Etika Personal Seorang Guru
Oleh: Deri Adlis
Guru merupakan salah satu kunci penting dalam dunia pendidikan. Ia merupakan salah satu penentu pendidikan serta kualita pendidikan suatu bangsa. Ia tidak hanya bertugas memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus menjadi sosok publik figur dihadapan para muridnya.
Sebagai pendidik dan publik figur, seorang guru harus memiliki etika personal yang wajib dimiliki dan dijaga dalam kehidupannya sehari-hari. Harga diri seorang guru bisa jatuh jika etika yang dimilikinya dilangar. Dalam buku ‘terjemahan Adabul Alim wal Mutha’alum, Imam Nawawi menuliskan tujuh etika personal yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Pertama, ketika seorang guru belajar, ia harus menjadikan ridha Allah sebagai tujuan belajarnya. Ia tidak boleh berniat mencari kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi. Misal memperkaya diri, ingin dikenal, atau memproklamasikan bahwa aktivitas keilmuan yang ditekuninya lebih baik daripada yang lainnya. Selain itu ia wajib tidak menodai proses belajar -mengajar dengan keinginan untuk bisa memiliki banyak relasi yang dengan hal tersebut, ia mendapatkan layanan atau kopensasi meski jumlahnya sedikit. Hal ini telah diingatkan Allah dalam Al-qur’an surat asy-Syuura ayat 20 :
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ ٢٠
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.(Qs. Asy-Syuura :20)
Dalam surat al-Isra ayat 18 juga disebutkan
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهٗ جَهَنَّمَۚ يَصْلٰىهَا مَذْمُوْمًا مَّدْحُوْرًا ١٨
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.(Qs. Al- Isra :18)
Imam Syafi’i mengatakan, “ aku lebih menyukai seorang hamba Allah yang mempelajari sesuatu ilmu, sedangkan mereka tidak menisbatkan kepadaku walaupun satu huruf. Ia juga menggakan, “ aku tidak akan berdiskusi dengan sorang hamba yang memamerkan ilmunya.” Sebab, “Aku lebih suka berdiskusi dengan orang yang mampu menjelaskan sebuah kebenaran dengan apa adanya.”
Imam Syafi’i juga berkata “ Aku tidak akan berbicara pada siapapun, kecuali jika ia senatiasa mampu melakukan kebaikan dan selalu menjaga diri untuk tetap dekat dengan Allah.”
Kedua, seorang guru harus senantia berprilaku baik. Maknanya, segala prilakunya dalam kehidupannya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Ia mesti hidup sederhana agar dapat menguasai dirinya sehingga tidak terpedaya dengan kehidupan dunia. Sehingga dalam kehidupannya ia senantiasa menjadi seorang yang dermawan, berakhlak mulia serta dapat menjauhi dari hal-hal yang dapat merusak usaha belajarnya.
Seorang guru juga dituntut wajib untuk menjaga diri agar tidak melakukan perbuatan yang tercela, serta memiliki kerendahan hati dan menjaga diri dari perbuatan yang sia-sia. Selain itu ia juga harus memperhatikan penampilannya agar sesuai dengan ajaran-ajaran syariat.
Ketiga, seorang guru harus menjauhikan diri dari sifat-sifat tercela, seperti suka mengancam, menghasut, pamer, atau bertinggah congkak serta sombong. Ia juga tidak dibolehkn untk menghina atau mempermalukan orang lain. Karena, semua ini merupakan penyakit yang bisa menjangkit siapa saja. Untuk menghilangkan sifat -sifat ini ia harus menyadari bahwa kelebihan yang dimiliki orang lain merupakan takdir dan kebijaksanaan yang diberikan Allah. Begitu juga, ia harus menyadari bahwa membenci sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah merupakan perbuatan tidak terpuji.
Keempat, seorang guru harus senantia melanggengkan amalan-amalan dzikirnya, seperti membaca tasbih dan tahlil serta membaca doa-doa yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah.
Kelima, seorang guru harus menyadari bahwa segenap gerak dan diamnya, ucapan dan perilakunya, senantiasa diawasi oleh Allah. Maka, segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang guru tetap menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utamanya.
Keenam, seorang guru tidak diperbolehkan semena-mena menggunakan ilmunya. Ia juga tidak diperkenankan untuk mendatangi suatu tempat lantas berbuat semena-mena dengan ilmu yang dimilikinya. Ia wajib menjaga ilmunya dari perbuatan tersebut, sebagaimana telah dicontohkan oleh ulama salaf.
Ketujuh, seorang guru jika melakukan suatu pekerjaan yang pada awalnya boleh-boleh saja, namun mengandung hal -hal yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan, maka ia harus menghindarinya. Begitu juga ketika ia melihat ada orang-orang yang melakukannya, maka ia harus mengingakan dan menegurkan mereka, agar mereka mengerti mana yang lebih bermanfaat dan mana yang tidak bagi mereka.
Hal tersebut perlu untuk menjadi perhatian agar mereka terhindar dari dosa, karena telah melakukan sesuatu yang mereka sangka diperbolehkan namun ternyata itu dilarang. Dengan demikina, mereka akan menyadari kebermanfaatan ilmu pengetahuan. Sebab, sebuah hadis menyebutkan bahwa ilmu itu memiliki sifat suci, dan mengajarkan kesucian.
Deri Adlis, Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kepulauan Anambas Dan Mubhlig Kepulauan Anambas