Covid-19 Varian Delta, Krisis Akhlak dan ‘Beautiful Death’

 Covid-19 Varian Delta, Krisis Akhlak dan 'Beautiful Death'

(foto: medcom)

Covid-19 Varian Delta, Krisis Akhlak dan Beautiful Death

Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan

Jika ucapan penguasa tidak memihak pada hati nurani yang benar,
jika keputusan hakim tak lebih sebagai topeng untuk menutupi
wajah korupnya, kalaulah siaran pers maupun televisi tak lain
dari permainan kata-kata tanpa realitas, seandainya surat referensi,
kuitansi maupun pembukuan uang negara telah terkena manipulasi,
maka tunggu saja ambruknya tatanan bernegara dan bermasyarakat.

(Komaruddin Hidayat, 2008, dalam bukunya “Psikologi Kematian”)

Virus yang semula disebut Novel Corona Virus ini kemudian oleh Badan Kesehatan Dunia (WH0) resmi diberi nama Covid-19. Covid adalah singkatan Corona Virus Disease, sedang 19 menunjuk ke tahun 2019 yaitu awal ditemukannya kasus penyakit sistem pernapasan ini. Sementara Komite Internasional untuk Taksonomi Virus menamai virus ini sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 atau SARS-CoV-2.

WHO secara sengaja menghindari penggunaan nama virus atau penyakit yang berawal di Wuhan diberi nama geografis. Keputusan WHO untuk tidak mengaitkan virus ini dengan Wuhan, tentu bernuasa politis. Kendati demikian nama Wuhan awalnya dikaitkan dengan virus Corona jenis baru ini, karena memang wabah ini bermula menjangkiti warga kota Wuhan, propinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok. Namun kemudian epidemi menyebar ke kota-kota lain di Tiongkok dan ke hampir 30 negara lain di berbagai penjuru dunia. Terjadilah apa yang disebut wabah raya atau Pandemi.

Memahami Virus Corona

Semua bibit penyakit yang menyerang manusia, mulai dari bibit penyakit terbesar golongan parasit sampai yang terkecil berupa virus yang tak kasat mata. Virus ratusan jenis. Tidak semua menyerang manusia. Sebagian populasi virus hanya hidup pada hewan selain hanya pada tanaman. Sejumlah virus hewan ada yang dapat menyerang manusia juga. Kita menyebutnya penyakit zoonosis. Habitat virusnya di tubuh hewan, namun bisa juga hidup di tubuh manusia. Virus corona habitatnya di kelelawar, yang bisa menyerang tubuh manusia. Virus punya pintu masuknya masing-masing memasuki tubuh manusia maupun inangnya. Virus corona lewat udara pernapasan, lewat selaput lendir rongga dan saluran pernapasan. Menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk penderita. Kontak jarak dekat dengan penderita, seperti bersentuhan atau jabat tangan. Memegang mulut dan hidung tanpa mencuci tangan, setelah menyentuh benda yang terkena air liur penderita.

Selain secara naluri virus memilih cara masuknya ke dalam tubuh manusia, virus juga akan dengan sendirinya mencari dan menuju organ tubuh yang menjadi habitatnya, virus corona ke paru-paru. Tubuh yang dimasuki oleh virus apa pun, belum tentu selalu harus jatuh sakit. Peperangan berlangsung di dalam tubuh yang sudah dimasuki virus, oleh karena tubuh memiliki kekebalan, atau sistem imun, baik berupa cairan dalam darah maupun berupa sel darah putih. Keduanya secara bermitra menyerbu tempat di mana virus masuk.

Namun belum tentu perangkat kekebalan tubuh punya semua senjata penumpas untuk menumpas virus yang sudah terlanjur masuk. Atau kalau pun punya senjatanya namun oleh karena, misalnya, jumlah virus yang masuk sangat banyak, dan atau jenis virusnya tergolong ganas, maka tubuh akhirnya kalah perang. Ketika tubuh kalah perang inilah, setelah melampaui masa tunas penyakit virusnya, untuk virus corona sekitar 14 hari, maka tubuh pun tumbang, dan penyakit virusnya mengejawantah. Gejala infeksi virus corona-19 adalah demam, sesak napas, batuk berdahak dan nyeri dada. Orang berisiko tinggi tertular jika sistem imunitas lemah, anak kecil dan lansia.

Virus SARS-CoV-2 varian Delta beberapa waktu belakangan cukup meresahkan masyarakat Indonesia. Sebab, daya penularan varian ini lebih cepat daripada varian-varian sebelumnya. Bahwa daya penularan varian Delta dua kali lebih tinggi dibandingkan varian lain. Varian Delta lebih berisiko menimbulkan gejala berat pada orang yang belum divaksinasi. Angka kematian karena varian Delta lebih tinggi daripada varian sebelumnya. Orang yang divaksinasi, tetapi terpapar varian Delta tetap dapat menularkan virus ini kepada orang lain. Namun, jendela rentang waktu penularannya relatif lebih singkat.

Agar bisa hidup berdampingan dengan Covid-19, maka disiplin menggunakan masker, vaksinasi lengkap Covid-19, rajin mencuci tangan, selalu menjaga jarak, keluar masuk melalui pintu yang berbeda saat di ruang publik, gunakan aplikasi Peduli Lindungi untuk menyaring pengunjung di ruang publik, terapkan pola hidup sehat, dan patuhi protokol kesehatan lainnya.

