Perkaderan dalam Kacamata Intelektual Progresif

Perkaderan dalam Kacamata Intelektual Progresif

Oleh: Preli Yulianto

Kader merupakan subjek yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menebar dakwah amar mahruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Melalui kader organisasi tersebut, akan mampu mencapai tujuan yang mewujudkan kokohnya organisasi.

Maka, dari pada itu perlu dan harus secara berkesinambungan melaksanakan kaderisasi yang nantinya menghasilkan kader yang kokoh sebagai jantung organisasi guna kelangsungan regenerasi maupun suksesi kepemimpinan menjadikan organisasi seperti bangunan yang kokoh sebagimana yang tertangkup dalam Q.S. As-Saff ayat 4.

Petuah dari M. Abdul Halim Sani pernah berkata: “tindakan yang baik tak terorganisir akan mudah dikalahkan dengan kejahatan yang terorganisir”. Itu artinya dapat kita pahami ibarat pasukan perang yang hendak berperang memperjuangkan nilai kebenaran harus dalam barisan teratur.

Pasukan inti alias kader Muhammadiyah harus terorganisir seperti bangunan yang tersusun kokoh dalam kesatuan yang terpadu. Kader Muhammadiyah harus memiliki semangat juang tinggi dengan kesatuan yang utuh, jangan bercerai berai tetapi kokoh kuat dalam tujuan yang suci.

Perkaderan Muhammadiyah

Pentingnya perkaderan bagi Muhammadiyah yang termakna dalam pepatah-petitih khas Muhammadiyah yakni: “Sebelum patah telah tumbuh, sebelum hilang telah berganti”, kader adalah anak panah Muhammadiyah, yang siap dilepaskan ke berbagai arah sasaran”.

Kader merupakan pasukan inti yang harus siap di mana pun berada menghadapi dinamika zaman, mewarnai bukan terwarnai dalam segala tantangan. Tentu terbentuknya kader yang tangguh bukan sesuatu yang instan, bukan hanya terbentuk sistem tetapi dibutuhkan proses tahap demi tahap berupa kaderisasi. Kaderisasi merupakan proses dimana individu anggota organisasi ditempa agar menjadi kader yang militan.

Terbentuknya kader yang tangguh membutuhkan proses yang pelik menempah kader sehingga mampu beraktualisasi mencapai insan yang termasuk golongan umat terbaik menjadi cendekiawan harapan umat. Kehadiran kader senantiasa memicu adanya perubahan ke arah yang lebih baik, yang dapat dimaknakan sebagai transformasi sosial.

Sedangkan kader menurut Nano Wijaya dalam tajuk memoar Buku Tak Sekedar Merah (2013) dijelaskan bahwa Secara etimologis kata “kader” merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa perancis cadre yang artinya (a) datar, (b) pangkat bintara dalam militer yang menjelma sebagai kata cadre dalam bahasa inggris yahni individu sebagai bakal calon dari warga perkumpulan, organisasi yang dilatih untuk menduduki posisi yang penting. Sedangkan menurut istilah Kader dapat diartikan orang atau kumpulan orang yang dibina oleh suatu lembaga kepengurusan dalam sebuah organisasi yang berfungsi sebagai ‘pemihak’ dan atau membantu tugas dan fungsi pokok organisasi tersebut.

Sistem perkaderan Muhammadiyah merupakan sistem yang terprogram, terarah, dan berkesinambungan untuk mewujudkan terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan kompetensi untuk berperan di Persyarikatan, dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks global.

Gambar interkoneksi Sistem Perkaderan ortom dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah
Sumber: Buku Tak Sekedar Merah (2013)

Sistem perkaderan yang dimiliki masing-masing ortom Muhammadiyah yakni: Aisyiyah (1917), Pemuda Muhammadiyah (1932), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (1961), Hizbun Wathan (1918), Tapak Suci Putera Muhammadiyah (1960), Nasyiatul Aisyiyah (1931) merupakan bagian dari Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM)

Lahirnya Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) buah dari adopsi sistem yang merupakan penerjemahan perkaderan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. kala itu menempah kader-kader generasi awal Islam. Perkaderan tersebut, dilakukan Rasulullah SAW di rumah sahabat yang bernama Arqam Ibn Abil Arqam. Perkaderan oleh Rasulullah di rumah Arqam ini melahirkan generasi awal Islam seperti Abu Bakar, Ali Ibnu Thalib, Siti Khotijah dan yang lain.

