Indonesia dan Agenda Perdamaian Global
Bulan Mei menjadi bulan istimewa bagi Indonesia dalam sejarah panjang kiprahnya berkontribusi terhadap perdamaian global. Indonesia yang beberapa waktu lalu terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan di Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), selama sebulan penuh, sepanjang Mei Indonesia telah memimpin sejumlah agenda penting di New York. Salah satu pembahasan yang dipilih oleh Indonesia adalah seputar Operasi Jaga Damai atau Peacekeeping Operation pada 7 Mei lalu. Pembahasan dalam debat terbuka bertema “Investing in Peace, Improving Safety and Performance of UN Peacekeeping” juga akan menjadi acuan dalam keanggotaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap di DK PBB selama dua tahun ke depan.
Selain membahas seputar operasi jaga damai, Indonesia juga memimpin debat terbuka bertajuk perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata yang digelar pada 23 Mei. Diskusi mengenai isu pendudukan di Palestina juga menjadi salah satu pembahasan informal yang diusung dalam forum Arria Formula pada 6 Mei.
Indonesia merupakan satu dari 8 negara penyumbang pasukan jaga damai terbanyak di dunia. Dari 124 penyumbang pasukan jaga damai, Indonesia menduduki peringkat ke-8. Hal ini juga yang menjadi landasan mengapa Indonesia mengusung tema operasi jaga damai dalam periode presidensinya. Indonesia percaya bahwa persiapan yang matang dengan peningkatan kapasitas dalam misi jaga damai akan meningkatkan efektivitas serta performa pasukan jaga damai di bebagai misi perdamaian. Dalam menjaga perdamaian, pasukan jaga damai menghadapi sejumlah tantangan termasuk tantangan keamanan dan keselamatan. Kompleksitas situasi konflik yang dihadapi di lapangan bukan hanya menjadi tantangan bagi pasukan jaga damai dalam melindungi masyarakat sipil namun juga menjaga keselamatan personilnya.
Dalam perhatiannya terhadap pentingnya peningkatan kapasitas bagi pasukan jaga damai, Indonesia juga menggarisbawahi bagaimana pasukan jaga damai yang berasal dari negara yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal pelatihan dan peningkatan kapasitas. Saat ini, dari 8 kontributor terbesar pasukan jaga damai didominasi oleh negara-negara berembang seperti Ethiopia di urutan pertama, Rwanda, Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Mesir, dan Indonesia. Berdasarkan data yang disajikan oleh PBB, hingga 2019 Indonesia sendiri berhasil menurunkan pasukan sebanyak 2,805 yang terdiri dari 107 pasukan jaga damai perempuan dan 2,703 laki-laki. Saat ini pasukan jaga damai Indonesia telah menjalankan 9 misi di antaranya Lebanon (UNFIL), Kongo (MONUSCO), Afrika Tengah (MINUSCA), Darfur (UNAMID), Sudan Selatan (UNMISS), Mali (MINUSMA), Sahara Barat (MINURSO), dan Abyei (UNISFA).
Indonesia dalam Operasi Jaga Damai
Indonesia telah berkontribusi mengirimkan pasukan perdamaian sebagai Troop Contributing Country
(TCC) sejak awal kemerdekaan. Pasukan jaga damai Indonesia yang pertama diturunkan dikenal dengan Kontingen Garuda atau Konga I. Sejumlah 559 pasukan Konga I diturunkan ke Mesir pada tahun 1957 dalam misi United Nations Emergency Force (UNEF) untuk perdamaian di terusan Suez. Periode ini mengawali partisipasi aktif Indonesia baik di dalam berbagai forum PBB serta misi perdamaian di berbagai belahan dunia.
Antara tahun 1957 dan 2012 Indonesia telah berhasil mengirimkan kurang lebih 25,874 pasukan yang terdiri atas pasukan kontingen, observer, staf, juga polisi ke berbagai misi jaga damai maupun non-jaga damai PBB. Di tahun 2012, baik personil militer ataupun sipil Indonesia berkontribusi dalam menjaga perdamaian di negara-negara seperti Liberia, Lebanon, Haiti, Sudan Selatan, Darfur, dan Filipina Selatan. Antara 1959 dan 1965, di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin milik Sukarno, Indonesia mengirimkan 4500 an terdiri atas 1,074 dan 3,457 personil ke Kongo. Penerjunan ini menjadi yang terbesar sepanjang Indonesia terlibat dalam misi jaga damai.