Virus ini memang jahat. Lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia meninggal dunia karena Covid 19 hanya dalam kurun waktu 1,5 tahun wabah ini menyerang. Jahat memang, tapi lebih jahat lagi orang yang memanfaatkan virus ini untuk tujuan-tujuan jahat, memperkaya diri sendiri dengan cara mencuri dana bansos untuk rakyat miskin yang terdampak Covid 19. Tanpa disadari oleh pelakunya, dengan melakukan korupsi dana bansos ini mereka sebetulnya telah membunuh jutaan nyawa (jauh lebih banyak dari korban Covid 19) orang yang miskin, tidak bisa makan, para janda, yatim dan atau piatu yang buat beli nasi saja kesulitan. Maka layakkah para koruptor ini dihukum ringan, atau dibebaskan, atau malah jadi pejabat negara? Kalo virus corona saja harus diberantas maka koruptor lebih jahat dari si virus.

Krisis Akhlak, Korupsi, Otak Sehat atau Otak Normal

Kata Bung Hatta : “ Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki”.

Kata akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Akhlak juga diartikannya dengan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami dalam arti isi hati atau keadaan perasaan, sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Sedangakan etika diartikannya dengan ilmu tentang apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Shihab, 2017).

Menurut M Quraish Shihab (2017) dalam bukunya “Yang hilang dari kita Akhlak”, merujuk pada asal usul kata akhlak, diketahui bahwa ia terambil dari bahasa Arab akhlaq. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang pada mulanya bermakna ukuran, latihan, dan kebiasaan. Nah, dari makna pertama (ukuran) lahir kata makhluk, yakni ciptaan yang mempunyai ukuran; serta dari makna kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu – positif atau negatif. Batu yang licin dinamai khalqa’ karena ia berkali-kali disentuh oleh sesuatu, juga kata khalaq yang berarti usang karena telah berkali-kali lagi terbiasa digunakan. Al-Qur’an dilukiskan sebagai : Kitab yang tidak habis keajaibannya dan tidak juga usang dengan seringnya dirujuk.

Makna-makna di atas mengisyaratkan bahwa akhlak pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap dalam diri seseorang/kondisi kejiwaan baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan dan dengan membiasakan diri melakukannya. Dari paparan di atas agaknya tidak terlalu meleset jika penggunaan sehari-hari kata-kata : akhlak, budi pekerti, moral, dan etika dipersamakan maknanya walaupun tentu jika ditinjau lebih dalam, akan ditemukan perbedaan-perbedaannya.

Pandangan pakar-pakar Muslim yang memberi perhatian tentang akhlak tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan di atas. Secara umum, mereka menekankan bahwa : Akhlak adalah sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui kehendak/ kelakuaan dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab.

Manusia memiliki akhlak yang bersumber dari tabiat manusia dan juga akhlak yang dikaitkan dengan aktivitasnya yang lahir oleh dorongan kehendaknya. Karena itu, ada yang dinamai akhlak diri manusia dan juga yang merupakan akhlak kegiatannya, yakni aktivitas yang lahir dari kehendaknya. Yang pertama (akhlak diri) lahir bersamaan dengan fitrah/asal kejadian manusia. Ia dinamai akhlak karena ia merupakan makhluq.

Yakni sesuatu yang tercipta sejak kelahiran (Ini dinamai temperamen, yakni gejala karakteristik dari sifat emosi seseorang yang menjadikannya terbuka atau tertutup, mudah atau tidak mudah terangsang emosinya (misal marah). Temperamen tidak jarang dipengaruhi oleh faktor keturunan, juga zat-zat tertentu dalam tubuh seseorang. Jadi, ia bukan pengaruh pendidikan atau lingkungan.

Manusia pada umumnya, kecuali yang diistimewakan Allah, sebagian menyandang akhlak terpuji dan sebagian lagi tercela. Ini akibat fitrah yang disandang manusia, di mana Allah menganugerahkan kepadanya potensi/ kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Dengan demikian, manusia yang terpuji adalah yang kebaikannya melebihi keburukannya.

Menurut Muhammad ‘Abdullah Draz (1950, dalam Ilyas, 2016) membagi ruang lingkup akhlak menjadi 1) Akhlak Pribadi, meliputi yang diperintahkan, yang dilarang, yang dibolehkan dan akhlak dalam keadaan darurat; 2) Akhlak Berkeluarga, meliputi kewajiban timbal balik orang tua dan anak, kewajiban suami isteri dan kewajiban terhadap karib kerabat; 3) Akhlak Bermasyarakat, meliputi yang dilarang, yang diperintahkan dan kaidah-kaidah adab; 4) Akhlak Bernegara, meliputi hubungan antara pemimpin dan rakyat dan hubungan luar negeri, dan 5) Akhlak Beragama, yaitu kewajiban terhadap Allah. Lebih lanjut dapat dibaca dalam  buku “Kuliah Akhlaq” tulisan Yunahar Ilyas (2016), Guru Besar Ulumul Qur’an Fakultas Agama Islam UMY.

Ajaran akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang termaktud dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Akhlak dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak untuk memperoleh kebahagiaan di dunia kini dan di akhirat kelak.

Dengan ruang lingkup akhlak, terhadap Allah Swt., Rasulullah Saw., diri pribadi, dalam keluarga, bermasyarakat dan akhlak bernegara. Adapun akhlak bernegara meliputi musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, dan hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Sekalipun dalam struktur bernegara ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat dan rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, bukan prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat.

Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh secara mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan seperti itu dalam prakteknya tidak melemahkan kepemimpinan Rasulullah Saw., tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya didasari hubungan formal, tapi juga didasari hubungan hati yang penuh kasih sayang.

Andaikata Ibu Kartini masih hidup pada era reformasi, bisa jadi beliau sangat bangga karena Bapak bisa jadi Presiden, Ibu-pun bisa jadi Presiden. Bapak bisa jadi Ketua DPR, Ibu-pun bisa jadi Ketua DPR, Bapak bisa jadi Menteri, Ibu-pun bisa jadi Menteri, demikian seterusnya. Barangkali yang paling “membanggakan” beliau adalah telah terjadi “emansipasi” yang luar biasa, yaitu Bapak bisa jadi koruptor, Ibu-pun bisa jadi koruptor !

Apa bedanya maling dengan koruptor? Maling ada niat dan peluang. Koruptor ada niat, peluang dan kekuasaan. Maka korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Budhy Munawar Rachman yang selama 12 tahun menemani Cak Nur dalam kegiatan pemikiran Islam di Yayasan Paramadina, dalam Kata Pengantar  buku “Jalan Sufi Nurcholish Madjid” oleh Triyoga A. Kuswanto (2007) menulis,  khusus soal moralitas inilah Cak Nur, Guru Bangsa,  sangat prihatin pada keadaan masyarakat Indonesia. Lebih khusus lagi pada umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia.

Ada hukum yang Cak Nur kemukakan – dalam bahasa Latin – “coruptio optimi pessima” (“kejahatan oleh orang yang terbaik adalah kejahatan yang terburuk”, “corruption by the best is the worst”), maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan – yang merupakan salah satu pikiran etika politik yang selalu ditekankan Cak Nur – oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda. Dan hukum yang sama juga berlaku atas para penganut agama lain, apapun agamanya. Sebab setiap agama juga mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbangan yang sama.

Nucholis Madjid Foto Dok Ilustrasi

Hal yang sangat memprihatinkan Cak Nur pada keadaan bangsa Indonesia saat ini adalah keadaan negara Indonesia sebagai “soft state”, istilah yang sudah sejak era 80-an dipelajari Cak Nur lewat pikiran Karl Gunnar Myrdal (1898 -1887). Menurut Cak Nur, Indonesia adalah “negara lunak”, yaitu negara yang pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik.

Cak Nur sering mengingatkan adanya penyakit sosial-politik bangsa Indonesia yang disebutnya sebagai penyakit “kelembekan” (leniency), dan “sikap serba memudahkan” (easy going). Sebab, lanjutnya, penyakit-penyakit itulah yang menyebabkan Indonesia tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi. Dan jenis korupsi yang paling Cak Nur prihatinkan dan telah berjalin-kelindan dalam budaya orang Indonesia adalah korupsi dalam bentuk conflict of interest.

Cak Nur selalu mengutip Louis Kraar, seorang pengamat negara-negara industri baru di Asia Timur, yang pada tahun 1988 sudah meramalkan bahwa Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun ke depan akan menjadi halaman belakang  (back yard) Asia Timur, ditinggalkan oleh negara-negara tetangga yang sudah berkembang menjadi negara-negara maju. Mengapa? Cak Nur mengatakan, penyebabnya adalah “etos kerja yang lembek dan korupsi yang gawat” (lousy work ethics and serious corruption). Sumber malapetaka ini, dalam analisis politik Cak Nur, terjadi tidak hanya ada dalam bidang finansial-moneter semata, melainkan dalam pengelolaan yang lemah (weak governance) dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan.

Dalam rangka menuju tujuan Indonesia Emas 2045, 100 tahun Kemerdekaan Indonesia, selama pandemi Covid-19 didengung-dengungkan semboyan penyemangat Indonesia Tangguh (menghadapi pandemi Covid-19) Indonesia Tumbuh (ekonominya). Kenyataannya terjadi anomali, harapan rakyat dan bangsa Indonesia adalah freedom from corruption dengan UU KPK yang lama Nomor 30 Tahun 2002, realitas yang terjadi justru freedom to corruption dengan UU KPK yang baru Nomor 19 Tahun 2019, UU pelemahan KPK dibuat sebagai “hadiah” pada saat Indonesia Merdeka 75 tahun dari penjajahan bangsa asing. Kata Bung Karno :

“ Tantangan generasi saya lebih mudah karena yang dihadapi musuh yang jelas penjajah bangsa asing. Tantangan generasi sesudah saya lebih sulit karena yang dihadapi penjajahan yang dilakukan oleh bangsa sendiri yang melakukan korupsi”. Maka yang terjadi adalah Indonesia Tangguh (koruptornya) Indonesia Tumbuh (korupsinya). Korupsi sulit diberantas karena berkaitan dengan kekuasaan,  penguasa dan pengusaha. Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir. Kata Ali bin Abu Thalib Ra. : “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Maka, Undang-Undang KPK berhasil dilemahkan. Undang-Undang menjadi alat kejahatan penguasa terhadap rakyat.  Bangsa menuju “bunuh diri” (Rahardjo, 2010).

