Menapaktilasi Jejak Islam di Alger La Blanche
Oleh: Azhar Rasyid
Sejarah Islam di Afrika Utara umumnya lebih banyak dikaitkan dengan sejarah Islam di Mesir atau Maroko. Kedua negara ini memang dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan memiliki sejarah Islam yang kaya. Sebenarnya ada satu tempat lagi di mana Islam memiliki pijakan yang kokoh. Tempat itu adalah Aljazair, dengan Algiers sebagai ibukotanya.
Aljazair kurang dikenal dibandingkan dengan Mesir atau Maroko, padahal negara ini adalah negara yang wilayahnya paling luas di Afrika. Wilayahnya terbentang dari sebelah utara yang berbatasan langsung dengan Laut Mediterania hingga ke arah selatan di gurun Sahara. Di sebelah utara iklimnya moderat sementara di bagian selatan sangat panas.
Algiers adalah kota terpenting di Aljazair. Banyak orang menjuluki kota ini sebagai Alger la Blanche (Algiers Kota Putih), sebuah istilah yang mengacu pada banyaknya bangunan berwarna putih di kota ini, yang membuatnya sangat indah bila dilihat dari tengah birunya air laut Mediterania. Dikenal juga sebagai Alger dalam bahasa Perancis dan Al-Jazā’ir dalam bahasa Arab, kota ini didirikan oleh bangsa Fenisia (Phoenicia). Mereka memberi nama Ikosim pada kota baru ini. Bangsa Romawi kemudian menjadi penguasa kota ini sejak tahun 145 M dan menamainya dengan Icosium. Selama berabad-abad kemudian, Algiers dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan antara Afrika Utara dan Eropa selatan, khususnya kawasan Eropa Mediterania.
Di beberapa abad pertama Masehi, penduduk Algiers beragama Kristen. Islam masuk ke kota ini pada abad ke-7 M dan secara perlahan-lahan menjadi agama yang paling banyak dipeluk masyarakat Algiers, khususnya di antara salah satu bagian masyarakat asli Algiers, Berber, yang masuk Islam, Banu Mazghanna. Orang-orang dari Banu Mazghanna inilah yang kemudian membangun pemukiman tetap di sebuah teluk di pantai utara Afrika, teluk yang kelak menjadi pelabuhan Algiers.
Bangsa Arab membantu mengembangkan Algiers terutama sejak abad ke-10 M. Bahkan, nama Algiers sendiri berasal dari orang Arab, yang menamai kota ini sebagai Al-Jazā’ir. Artinya: “pulau-pulau”. Ini merujuk pada gugusan pulau kecil di barat laut Teluk Algiers.
Kota Algiers menjadi sebuah kota Muslim sejak abad ke-10 itu, dengan Buluggīn b. Zīn sebagai pendiri utamanya. Kota ini tergolong kota pantai kecil hingga beberapa abad kemudian. Sejarah Islam di Algiers berubah dengan cepat sejak abad ke-15 dan 16. Awalnya kota ini menjadi tempat perlindungan bagi kaum Muslim yang melarikan diri dari reconquista (penaklukan kembali) di Andalusia (Spanyol) oleh kalangan Kristen. Sebagian dari mereka yang terusir ini melakukan berbagai kegiatan di Laut Mediterania yang memisahkan Spanyol dan Aljazair. Kapal-kapal dagang Spanyol merasa terganggu, dan menganggapnya sebagai aksi bajak laut. Spanyol meresponnya dengan menerapkan pajak pada Algiers. Bahkan, pulau-pulau kecil di lepas pantai Algiers pun diduduki Spanyol.
