Panggilan Kemajuan: Rekontruksi Baru Minangkabau Versi Taufik Abdullah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Penerbit Suara Muhammadiyah bersama JIB Post (Jaringan Intelektual Berkemajuan) berkolaborasi dengan Jaringan Intelektual Muhammadiyah mengadakan bedah buku yang berjudul “Panggilan Kemajuan: Sejarah Sosial Minangkabau 1900-1927” karya Taufik Abdullah secara virtual pada Jumat (30/9/21).

Buku tersebut berawal dari hasil tesis Taufik Abdullah berjudul “Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies in Social Development” yang diselesaikan pada 1967 dan juga hasil disertasinya yang berjudul “Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927-1933” yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pada 2018.

Pada diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Amiruddin Al Rahab Komisiner Komnas HAM, Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan Guru Besar Departemen Sejarah Universitas Andalas, dan Anna Mariana M.A pengelola Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS).

Kata “kemajuan” dalam buku ini sendiri merujuk tulisan dari Taufik Abdulah yang menggambarkan kesadaran pemikiran intelektual di Bumiputra pada masa itu. dari seruan-seruan yang tertuliskan dalam satu media berkala berbahasa Melayu terbitan dari Belanda bernama Bintang Hindia seorang editor Bintang Hindia bernama Abdul Rivai seorang dokter-jurnalis Minang.

Amiruddin Al Rahab selaku tuan rumah pada dikusi menjelaskan bahwa pada buku tersebut Taufik Abdulah menggambarkan kalau Minagkabau atau disebut  pos-pos secara adminisratif  oleh Belanda  yang sudah ditetapkan menjadi Provinsi Sumatra Utara yang mengalami perubahan dalam waktu yang cukup lama “Ini pak taufik membawa kita bertamasya ke masa lalu dengan menggugah pikiran ketika sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia,”.

Ia  mengungakan bahwa ketika belum diterjemahkan tidak banyak orang membaca, sehingga ketika sudah diterjemahkan menurutnya konteksnya menjadi berubah tentang isi buku tersebut “Tentu banyak orang di Sumatra Barat dan mungkin orang indonesia membayangkan Sumatra Barat atau Minang itu sesuatu yang homogen sejak dulu, pada buku inilah dijelaskan, bahwa Minag tidak homogen tetapi memiliki heterogenitas internalnya sendiri,”.

Dalam heterogenitasnya inilah ketika perubahan abad ke-20 datang yang di istilahkan “Panggilan Kemajuan” yang datang sebab situasi yang menguntungkan, namun perubahan dari sisi global. Perubahan di Eropa mengubah wilayah jajahannya termasuk hindia-belanda.

Setelah membaca buku tersebut Amirudin memahami mengapa para penulis-penulis Sumatra Barat pada awal abad 20 termasuk jenis-jenis novel setlah 1950 semua berbicara mengenai perubahan tersebut, dan hampir semuanya mengkritik tradisi. Ia melihat dinamika yang terjadi pada kaum muda, adat, Islam, dan lainnya

Amirudin diakhir pemaparannya berkaca dari buku yang pernah ia baca tentang Sumatra bahwa “ketika perubahan abad ke-20 itu gejolak mulai, orang mengatakan bangkitnya nasionalisme muncul, sebenarnya Sumatra masih kebingungan mengenai idenitas yang dipakainya termasuk Sumatra Barat,”. Sebab ada presepsi orang Sumatra dalam konteks ini Minang merasa lebih unggul sehingga semua berusaha melampaui identitas yang bersifat Sumatra.

“Dari situlah pembayangan tentang Indonesia menjadi lebih kuat dan perubahan yang dibawa oleh kaum muda menjadi pilar dari Indonesia yang tidak dibentuk , sebab kesulitan dalam menghadapi perubahan baru membangun identitas yng bersifat Sumatra hal inilah sesuai dengan buku Tufik Abdulah dalam upaya membangun identitas setelah abad ke-20 masuk,” jelas Amirudin.

Gusti Asnan beranggapan bahwa tidak lengkap rasanya tanpa membaca buku tersebut untuk membahas Sumatra Barat. Merekonstruksi ulang minangkabau pasca perang paderi dengan mengungkap hal baru yaitu topik asal usul gerakan modernis.