Terkait dengan pentingnya sebuah proses di samping tujuan, Cak Nur sering mengutip syair Ferdinand La Salle berikut :

“Janganlah kami ditunjukkan hanya tujuan, tanpa cara

  Sebab tujuan dan cara di dunia ini sedemikian terjalin (erat)

  Mengubah salah satu akan berarti merubah satunya lagi juga

  Setiap cara yang berbeda akan menampakkan tujuan yang lain”

Menurut editor buku Satjipto Rahardjo (2010), Guru Besar Fakultas Hukum Undip, dalam buku “Penegakan Hukum Progresif’ dengan merujuk tulisan-tulisan beliau, manusia selaku aktor penting dan utama di belakang kehidupan hukum tidak hanya dituntut mampu menciptakan dan menjalankan hukum (making the law), tetapi juga keberanian mematahkan dan merobohkannya (breaking the law) manakala hukum tidak sanggup menghadirkan ruh dan substansi keberadaannya, yakni menciptakan keharmonisan, kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.

Realita yang ada selama ini, hukum dipahami hanya sebatas rumusan undang-undang, kemudian implementasinya sekedar menerapkan silogisme. Aparat penegak hukum dipaksa bahkan demi aman sengaja menempatkan diri hanya menjadi corong undang-undang tanpa ada ruang dan kemauan untuk bertindak progresif.

Masyarakat pun terpojok. Wajib hukumnya untuk mengindahkan segala ketentuan hukum, sekalipun hukum itu telah merampas kemerdekaannya, menindas hak-haknya yang paling asasi, bahkan hingga menjadi alat kejahatan penguasa terhadap rakyat.

Hukum telah menjadi “anak durhaka” yang membelenggu kemerdekaan, “ibu sekaligus bidan yang melahirkannya”, yaitu masyarakat. Tanpa tedeng aling-aling guru besar hukum ini menuding hukum sebagai perampas kemerdekaan masyarakat. Hukum yang membawa panji-panji keteraturan justru menimbulkan ketidaktertiban.

Hukum tidak saja bersifat ordogenik (tatanan/aturan), tetapi juga kriminogik (kejahatan). Produk legislasi yang sudah tentu mempunyai maksud dan tujuan mulia, pada waktu dilaksanakan malah menimbulkan distorsi pada struktur masyarakat yang telah mapan dan terbukti memberi manfaat.

Persoalannya, apakah kita mau membuka mata hati serta memberi ruang dan kesempatan bagi hukum merebut jati diri yang sesungguhnya? Atau malah justru memanfaatkan hukum untuk menjaga status quo? Penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya, aparat penegakan hukum menjadikannya sebagai kebanggaan semu bahwa dirinyalah panglima hukum yang setiap ujarannya harus dituruti sekalipun jauh dari keadilan dan telah kehilangan nurani.

Otaklah yang membuat manusia menjadi manusia (Robert Livingstone, 1967 dalam Aswin, 1995). Otak adalah organ paling penting manusia. Otak dibentuk oleh 172 milyar neuron (sel saraf) dan nonneuron. Dengan berat 1,5 kg, otak mampu mengontrol fungsi organ lainnya secara keseluruhan. Karena itu, otak dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed, 2016). Meskipun berat otak kira-kira 2% dari berat badan, tapi sekitar 18% dari volume darah seluruhnya beredar dalam sirkulasi darah otak. Otak juga menggunakan sekitar 20% dari oksigen yang dihirup melalui paru-paru. Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, di mana kebutuhan ini dipenuhi bila aliran darah ke otak normal (Bahrudin,2016).

Memang, “kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna” (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860). Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Belum ada definisi kongkrit tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Kesehatan di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial (Machfoed, 2016).

Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Di sebut normal, apabila otak memiliki struktur dan fungsi seperti apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungsi secara baik, tetapi juga memiliki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan.

Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehingga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016). Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Aswin, 1995).

Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).

Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin), yang berarti ‘makhluk berakal budi’. Menurut ahli biologi Paul McLean (1974 dalam Pasiak, 2007) membagi otak menurut perkembangan evolusinya, membagi hierarki otak menjadi tiga dalam satu otak yang secara singkat disebut “Triune Brain :

1) Otak Reptil, yang mula-mula muncul, otak ini terutama mendukung kegiatan vegetatif tubuh manusia seperti bernapas, pengaliran darah;

2) Otak Paleomamalia (paleo = kuno, tua) muncul di atas Otak Reptil, selain ditemukan pada manusia, juga ditemukan pada hampir semua binatang. Kedua otak ini, otak reptil dan otak paleomamalia membentuk sistem limbik yang bertanggung jawa untuk pengaturan emosi yang responsnya, hadapi (fight) atau lari (flight). Sifat sistem ini berciri : reaktif, cepat tanggap, dan tanpa berpikir; dan

3) Otak Neomamalia (neo = baru), merupakan lapisan otak yang paling akhir muncul. Lapisan paling atas ini bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) antara lain persepsi dan bahasa. Lapisan ini hanya ada pada mamalia tertentu dan paling lengkap pada otak manusia. Menurut Aswin (1995), perkembangan bagian otak “modern” ini menyebabkan manusia tidak sekedar sebagai “binatang super” yang lebih unggul daripada makhluk-makhluk hidup lainnya, tetapi lebih dari itu, ia adalah unik.