Selama dua dekade awal keterlibatannya, Indonesia hanya mengirimkan pasukan yang berfokus hanya kepada misi jaga damai saja. Namun sejak tahun 1980 Indonesia memperlebar keterlibatannya dengan mengirimkan tim observer polisi, polisi sipil, dan juga teknisi. Sejak tahun ini juga Indonesia menekankan kepada peningkatan kapasitas baik nasional maupun regional dalam kontribusi terhadap misi kemanusiaan dan perdamaian PBB.
Perempuan dalam misi perdamaian
Pembahasan keterlibatan perempuan dalam misi jaga damai memang bukan menjadi pokok bahasan Indonesia dalam periode presidensinya di DK PBB bulan Mei ini. Akan tetapi, semenjak terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap dalam DK PBB tahun lalu, Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan jumlah pasukan jaga damai perempuan. Menurut Retno partisipasi perempuan dalam proses perdamaian mampu menciptakan perdamaian yang lebih tangguh serta berkelanjutan. Bahkan dalam debat terbuka operasi jaga damai, Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres juga turut menyuarakan pentingnya peran perempuan di dalam misi jaga damai. Selama ini, perempuan masih menemui sejumlah hambatan untuk mampu terlibat aktif di dalam misi jaga damai.
Dalam diskusi bulan Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Angganararas Indriyosanti (Peneliti Klaster Peace and Conflict Studies Institute of International Studies) menjelaskan bahwa jumlah perempuan masih menempati kurang lebih 1% dari keseluruhan pasukan perdamaian yang dikirimkan oleh Indonesia, atau kurang lebih hanya 1 perempuan di setiap 100 personil. Sejak tahun 2000 peningkatan jumlah perempuan dalam misi perdamaian kurang lebih hanya 3,4% total pasukan jaga damai dunia. Indonesia sendiri mulai mengirimkan pasukan jaga damai perempuan sejak tahun 2008.
Menurutnya sejumlah penyebab yang dinilai menjadi hambatan bagi perempuan untuk terlibat lebih jauh sebagai pasukan perdamaian internasional di antaranya adalah pertama, keberadaan perempuan masih dianggap tidak relevan dalam misi jaga damai. Perkara kekerasan, hirarki, kekuatan, dan senjata dalam operasi jaga damai dianggap merupakan bagian dari sektor maskulin yang lekat dengan laki-laki. Kedua, permasalahan pemilihan personil perempuan untuk kontingen garuda belum memberikan porsi serta kesempatan yang cukup. Ketiga, personil perempuan yang harus mendapatkan konsen dari suami ketika hendak menjadi kontingen bagian dari garuda. Keempat, perempuan tidak diturunkan ke seluruh misi penerjunan kontingen garuda. Pasukan perempuan hanya diturunkan ke misi-misi yang aman. Kelima, kemampuan berbahasa inggris baik perempuan ataupun personil Indonesia lainnya.
Agenda Ke Depan
Meskipun pasukan operasi jaga damai yang dikirimkan ke berbagai negara dikenal dengan pendekatan militeristik, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam tulisannya di The Jakarta Post menekankan pentingnya kemampuan komunikasi serta trust building oleh personil jaga damai sebagai modal dalam melakukan community engagement. Ini menjadi salah satu agenda yang ditekankan oleh Indonesia khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pasukan jaga damai.
Retno juga menekankan bagaimana keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian dan misi jaga damai harus ditingkatkan. Dirinya menggarisbawahi bagaimana skema pelatihan khusus mampu membantu personil jaga damai perempuan memaksimalkan potensinya. Selain itu, persiapan yang matang untuk pra-penerjunan pasukan harus dipertimbangkan. Pengetahuan akan kondisi serta konteks kebutuhan lokal penting diketahui oleh pasukan jaga damai.
Terakhir, untuk benar-benar berkomitmen terhadap peningkatan kapasitas dan pelatihan, dibutuhkan skema partnership. Seperti skema joint training antara negara-negara juga Triangular Partnership Project yang menurut Retno akan dilakukan pada 2020-2021. (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019