Kemudian, lahirnya Sistem Perkaderan Muhammadiyah yang merupakan turunan perkaderan Rasulullah SAW yang pada awalnya diterjemahkan KH. Ahmad Dahlan dalam upaya membina Angkatan Muda untuk belajar mengembangkan misi gerakan Muhammadiyah ke dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.

Metode yang ditempuh kala itu, berupa membina secara langsung dengan membimbing dan sekaligus melibatkan dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan pada masa itu, melakukan perkaderan berupa pembinaan yang dilakukan dalam pengajian dari berbagai kalangan sesuai ajaran murni (tajdid) sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.

Berkembanglah Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) hingga saat ini yang mengalami perubahan demi perubahan merupakan penerjemahan dari perkaderan Rasulullah SAW yang selanjutnya, diterjemahkan dalam sistem perkaderan ortom-ortom Muhammadiyah yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPM.

Problematika Perkaderan Muhammadiyah

Perkaderan merupakan sistem yang menerapkan program dan kegiatan yang tidak akan pernah ada ujungnya alias tidak pernah kujung selesai (never ending job) sebab, kaderisasi akan terus berlangsung membentuk siklus fase kaderisasi yang akan berulang beproses secara idealnya.

Namun terkadang perkaderan mandek lantaran ada sistem yang diprogramkan tidak bejalan sesuai konseptual yang digagas. Siklus fase kaderisasi tersebut dimaksudkan bahwa perkaderan harus simultan menghasilkan kader yang potensial. Meskipun kader sudah menjelma sebagai kader paripurna namun harus tetap berproses dan menempah kader sebelumnya dengan gaya kaderisasi yang lain.

Perkaderan terkadang menghasilkan kader abortive lantaran penerapan sistem perkaderan yang sifatnya seremonial yang hanya event organizer bukan target oriented. Dan justru yang paling parah tidak teraturnya perkaderan yang semestinya pada dasarnya secara normal dalam 1 periode harus menjalankan sekali proses perkaderan utama maupun fungsional terutama pada pimpinan basis utama perkaderan yakni, level pimpinan 2 tingkat paling bawah dari pimpinan ortom Muhammadiyah.

Akar lumbung kader Muhammadiyah berada pada ortom-ortom Muhammadiyah sehingga ortom harus sigap dan konsisten menjalankan perkaderan. Jikalau perkaderan ortom Muhammadiyah tersendat yang berimbas pada pimpinan ortom dan menimbulkan terseok-seok pada tingkat pimpinan. Maka, bagaimana mungkin Muhammadiyah memperoleh supply kader yang dapat membumikan gerakan dakwah Muhammadiyah kedepannya, tentu menjadi PR besar bagi kita semua.

Stratifikasi kader merupakan pembedaan atau pengelompokan kader secara vertikal berdasarakan posisi kader dalam kaderisasi dengan tujuan mengetahui titik kordinat progress kader dalam menakar kualitas kader secara ideal. Berikut ini merupakan gambar posisi kader Muhammadiyah yang dapat di mapping dalam beberapa tingkatan yang disebut stratifikasi kader.

Sumber: Kajian Manuver Intelektual Progresif (MIP

Keterangan:

Dalam hal ini, mapping kader sangatlah penting karena sebagai pedeteksi dini posisi titik kordinat kader sejauh mana berkembang. Klasifikasi tersebut, bisa menjadi cara mengetahui masalah kader sebagai sejauh mana kader berkembang, teruntuk kader yang masih aktif di ortom masih ada kesempatan untuk memacu diri guna meningkatkan kapabilitas melalui kaderisasi untuk menjadi kader yang kompeten siap mengemban amanah dan senantiasa istiqomah menegakkan risalah kebenaran.

