit” (The World Zionist Organization/WZO). WZO telah bergerak sejak 122 tahun yang lalu (lahir 1897). Pertama kali dipimpin oleh Theodor Herzl dan saat ini oleh Avraham Duvdevani, mantan tentara IDF dalam perang 1967. Tujuan utamanya adalah memperkuat negara Israel (Eretz Yisrael), membantu migrasi bangsa Yahudi-Zionis (Aliyah), mengembangkan ideologi Zionisme global, memastikan masa depan kaum Zionis, melawan segala bentuk anti-Zionisme (dan anti-Semitisme) dan mendukung segala kepentingan Israel sebagai implementasi dari doktrin-doktrin Zionisme. WZO bergerak seperti siluman: sulit diendus penampakannya, namun ada di mana-mana. Para anggota organisasi ini, bukan sekedar ditempa dengan pendidikan militer yang sangat sulit, tetapi juga operasi intelijen tingkat tinggi.
WZO ini, didukung oleh sayap-sayap, seperti misalnya: “Keren Kayemet LeYisrael” (Jewish National Fund) yang mengatur keuangan Yahudi dunia; “HaSochnut HaYehudit L’Eretz Yisra’el” (Jewish Agency for Israel) yang memobilisasi secara strategis dan praktis jaringan Yahudi global; “Aliyat Hano’ar” (Youth Aliyah) adalah sayap kepemudaannya; “Mossad LeAliyah” sebagai sayap intelijen (paramiliter) untuk operasi khusus migrasi global; “Nefesh B’Nefesh” (Jewish Souls United) sebagai organisasi think thank pendukung Mossad; dan Am Yisrael Foundation yang berkedudukan di Amerika, sebagai payung semua organisasi (NGO) penyokong Zionisme di dunia.
Di antara sayap internasional Zionisme, yang paling misterius adalah Mossad. Mottonya adalah “be-tachbūlōt ta`aseh lekhā milchāmāh” (dengan segala nasehat yang bijak, kamu siap berperang) dan “be-‘éyn tachbūlōt yippol `ām; ū-teshū`āh be-rov yō’éts” (tanpa kebijaksanaan, suatu bangsa akan runtuh, tapi dengan adanya orang-orang bijak yang melimpah, di situlah ada keselamatan). Dengan berpegang teguh kepada motto tersebut, tidak jarang, Mossad melancarkan operasi Kidon (pembunuhan target penting) di pelbagai kota di dunia, demi kepentingan Israel.
Singkat cerita, apa yang dilakukan Israel, jaringan Zionisme internasional dan Mossad, sedemikian rapi, terstruktur, canggih dan gigih dalam memperjuangkan kedaulatan Israel dan “One-State Solution.” Sayangnya, mereka tidak dilawan oleh kekuatan yang sepadan. Pelbagai organisasi internasional anti-Zionisme, hanya melakukan kampanye moral mengenai kekejaman Israel. Tidak lebih. Di samping itu, walaupun mayoritas negara-negara di dunia mengecam tindakan dehumanistik Israel (melalui forum PBB), secara politik hal itu tidak berarti apa-apa di hadapan kedigdayaan Amerika dan kelicikan Israel.
Walau demikian, bukan berarti tidak ada harapan perdamaian. Kekuatan yang tangguh, harus dihadapi oleh ketangguhan yang sepadan. Seluruh jaringan Zionisme global, harus dibayangi oleh jaringan anti-Zionisme. Sayap-sayap mereka yang canggih dan terstruktur, juga harus dilawan dengan kekuatan yang setimbang. Termasuk pula operasi intelijen Mossad yang dianggap paling hebat di jagat ini, pastilah ada yang mampu mengalahkannya.
Setidaknya, secara perskriptif inilah jalan yang paling memungkinkan untuk membuka jalan menuju perundingan perdamaian yang lebih fair. Dengan kekuatan yang setimbang, “win-win solution” lebih memungkinkan diupayakan. Tekanan Trump melalui proposal “Deal Abad 21” yang sangat merugikan Palestina, memang merupakan kenyataan pahit. Dalam waktu dekat, perdamaian tampaknya tak akan terwujud. Namun, secara jangka panjang, perdamaian yang lebih abadi, masih mungkin diperjuangkan.
Pertanyaannya, siapa yang mampu membayangi kekuatan Zionisme internasional? Mungkin, di sinilah letak peri pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia.
Hasnan Bachtiar, Dosen HKI, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menekuni kajian hukum perang dan hubungan internasional di The Australian National University (ANU)
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019