Ia mengatakan ada dua novelty dalam buku Taufik Abdulah pertama buku tersebut merekontruksi sejarah lama dengan menggunakan persepektif baru, kedua  mencoba menghadirkan pembaharuan baru yang belum pernah di tulis oleh sejarawan atau ilmuan sosial lain.

Menurutnya buku tersebut sebagai penggugat teori mengenai masuknya Islam di Minangkabau dari penulis sebelumnya dan mengenai pandangan perang Paderi sebagai perang kaum adat dengan kaum Paderi atau kelompok ulama, “Hal ini terbukti dalam buku pak Taufik bahwa banyak kaum penghulu atau kaum adat yang juga mendukung Paderi,”tutur Gusti.

“Semua aspek sejarah Minagkabau pada kurun waktu 1900-1927 merupakan rekontruksi baru yang belum pernah di tulis,”tambahnya.

Gusti sedikit mengeritik beberapa hal mengenai penerjemahan: semisal menerjemahkan “village” cenderung sebagai kampung menurutnya tidak tepat, yang tepat yakni Nagari. juga menerjemahkan “negara kepangeranan”, tepatnya kerajaan kecil di rantau. Termasuk pepatah “pelepah pisang” ritual rantau, bukan pelepah palem. Namun hal ini tidak mengurangi arti dan makna secara keseluruhan.

Ana Mariana sebelum membahas buku tersebut ia memiliki beberapa cacatan mengenai buku tersebut, menurutnya buku ini merupakan era dimana karya-karya pada waktu itu memiliki ciri Indonesia sentris dengan menggunakan pendekatan sosial pada masa keemasanya “ketika saya membaca langsung itu saya mendapat kesan bahwa ketika berbicara pendekatan ilmu sosial dalam sejarah itu bisa kita rasakan sesuatu yang hidup, karena dalam pendekatan ilmu sosial bisa menjadi nyata dan bisa digunakan dalam kajian sejarah,”.

Ia mengatakan bahwa di dalam buku tersebut, Taufik Abdulnya ingin menyampaikan adanya perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau itu diawali setelah adanya perang padri yang sudah selasi namun tidak berhenti inilah alasanya adanya perubahan-perubahan pada pada awal abad 20 bisa terjadi “terdapat unsur ekologi yang mempengaruhi ketika disebutkanya kata “dark” dan “rantau” secara ekologi yang harus berpindah nagari,”.

Kemudian ketika Ana membaca pada bab berikutnya penulis menjelaskan secara menarik perihal adanya golngan-golongan tua kemudia golongan muda, ia menuturkan “secara egologi mereka berpindah tempat itu tadi, termasuk kemudian adanya respon, bagaimana kalamgan agama yang beradaptasi dengan pandangan modern,”.

Dari dua ekologi itulah daerah pesisir yang menurut Ana lebih cepat menerima perubahan. Ditambah adanya perkotaan atau ruang kota mulai muncul mempercepat laju pertumbuhan pembaratan, pada akhirnya munculnya ide-ide moderitas lebih pada bagaimana menciptakan manusia-manusia baru.

“Dari buku inilah kita dapatkan detail-detail cerita, termasuk membawa ide-ide mengenai moderisme dari beberbagai kalangan,” ujarnya

Dan adanya kalangan komunis, islam, dan nasionalisme di buku tersebut digambarkan secara historis ataupun kronolgi yang saling berdinamika mengkuti perkembangan, dan munculnya Islam komunis di Minangkabau akibat adanya Ibukota. Inilah yang dinamakan dinamika.

“Secara sumber kita bisa belajar dari buku ini tentang bagaiman seharusnya ketika ingin menulis sesuatu yang lengkap dan analitis yang memerlukan data yang bagus dan banyak,” hal ini Senada dengan pemaparan Gusti bahwa terdapat beberapa sumber dan data-data dan tidak sekedar analis.

Setelah membaca buku tersebut Ana berharap Tufik Abdullah menuliskan tentang adanya periode pergerakan perempuan “Inilah kekurangan dari buku tersebut, karena saya berkutat tentang histografi perempuan,”.(guf)

Exit mobile version