Disamping tangannya yang terampil, kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, ciri khas manusia ialah kemampuan berpikir sehingga disebut Homo sapiens, manusia pemikir! Selanjutnya, menurut Pasiak (2012), Prefrontal Cortex, otak yang terdapat tepat di belakang dahi manusia (tulang dahi merupakan tulang tengkorak yang paling tebal, ibaratnya untuk melindungi CPU pada komputer ), merupakan otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, hewan tidak, yang fungsinya :

1) Pengendali nilai (value);

2) Perencanaan masa depan (future planning), perencanaan masa depan yang bernilai adalah berdasarkan iman dan mempertimbangakan Hari Akhir, dan

3) Pengambilan keputusan (decision making). Adapun keputusan yang bernilai adalah apabila baik sesuai dengan petunjuk agama, benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan adil sesuai dengan proporsinya.  Adanya Prefrontal Cortex menjadikan manusia menjadi ‘makhluk berakal budi’,  lalu menjadikan manusia  mempunyai hati nurani (bercahaya). Sebaliknya, jika tidak menggunakan  Prefrontal Cortex (budi) akalnya dipakai untuk mengakali dan akal-akalan bin okol-okolan! Hatinya menjadi hati zulmani (gelap).

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Bahasa Indonesia hanya mengenal 2 kosa kata jasmani dan ruhani. Mestinya, paling tidak 3 kosa kata, syukur-syukur 4 kosa kata, jasmani, nafsani, ruhani dan mujtama’i. Dengan demikian ketika mengatakan : “Orang yang sehat adalah sehat jasmani, nafsani,  ruhani dan mujtama’i”. Lengkap! Akibat hanya mengenal 2 kosa kata, maka orang yang sakit nafsani dikatakan sakit ruhani.  Mereka dihina, dilecehkan, dipojokkan padahal penderita gangguan nafsani yang berat (psikosis, gila dalam bahasa Indonesia) mereka itu tidak mampu membela diri dan tidak mampu memperjuangkan nasibnya akibat penyakit yang dideritanya.

Tuhan memperintahkan agar manusia membela dan memperjuangkan nasib orang yang tidak mampu, sakit, miskin dan para yatim pintu serta janda “glamour” (golongan lanjut umur) karena janda muda apalagi cantik sudah banyak yang ngurus!

Para koruptorlah yang sesungguhnya menderita sakit ruhani, perilaku mereka tidak bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia. Karena hal ini tidak disadari oleh masyarakat Indonesia, mereka para koruptor merasa baik-baik saja, meskipun pakai rompi oranye KPK mereka cecengesan, “da-da da-da” kepada para wartawan, penuh sikap percaya diri sama sekali tidak punya rasa malu.

Ironinya, perilaku nitizen yang mem”bully” mantan Mensos yang korupsi dana Bansos di masa pandemi, justru yang dicela hakim bahkan dipakai sebagai dasar atau dalih untuk meringankan hukumannya, dengan azas yang “indah” yaitu azas praduga tak bersalah. Maka azas pembuktian terbalik untuk kasus korupsi tidak sekedar jadi wacana dan undang-undang perampasan aset koruptor juga segera diwujudkan. Apa mungkin? Wong kata Cak Nur “soft state” dan bangsa yang “easy going”. Salah satu hadis yang tersohor di Indonesia “Tuntutlah ilmu, walau ke negeri Cina”.

Salah satu penyebab sukses pembangunan ekonomi negeri Cina adalah mereka bertindak tegas kepada para koruptor. “Sediakan 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya, bila saya korupsi”, kata mantan Perdana Menteri China  Zhu Rongji. Dulu, definisi mati adalah heart death (mati jantung). Sekarang adalah brain death (mati otak). Maka, cara pelaksanaan hukuman mati bagi para para koruptor adalah hukuman gantung, dipancung lehernya atau ditembak pada jidatnya! Dengan demikian proses kematiannya berjalan cepat, tidak berkepanjangan.

Kata cahaya (nur) dalam Kitab Suci berbentuk tunggal, hanya Tuhanlah sumber cahaya satu-satunya. Kata gelap atau kegelapan berbentuk jamak, maka kegelapan bisa terjadi di mana-mana termasuk di KPK. Dengan demikian, kegelapan bisa saja terjadi atau menimpa Pimpinan KPK, meskipun ada salah satu wakil ketuanya punya nama yang bermakna cahaya, jika ia tidak menggunakan akal budinya, hanya menggunakan akalnya semata-mata.

Mengapa kegelapan bisa menimpa Pimpinan KPK? Ada 2 kemungkinan : 1) Mereka mendapat gangguan nafsani (jiwa), yaitu Paranoia. Imunisasi untuk mencegah gangguan jiwa belum ada hingga saat ini. Oleh karena itu gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, yang bisa saja menimpa Pimpinan KPK. Termasuk bisa menimpa si pembuat soal-soal TWK maupun si pemberi “wangsit” TWK. Lebih lanjut dapat dibaca pada tulisan kami yang berjudul : “TWK dan Paranoia”, Suara Muhammadiyah, 7 Juni 2021; 2) Mereka mendapat gangguan ruhani (spiritual) yang berupa Mabuk Kekuasaan.

Ibarat TWK seperti halnya sholat, jika ada yang mengajukan sholat ke MT (Mahkamah Tuhan) pasti jawaban Tuhan sah dan konstitusionil. Agar pelaksanaan sholat tidak amburadul, maka ketika melaksanakan sholat tidak boleh dalam kondisi mabuk. Mabuk menyebabkan tidak dapat memahami makna dan nilai sholat. Tidak perlu heran, jika rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM tidak dihiraukan dan mereka susah untuk memahami rekomendasi itu maupun putusan MK ataupun MA karena sedang mabuk kekuasaan. Tunggu saja sampai sadar atau mabuknya berhenti.