Penguasa Algiers meminta bantuan petualang maritim Turki, ‘Aruj dan Khayr al Din, yang kemudian beralih menjadi penguasa Algiers. Khayr al Din, yang lebih dikenal dengan nama julukannya di Eropa, Barbarossa (dari bahasa Italia, yang berarti ‘Janggut Merah’), lalu meminta bantuan kepada sultan Turki Usmani untuk mengelola Algiers. Khayr al Din-lah yang membawa Algiers menjadi bagian dari Turki Usmani serta mengusir Spanyol dari teritori di sekitar Algiers. Algiers pun berkembang menjadi salah satu kota penting di kawasan. Pembangunan kota juga ditingkatkan, salah satunya dengan pembangunan kawasan Kasbah, salah satu bagian kota lama Algiers yang masih bertahan hingga kini.
Kasbah dibangun sejak tahun 1529 M. Kawasan ini diatur untuk berfungsi sebagai sebuah pusat kegiatan sosial-politik warga kota. Kompleks bagian luar terdiri atas fasilitas politik dan militer serta pemukiman penduduk. Di tengah-tengahnya terdapat pusat pemerintahan, istana pangeran dan barak militer.
Abad ke-16 dan 17 menjadi masa-masa emas Algiers. Kota ini mendapat reputasi yang terhormat baik di antara sesama wilayah Arab Maghrib (negara-negara Arab di Afrika Utara), di kawasan Mediterania (yang menghubungkan Eropa dan Afrika) dan di dunia Islam.
Turki Usmani sangat berperan dalam memajukan kehidupan masyarakat Algiers serta membawa Algiers ke peta dunia. Guru besar sejarah Timur Tengah terkemuka, Ira M. Lapidus, dalam karya monumentalnya, A History of Islamic Societies, menyebut bahwa Turki Usmani-lah yang pertama kali membangun sebuah negara yang stabil di Aljazair. Ini, terang Lapidus, bisa dilihat dari hadirnya militer yang siap tempur, administrator terlatih, serta fondasi kuat birokrasi keagamaan di sana.
Gaya hidup warga Algiers mencerminkan pengaruh Islam global di masanya, khususnya dari Turki Usmani dan Anatolia. Ini tampak dari jenis pakaian, seni hingga arsitektur yang berkembang di Algiers masa itu. Berbagai masjid dan monumen di Algiers sangat kental nuansa Turki Usmaninya. Para pengamat percaya bahwa selain karena elemen Islam, penerimaan warga Algiers terhadap Turki Usmani muncul lantaran sikap penguasa Turki Usmani yang sangat bersahabat dengan suku-suku lokal yang ada di sana.
Nuansa Islam sangat kental di Kasbah, kota lamanya Algiers. Di sini terdapat masjid tertua di Algier, Djama’a al-Kebir, yang telah berdiri sejak tahun 1097 atau abad ke-11 M. Selain Djama’a al-Kebir, ada masjid lain yang tak kalah bersejarahnya, Masjid Ketchaoua. Masjid ini dibangun oleh Turki Usmani pada tahun 1612. Sekitar dua abad kemudian, tepatnya tahun 1845, masjid ini dialihfungsikan oleh Perancis yang berkuasa di Algiers menjadi sebuah gereja bernama Katedral St. Philippe. Barulah di tahun 1962, saat Aljazair merdeka dari Perancis, gereja ini dikembalikan fungsinya menjadi masjid. Kini, Kasbah merupakan salah satu warisan dunia yang diakui UNESCO.
Penjajahan Perancis atas Aljazair sejak tahun 1830 tidak hanya menghilangkan kemerdekaan warga Algiers, tetapi juga mengurangi nuansa keislaman di ruang publik Algiers. Kehadiran Perancis memaksa orang-orang penting Algiers keturunan Turki serta sejumlah Muslim untuk keluar dari kota ini. Fasilitas publik seperti pasar dan tempat ibadah, dalam hal ini masjid, digusur demi pembangunan proyek bangunan pemerintahan kolonial Perancis. Sebagaimana diutarakan di atas, berakhirnya penjajahan Perancis tahun 1962 menjadi kesempatan bagi masyarakat Algiers untuk kembali menata ulang kotanya, termasuk dengan menonjolkan lagi identitas Islam yang kuat di tengah kota ini, yang pernah menjadi ciri khasnya selama berabad-abad sebelum kolonialisme Perancis.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2019