Menjadi catatan penting terhadap perkaderan ortom Muhammadiyah yang harus selalu menjalankan sistem perkaderan tidak bertentangan dengan Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM). Hal ini, sering terjadi lantaran terlalu menjunjung tinggi asas kearifan lokal maupun kultur masing-masing ortom pada level pimpinan pada daerah tertentu berakibat pada reduksi nilai-nilai perkaderan Muhammadiyah. Hal ini disebabkan penulis menduga lantaran sasaran bakal calon dan lingkungan ter-pressure oleh power yang lebih besar seperti halnya gerakan lain yang lebih mayoritas.

Solusi terhadap Problematika Perkaderan

Perkaderan terkadang menghasilkan kader abortive alias terbelakang (stratifikasi kader) lantaran penerapan sistem perkaderan yang sifatnya seremonial yang hanya event organizer bukan target oriented. Hal itu, dapat dikatakan perkaderan formalitas karena sistem yang diprogramkan tidak bejalan sesuai konseptual yang digagas lantaran berfokus hanya pada terselenggaranya agenda atau program kerja saja.

Dalam hal itu perkaderan Muhammadiyah harus memperhatikan 3 sisi sebagaimana dalam SPM yaitu, meneguhkan ideologi, pewarisan nilai, dan pengembangan sumber daya kader. Itu artinya, penting adanya perkaderan yang profesional fokus pada tujuan perkaderan sehingga menghasilkan kader yang tidak tergolong kader abortive.

Dan yang paling penting, pasca pengkaderan formal (follow up) yang merupakan proses tumbuh kembangnya kader melalui ukhuwah islamiyah antara kader secara internal guna mengkontruksikan pemikiran dan pemahaman objektifitas gerakan masing-masing ortom Muhammadiyah yang merupakan penempahan pondasi nilai-nilai Muhammadiyah yang tertangkup dalam sistem ortom yang mengadopsi kultur Muhammadiyah, yang jelas bagi 7 ortom Muhammadiyah dibentuk bukan lain mewujudkan tujuan Muhammadiyah.

Itu artinya dalam memotong rantai tumbuh dominannya kader abortive bisa melalui penguatan perkaderan dengan menerapkan sistem perkaderan ortom secara intensif dengan tetap menterjemahkan kebutuhan objek dan subjek organisasi. Penerjemahan sistem perkaderan sesuai dengan kebutuhan dalam rancangan grand desain perkaderan.

Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan sistem ke dalam kaderisasi yang rill sebagaimana yang disinggung Febrianto (2013) dalam menentukan salah satu model pendidikan kader ortom yang dapat dijadikan parameter bagi ortom lain pula sebagai berikut: 1) Model pendidikan tidak boleh menyimpang dari sistem kaderisasi yang telah di gariskan oleh Muhammadiyah; 2) Model pendidikan harus terintegrasi dengan ortom yang lain dan; 3) Tiap level pimpinan harus melaksanakan apa yang telah dibakukan oleh pusat.

Walaupun dominannya gerakan lain, dan sasaran kaderisasi yaitu calon kader pada tingkat ortom berada dalam lingkaran gerakan mayoritas bahkan bagian dari gerakan lain. Dalam hal itu, harus adanya pendobrakan, rehabilitasi, pembinaan, dan pemberdayaan yang terancang dalam grand design perkaderan dengan fase perkaderan yang sesuai dengan tidak melenceng dari SPM guna pembentukan jati diri kader sehingga akan membentuk kader progresif.

Perkaderan harus dilakukan secara terus menerus, dan berbagai elemen 7 ortom Muhammadiyah harus membumikan gerakan melalui pelebaran gerakan dengan mendirikannya organisasi dalam berbagai lini wilayah secara nasional bahkan secara internasional.