Jika tidak juga berhenti mabuknya, bisa jadi sudah mencapai taraf kecanduan kekuasan. Pertanyaannya, korban kekuasaan atau bandar? Jika korban lalu siapa pemasoknya? Tuhan mengutus Nabi Sulaiman As. selain sebagai Nabi juga sekaligus Raja yang paling powerful di muka bumi, dianugerahi Tuhan menguasai angin bahkan para jin. Namun beliau senantiasa tunduk dan patuh kepada Tuhan, perilakunya tidak sewenang-wenang dan tidak menyalahgunakan wewenang, meskipun yang dihadapi beliau adalah binatang semut yang jelas lemah. Nabi Sulaiman As tidak hanya sehat otak, beliau bugar otaknya sehingga mencapai derajat bugar spiritual (moral fitness).  Beda banget dengan perilaku Pimpinan KPK ! Mereka telah mendegradasi fungsi otaknya dari otak sehat menjadi sekedar otak normal !

Pimpinan KPK dipilih oleh lembaga politik DPR. DI dunia politik ada adagium

tidak ada kawan atau lawan yang abadi, kecuali kepentingan. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya kepentingan yang sama mendorong munculnya perilaku untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Di balik panggung politik, bisa jadi terjadi deal-deal (kesepakatan-kesepatan) yang publik tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Akibatnya, yang muncul adalah “dealership” (bukan leadership) untuk memecat para pegawai KPK dengan menggunakan jurus “harimau menyembunyikan kuku”, dipecat dengan hormat! Aneh. Jika mereka memang “pengkhianat bangsa”, mengapa tidak dipecat saja dengan tidak hormat? Komisi Pemberantasan Korupsi telah berubah menjadi Komisi Pemberantasan Pemberantas Korupsi!

Kepada ratusan mahasiswa yang datang dari Mataram, Kalimantan, Sumatra Selatan, Padang, Solo, Yogyakarta, Purwokerto, dan wilayah Jabodetabek, para mahasiwa yang bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, Senin, 27/9/2021, yang telah mendesak KPK mencabut keputusan pemberhentian 51 pegawai KPK yang dikeluarkan pada 13 September. Sebab, tes wawasan kebangsaan yang menjadi dasar alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai maladministrasi oleh Ombudsman RI. Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran hak azasi dalam penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan. Melalui tulisan ini, kami (generasi yang bergelar S3, Saestu Sampun Sepuh) sampaikan salut, anda semua hebat berani menyampaikan kebenaran. Tuhan dalam Kitab Suci memberitahu kita “Jika engkau berbuat baik akan kembali pada dirimu. Jika engkau berbuat jahat akan kembali pada dirimu. Jika engkau berbuat baik karena Allah maka Allah akan mengganti yang jauh lebih baik”.

Maka usaha anda perlu dilanjutkan dengan doa semoga Pimpinan KPK tidak menyia-nyiakan anugerah Tuhan berupa akal budi, sehingga mereka mendapatkan hati nurani, bukan hati zulmani, berani mencabut keputusan pemberhentikan 51 KPK dan mengangkat sebagai ASN. Dengan demikian, Komisi Pemberantasan  Pemberantas Korupsi kembali menjadi Komisi Pemerantasan Korupsi, “drama KPK” berakhir dengan happy ending. Namun, jika ternyata Pimpinan KPK tetap ngotot dan bersikukuh dengan keputusan itu, kita kembalikan saja kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Adil, kebenaran akan berbicara sendiri pada saatnya. Lewat Kitab Suci Tuhan mengancam manusia yang tidak menggunakan prefrontal cortex-nya akan diseret ke neraka pada jidatnya!

Fiir’aun (bukan Firli lho) ketika menjalani sakaratul maut baru berucap mengakui kebenaran yang telah disampaikan Nabi Musa As., namun sudah terlambat. Bisa jadi para Pimpinan KPK yang diketuai Firli Bahuri  maupun para pihak yang terlibat (bersekongkol) dalam penyelenggaraan TWK bisa jadi melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan oleh Fir’aun, baru menyampaikan “misteri” dibalik TWK ketika mereka menjalani sakaratul maut?

Dan datanglah sakrat al-maut saat ruh akan dicabut. Kedatangannya itu dengan hak, yakni pasti lagi tidak dapat dihindari oleh siapa pun, atau kedatangannya pasti lagi tidak berubah, sehingga sakarat itu tidak akan berhenti kecuali dengan kematian. Kematian itulah yang engkau selalu lari menghindar darinya (hai manusia) ” (QS Qaf [50] ; 19). Allah Swt. membatalkan kebatilan dengan jalan melontarkan kebenaran (Shihab, 2018).

Agama dan Kematian

“Mahasuci/Maha Melimpah Kebajikan Dia (Allah) Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan maut dan hidup untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67] : 1-2).

Dalam tradisi agama-agama besar dunia, juga menurut keyakinan sebagian para filosof, kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang terstruktur secara materi. Karena ruh bukan materi, maka ia tidak akan terkena hukum kehancuran. Keyakinan semacam ini tampaknya semakin mendapat dukungan kuat dari kalangan ilmuwan pasca-positivisme. Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang amat kokoh dan tradisi agama besar dunia. Mati bukanlah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Dalam bahasa Arab, dunia artinya kehidupan yang dekat, sekarang dan di sini, sedangkan akhirat artinya kehidupan kelak di seberang kehidupan dunia (Hidayat, 2008).

