CANBERRA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Ranting Muhammadiyah Canberra Australia bekerjasama dengan Penerbit Suara Muhammadiyah, Jaringan Islam Berkemajuan, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, mengadakan kajian ilmiah dan diskusi buku Muhammadiyah dan Orang-Orang Bersahaja (2021) karya Hajriyanto Y Thohari, 2 Oktober 2021.
Drs Hajriyanto Y. Thohari MA, Ketua PP Muhammadiyah/Dubes RI di Lebanon menyatakan bahwa kumpulan catatan etnografis di buku ini ditulis dengan gaya bahasa ringan dan tidak berpretensi untuk disebut sebagai tulisan yang memenuhi kaidah metode ilmiah. Dalam buku ini, Hajriyanto menyoroti beberapa isu tentang karakter orang-orang Muhammadiyah.
Hajriyanto misalnya menggambarkan tentang pola perkaderan di Muhammadiyah yang melibatkan jejaring keluarga. Perkaderan keluarga dinilai sebagai pola perkaderan yang paling berpengaruh di Muhammadiyah. Dalam buku ini, Hajriyanto secara khusus menjabarkan tentang pola perkaderan Bani Hasyim dan Bani Hisyam. Salah satu karakter menonjol dalam keluarga-keluarga Muhammadiyah adalah sikap kebersahajaan.
“Bersahaja itu prasojo. Bersahaja tidak hanya dalam gaya hidup, tetapi juga dalam cara berpikir. Cara berpikir Muhammadiyah itu bersahaja, lugas,” ujarnya. Di antara tanda bersahaja dalam beragama, kata Hajriyanto, semua hal dicari ayatnya, tidak ditambah-tambahi. Pemahamannya atas ayat dilakukan secara bersahaja, dengan tajdid dan tajrid. Perilaku orang Muhammadiyah yang bersahaja itu tidak sok semuci-muci, tidak kearab-araban dan kebarat-baratan.
Dr Ma’mun Murod Al Barbasy Msi, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengapresiasi buku ini sebagai buku yang penting untuk dibaca oleh warga Muhammadiyah dan masyarakat umum yang ingin memahami kehidupan orang Muhammadiyah. “Buku ini wajib dibaca oleh generasi muda Muhammadiyah,” tuturnya. “Kelebihan dari tulisan-tulisan mas Hajriyanto itu tulisannya renyah.”
Buku ini memberi gambaran tentang bagaimana tokoh-tokoh Muhammadiyah memberikan banyak teladan tentang cara hidup bersahaja, meskipun punya pengaruh besar. Buku ini misalnya menjelaskan kiprah orang Muhammadiyah di sekitar peristiwa kemerdekaan. Banyak orang Muhammadiyah yang terlibat sebagai tokoh kunci, seperti diperankan Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Moh Hasan, Soekarno, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir.
Mengutip pandangan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar, Makmun sepakat bahwa “orang Muhammadiyah itu sederhana, bersahaja, kerja keras, hemat, suka menabung, filantropis, dermawan, dan zuhud.”
Makmun Murod melihat bahwa di setiap level kepemimpinan Muhammadiyah, dari pusat hingga daerah, banyak sekali tokoh Muhammadiyah yang tampilannya sangat sederhana. “Bukan karena mereka tidak berpunya, tetapi karena prinsip hidup yang dianut,” katanya. Mereka bersahaja dalam cara hidup.
Makmun Murod juga menyebut kesahajaan orang Muhammadiyah dalam bidang politik, seperti telah dicontohkan misalnya oleh Kasman Singodimedjo. Partai politik yang melibatkan orang-orang Muhammadiyah identik dengan kebersahajaan, seperti dalam partai Masyumi. “Hal itu mencerminkan karakter politik Muhammadiyah,” tukasnya.
Dr Zuly Qodir Msi, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyatakan bahwa buku ini telah memenuhi standar ilmiah. Sebagai sebuah catatan etnografis, “catatan ini sangat ilmiah,” ujarnya. Meskipun buku ini ditulis oleh orang dalam Muhammadiyah, tetapi penulisnya menjabarkan data secara objektif.
Menurut Zuly, sikap bersahaja tokoh-tokoh Muhammadiyah ini perlu diketahui oleh warga Muhammadiyah supaya tidak mudah kagetan. Ia melihat gejala orang Muhammadiyah belakangan ini yang mudah kagetan dengan sesuatu yang dianggap baru atau penyimpangan. “Ada kekagetan yang datang dari luar yang lalu diadopsi,” ujarnya.
Jika kurang pengetahuan dan wawasan, kata Zuly, maka akan mudah kagetan dengan realitas dunia yang telah berubah. Misalnya di zaman sekarang, ada tokoh-tokoh Muhammadiyah yang standar hidupnya lebih makmur. Itu bukan berarti tidak ikhlas. Menurutnya, makna bersyukur dan ikhlas bukan berarti gajinya harus kecil.
Senada itu, pembina PRIM Canberra, M. Imran Hanafi menyatakan bahwa kesahajaan perlu dimaknai ulang di zaman sekarang. Bukan berarti harus mengikuti cara hidup Pak AR secara literal. Orang Muhammadiyah perlu menjadi pengusaha-pengusaha yang kaya raya. Bersahaja juga bukan berarti orang Muhammadiyah harus menghindar dari politik atau tidak mau menjadi pejabat negara. (ribas)