Bukan hanya mendirikan saja, melainkan menumbuh kembangkan gerakan secara kokoh dan berprogres. Hal tersebut bertujuan untuk membumikan gerakan sehingga dominasi itu mampu melebarkan jalan bagi Muhammadiyah untuk mensyiarkan nilai-nilai yang murni sesuai tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.

Petuah dari Prof. Dr. H.A. Mukti Ali pernah menyatakan yakni: “Baik-buruknya organisasi Muhammadiyah pada masa yang akan datang dapat dilihat dari baik-buruknya pendidikan kader yang sekarang dilakukan. Jika pendidikan kader Muhammadiyah sekarang ini baik, maka Muhammadiyah pada masa datang akan baik. Sebaliknya apabila jelek, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang juga jelek”.

Wejangan yang sangat penting untuk ditelaah guna menjadikan kaderisasi Muhammadiyah menghasilkan kader yang potensial siap berjuang menebar kebaikan, mewarnai bukan terwarnai, mewujudkan arus bukan terbawa arus. Hal ini lah yang menjadi kunci bagi Muhammadiyah untuk terus mengudara melalui kader ikhlas dan istiqomah yang siap menjadi anak panah menebar risalah kebenaran guna mewujudkan transformasi sosial sesuai dengan tujuan Muhammadiyah.

Berdasarkan Sistem Perkaderan Muhammadiyah meredaksikan bahwa hakekat kader Muhammadiyah bersifat tunggal, dalam arti hanya ada satu profil kader Muhammadiyah. Sedangkan fungsi dan tugasnya bersifat majemuk dan berdimensi luas baik ke dalam maupun ke luar, yaitu sebagai kader persyarikatan, kader umat, kader bangsa. Profil kader Muhammadiyah harus menunjukan integritas dan kompetensi kader yakni: kompetensi akademis dan intelektual, kompetensi keberagamaan, dan kompetensi sosial-kemanusiaan.

Keterangan:

  1. Umat: Subjek yang dijadikan objek sasaran bagi para simpatisan, aktivis, kader dan instruktur dalam melakukan transformasi sosial.
  2. Simpatisan: Pada hakekatnya sama dengan partisipan yaitu individu atau beberapa sukarelawan yang berkontribusi untuk memberikan dukungan berupa pikiran, tenaga, maupun materi dalam mencerahkan umat.
  3. Aktivis: Individu atau beberapa yang mempunyai arah, visi dan misi yang jelas dalam wadah organisasi, komunitas, dan sejenisnya dalam melakukan gerakan.
  4. Kader: Pasukan inti yang terbaik, terlatih yang sangat mengerti nilai dan tujuan organisasi dan mampu merealisasikan dalam tindakan. Kader harus siap ditempatkan dimana pun dengan kapabilitas yang dimiliki menebar risalah kebenaran melakukan trasformasi sosial guna mewujudkan umat yang terbaik.
  5. Instruktur: Pada hakekatnya sebagai pelatih ataupun guru yang memiliki tanggung-jawab dalam terbentuknya kader yang ideal. Instruktur merupakan output dari perkaderan fungsional yang bertugas membina kader dan mengelola kaderisasi di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, ortom, dan AUM. Instruktur memegang kendali orientasi, materi, dan kualitas perkaderan Muhammadiyah.

Oleh karena itu, posisi kader sebagai anak panah Muhammadiyah sangat penting mengingat sebagai jantung organisasi yang memiliki kualitas yang mumpuni dalam menghelatkan visi dan misi organisasi. Kaderisasi sangatlah penting guna membentuk kader yang berkualitas, militan, dan progresif. Kader Muhammadiyah harus memantaskan diri sesuai profil kader Muhammadiyah, dan harus bisa membaca perkembangan zaman melalui penguasaan IPTEK dengan tetap konsisten memperkokoh diri dengan disiplin ilmu yang ditekuni dan mengamalkan dalam kebaikan.