Menurut Shihab (2018), setelah merangkum pendapat para pakar agama, menyatakan bahwa tahapan yang dilalui oleh manusia sejak wujudnya : 1) Tahap pertama, eksistensi di alam ruh. Ini menurut sementara ulama antara lain diisyaratkan oleh firman-Nya dalam QS Al-Araf [7] : 172 dan juga disebut secara tegas dalam sekian banyak riwayat; 2) Tahap kedua, terciptanya fisik dan masuknya ruh ke dalamnya hingga kelahirannya di pentas bumi ini. Ini dijelaskan antara lain oleh QS Al-Mu’minum [23] : 13-14; 3) Tahap ketiga, kehadirannya di pentas bumi; 4) Tahap keempat, pemisahan ruh dari bingkai fisik (kematian); 5) Tahap kelima, sejak kematian sampai kebangkitan dari “kubur”/barzakh; 6) Tahap keenam, proses perhitungan atas setiap manusia dan kediamannya di salah satu tempat, surga atau neraka.

“Tidak ada satu pun yang wujud dan berakal  di langit dan di bumi kecuali akan datang menghadap kepada ar-Rahman selaku seorang hamba yang dimiliki oleh-Nya sehingga dia pasti datang dalam keadaan patuh dan tunduk, suka atau tidak suka. Sesungguhnya demi keagungan Allah, Dia Yang Maha Esa itu telah mengetahui keadaan, kebutuhan, dan keinginan mereka dengan rinci, baik sebelum hadir di pentas jagad raya dan telah menghitung mereka dengan hitungan yang teliti sehingga semua Dia penuhi kebutuhannya. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat sendiri-sendiri dalam keadaan amat butuh, tanpa anak, harta dan pembantu, bahkan tanpa busana yang menutupi aurat mereka”  (QS Maryam [19] : 93-95).

“Emosi mnusia tertua dan terkuat adalah rasa takut, dan jenis ketakutan tertua dan terkuat adalah ketakutan akan hal yang tidak diketahui”, demikian kata HP Lovecraft (Penulis horor, fantasi dan fiksi ilmiah, 1870 – 1937). Kematian! Adalah satu hal yang paling ditakutkan oleh manusia. Sebegitu takutnya manusia pada kematian, bahkan hanya sekedar membicarakannya pun mereka enggan. Padahal, di dunia ini, satu-satunya hal yang pasti terjadi pada diri kita adalah kematian. Jika Izrail sudah diperintahkan Allah untuk mencabut nyawa seseorang, maka ia pasti akan menjalankan tugasnya (El-Shafa, 2010).

Menurut Hidayat (2008), secara psikologis, jika ditelusuri lebih dalam lagi karena sesungguhnya kita semua menolak kematian. Sakit dan celaka adalah jembatan ke arah kematian sehingga setiap orang selalu dibayangi rasa takut terhadap semua situasi yang tidak nyaman. Rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada berbagai wilayah aktivitas manusia.

Lebih jauh lagi, rasa takut itu kemudian melahirkan anak-pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri. Esensinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidakberdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup.

Siapa pun orangnya, entah presiden, jenderal , dokter, ilmuwan, bintang film, dan selebritas tiba-tiba tidak berdaya ketika maut menyentuhnya. Semua itu disaksikan langsung oleh kita setiap hari sehingga rasa takut akan kematian dan kehilangan itu semakin kuat tertanam dalam jiwa, dan semakin kuat pula mekanisme psikologis untuk menolaknya. “Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS Al-Jumu’ah [62] : 8).

Tetapi yang menarik, justru karena adanya kesadaran akan mati ini banyak karya dan peradaban besar manusia tercipta. Banyak orang berbuat baik, banyak orang menulis buku, banyak orang melakukan inovasi keilmuan, banyak gedung-gedung megah dan indah dibangun semuanya didorong oleh keinginan agar dirinya abadi, untuk mengalahkan kematian yang tak mungkin dikalahkan.

Menurut M Quraish Shihab (2018), dalam bukunya” Kematian Adalah Nikmat”,

Kematian merupakan satu keniscayaan yang tidak satu yang bernyawa pun dapat luput dari cengkeramannya. Namun, keniscayaan itu mestinya tidak harus menjadikan kita pesimis, apalagi bila kita yakin bahwa kematian mengantar kita “kembali” kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun.

Allah menjanjikan dengan janji yang pasti kepada orang-orang Mukmin yang mantap imannya, baik lelaki maupun perempuan, bahwa mereka semua akan dianugerahi surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka akan menikmatinya secara terus-menerus dan kekal mereka di dalamnya. Ada juga tempat-tempat yang bagus yakni istana-istana hunian di surga ‘Adn. Di samping itu, mereka juga mendapat ridha Ilahi, dan keridhaan Allah walau sedikit lebih besar dan lebih agung daripada surga dan tempat-tempat yang bagus itu; itu adalah keberuntungan yang besar, tiada keberuntungan yang melebihinya” (QS At-Taubah [9] : 72).

Ketika berbicara hidup Tuhan menggunakan kosa kata Aku, hanya Tuhanlah yang mampu memberi hidup. Ketika berbicara tentang kematian, Tuhan menggunakan kosa kata Kami, artinya Tuhan melibatkan manusia dalam panjang-pendek umurnya. Maka Tuhan melarang manusia melakukan tindakan membunuh ataupun bunuh diri karena menyebabkan kematian sebelum saatnya.

Upaya manusia agar tidak terjadi kematian massal, kematian sebelum saatnya akibat Pandemi Covid-19,  adalah diadakannya vaksinasi massal. Hal ini dilakukan agar tercapai herd immunity (kekebalan komunal). Upaya vaksinasi massal terhambat karena adanya herd stupidity (“kebebalan” komunal) akibat ulah para Homo mandex (manusia pembohong) yang sengaja menyebarkan kabar bohong tentang vaksin. Manusia pembohong jadul (jaman dulu) sengaja membunyikan kebenaran. Manusia pembohong jaman now tidak peduli kebenaran.

Semakin banyak yang dapat dibohongi semakin bangga. Jadi lebih bejat daripada manusia pembohong masa lalu. Sebenarnya mereka adalah para pembunuh massal meskipun tangan mereka tidak berlumuran darah. Sebaliknya, orang yang bersikukuh tidak mau divaksin dengan berbagai alasan yang tidak ilmiah, tidak berlandaskan ilmu pengetahuan,  tanpa mereka sadari melakukan tindakan bunuh diri. Jika kemudian mereka mati akibat Covid-19 apakah kematiannya termasuk beutiful death?

Ada ungkapan yang cukup terkenal “The man behind the gun”. (Senjata) atau semua tergantung dari pelaku atau penggunanya. Ibarat senjata, TWK akan digunakan tergantung “isi kepala” penggunanya. Bisa untuk bunuh diri, membunuh orang atau untuk mengingatkan dengan cara menakut-nakuti orang agar tidak berbuat kejahatan. Bagi Pimpinan KPK, TWK  adalah alat untuk membunuh kebaikan, membuat stigma dan membangun opini pegawai KPK yang dipecat adalah Taliban  dan Salib-an.

Sebaliknya, menurut Kapolri  yang open mind dan tidak tunnel vision, berpendapat mereka itu pegawai yang berintegritas, profesional, tidak korupsi, tidak melanggar etik, bukan musuh negara RI yang berdasarkan Pancasila. Mereka telah menyumbangkan pikiran, tenaga bahkan matanya sampai cacat untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan RI agar tidak digerogoti para koruptor, agar pelan-pelan tidak runtuh dan ambruk.

Bung Karno berpesan : “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Jasmerah). Kongsi dagang Belanda yang terbesar di dunia pada jaman itu VOC, hancur karena para pegawai korupsi berjamaah. Dua kerajaan besar di Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit juga sami mawon. Barangkali para Pimpinan KPK sedang mengalami amnesia sejarah?

Presiden AS, Joe Biden,  dalam video yang di unggah akun Youtube, surat kabar AS The Hill, Selasa, 21/7/2020 yang notabene beliau orang Katholik, telah mengutip hadis Nabi Muhammad Saw. : “ Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah”. Ironinya, Presiden RI yang beragama Islam terkesan melakukan politik pembiaran perilaku Pimpinan KPK melakukan amr munkar nahi ma’ruf terhadap para pegawai KPK.

Bahkan terkesan tidak peduli temuan maladministrasi Ombudsman dan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM. Adalah hal yang wajar jika masyarakat berpendapat Presiden lemah imannya. Iman diterjemahkan dengan percaya. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Maka orang yang beriman memancarkan cahaya keimanan, memancarkan kedamaian dan keteduhan. Kami rakyat kecil yang jauh dari Presiden merasakan gerah, tidak merasa nyaman dengan ucapan dan perilaku Presiden.

Langkah Kapolri untuk merekut para Pegawai KPK (yang tentunya langkah ini  telah didiskusikan juga dengan Presiden) yang diberhentikan untuk menjadi ASN di lingkungan Kepolisian itu baik. Tetapi yang terbaik adalah bila Presiden mengangkat mereka menjadi ASN di KPK. Kami akan angkat jempol Presiden hebat kuat imannya! Dalam bahasa kesehatan, Presiden berhasil meningkatkan fungsi otaknya dari sekedar otak normal menjadi otak sehat. Andaikata hal itu terjadi, sebagai pimpinan Presiden telah do the right thing, melakukan hal yang benar! Semoga.

Cepat atau lambat, pandemi Covid-19 akan berlalu. Namun, ini bukan pandemi pertama, terparah, atau terakhir bagi dunia. Pada waktunya akan tiba pandemi lain silih berganti. Mampukah kita memetik hikmah terbaik dari pandemi mutakhir ini? Mengakui kekurangan sendiri dan memperbaiki diri agar lebih siap menghadapi pandemi berikutnya? Pandemi membuat gamblang yang sebelumnya samar atau sengaja diabaikan masyarakat.

Pandemi juga membuka peluang bagi perubahan. Namun, tak ada jaminan perubahan itu ke arah yang lebih baik. Tidak ada jaminan kita menjadi lebih bijak. Bila kita mau dan mampu memetik hikmah dari pandemi ini dan bergegas memperbaiki kondisi masyarakat untuk generasi mendatang, derita korban pandemi tidak sepenuhnya sia-sia.

Berbuat salah itu manusiawi. Mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Sudah tahu itu perbuatan salah lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan. Setan adalah kata sifat bukan kata benda, maka setan dapat berwujud jin atau manusia. Setan menggoda manusia dari arah depan, belakang, kanan  dan kiri. Menggoda dengan cara memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji!

Akhirnya, “Wal-Ashr, sesungguhnya manusia di dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran”  (QS Al-‘Ashr [103] 1 – 3).

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak & Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul serta Dosen FK-UAD

Exit mobile version