Fase Normal Kaderisasi

Kaderisasi yang membekas dan cenderung efektif dan efisien dan dapat menghasilkan kader-kader yang tangguh malah sering terjadi pada pasca perkaderan formal yang menjadikan kader tumbuh dan berkembang melalui majelis-majelis ilmu baik dari wejangan para senior berpengalaman, mentoring (gerakan jamaah dan dakwah jamaah), pelatihan-pelatihan non formal, maupun alam bebas dengan segala dinamika sosial dalam menjalankan amanah.

Fase kaderisasi memiliki tahapan-tahapan alias sistem yang apabila kader tidak berproses atau loncat tupai akan cenderung menjadi kader yang prematur lantaran tidak berproses dan kebanyakan cenderung membawa sistem organisasi yang lebih dulu diikuti. Fase kaderisasi pada umumnya pada setiap ortom Muhammadiyah dapat di kategorikan dalam 3 tahap secara normal yakni:

Pertama, fase internalisasi yang merupakan fase awal peletakan nilai-nilai kultur masing-masing ortom Muhammadiyah sesuai dengan sistem perkaderan yang berlaku (profil Muhammadiyah) yang memposisikan kader sebagai objek dalam kaderisasi IMM dan Muhammadiyah yang sifatnya fundamental, sedangkan sebagai subjek karena kader sebagai pelaku yang dijadikan tokoh kaderisasi guna penguatan nilai-nilai masing-masing ortom Muhammadiyah maupun nilai-nilai Muhammadiyah itu sendiri secara intens pasca perkaderan utama sebagai refleksi dari tindak lanjut dari sifat perkaderan yang berkesinambungan.

Biasanya dalam fase internalisasi ini berisi kurikulum kaderisasi dilaksanakan secara formal maupun non formal (mentoring) yang bersubtansi pada pendalaman materi menu perkaderan utama (sesuai Grand Design) yang sudah dilaksanakan Pada intinya fase internalisasi ini berlangsung sebelum output pengkaderan (kader) menerima Syahadah (ijazah) dan diizinkan mengenakan Almamater ortom Muhammadiyah maupun pernak pernik identitasnya. Hal tersebut bertujuan ketika aktif dalam ortom Muhammadiyah mampu menjalankan profil Muhammadiyah secara konsisten.

Kedua, fase implementasi merupakan fase penerapan nilai-nilai masing-masing ortom Muhammadiyah maupun nilai-nilai Muhammadiyah itu sendiri maupun hasil pemahaman kulturnya. Jikalau fase internalisasi memahami sistem, pada fase ini kader harus mampu menjalankan sistem dan mampu membaca situasi lingkungan. Fase ini biasanya ditandai dengan adanya kesadaran individu (kader) dengan mampu menerapkan nilai-nilai masing-masing ortom Muhammadiyah maupun nilai-nilai Muhammadiyah itu sendiri. Pada fase ini biasanya kader sudah bisa menjadi kader konseptor, dan pemikir hingga menjadi harapan terwujudnya kesadaran kolektif. Fase ini kader harus bisa membina kader angkatan sebelumnya sebagai upaya implementasi keilmuannya. Pada fase ini, memumbuhkan harapan baru untuk menghimpun kekuatan (power) dalam menghelatkan visi dan misi organisasi sehingga mampu bertranformasi sosial.

Ketiga, fase aktualisasi merupakan fase terjemahan dari gerakan Muhammadiyah untuk menjalankan menjadi cendekiawan muslim sejati dengan menghelatkan gerakan menyebar seperti benih (diaspora) pada lahan aktualisasi menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa. Fase ini kader yang sudah paripurna dalam ortom melanjutkan langkah berkarya pada lahan persyarikatan untuk tetap meneguhkan pendirian, dan berkarya pada lahan aktualisasi umat dan bangsa. Teruntuk kader yang beraktualisasi menempuh menjadi kader umat dan bangsa tanpa menghilangkan identitas sebagai kader Muhammadiyah akan mewarnai dan terus membumikan gerakan dengan cara lain untuk mewujudkan tujuan Muhammadiyah.

Preli Yulianto, Penulis Muda Sumsel/Kader IMM Sumsel

Exit mobile version