Santri Urban dalam Reformasi Kedermawanan, 1912-1931

Bedah Karya Edisi Kesepuluh menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Senin malam (20/9), sudah hampir pada penguhujung bulan ketiganya, panitia Kongres Sejarawan Muhammadiyah menyelenggarakan acara Bedah Karya. Kali ini buku yang dibahas adalah karya dari ketua panitianya sendiri yaitu buku, Filantropi Masyarakat Perkotaan: Transformasi Kedermawanan Muhammadiyah, 1912-1931.

Meskipun pada judul tertulisan sikap filantropi Muhammadiyah, isi bukunya justru berisi pembahasan yang lebih fair dengan turut mengamati gerakan Islam lain, seperti Sarekat Islam yang berjaya pada saat bersamaan.

Buku yang diterbitkan di Penerbit Suara Muhammadiyah ini merupakan hasi penelitian tesis master Ghifari Yuristiadi di Program Master Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada. Pengerjaannya dibimbing langsung oleh Profesor Bambang Purwanto yang dikenal mendukung postcolonialism dalam penulisan sejarah Indonesia.

Sedikit banyak paradigma postcolonialism ini hadir dalam buku Ghifari. Salah satunya lewat penggunaan terma “filantropi” yang lebih banyak dipakai kelompok zending dan misi dari Barat. Dalam hal ini, Ghifari seakan ingin menyejajarkan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah pada masa itu tidak kalah modern dan serius seperti yang dilakukan pemerintah kolonial.

Masuk pada pemaparan materi, Ghifari memberi penjelasan lengkap mengenai konteks perubahan gerakan filantropi yang dilakukan kelompok santri bumiputra kota Yogyakarta periode abad ke-20. Salah satunya berangkat dari latar belakang kultural-politik petugas keagamaan Islam Keraton Yogyakarta. Privilege atas tanah yang diberikan Sultan tanpa pembebaan pajak (desa perdikan) merupakan modal penting untuk melakukan mobilitas ekonomi ke atas.

Belum lagi ditambah dengan praktik feodalisme yang dilakukan masyarakat terhadap petinggi keagamaan Islam. Pemberian hasil bumi selayaknya upeti menambah kemungkinan para elite agama untuk hidup dalam kemakmuran. Surplus pendapatan inilah yang memungkinkan juga keluarga para ulama bisa mengembangkan usaha ekonomi lain, seperti produksi batik dan perak.

Kelas menengah perkotaan dari kalangan santri (santri urban) inilah yang tumbuh menjadi intelektual Muslim abad ke-20 hingga meggerakkan berbagai gerakan sosial, di antaranya Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Keterbukaan pemikiran mereka plus aktualisasi ajaran Islam, dalam teologi Al-Ma’un yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan, menggerakkan perubahan cara berderma.

Tida hanya itu, faktor lain yang juga penting adalah pemberian wewenang kepada kelompok pembaruan Islam di Kauman untuk mengelola pengumpulan dan distribusi zakat Keraton.

Lalu, secara berbarengan juga pemerintah kolonial menerapkan kebijakan privatisasi tanah untuk daerah Yogyakarta.  Dengan demikian, status tanah yang sebelumnya dimaknai sebagai milik Sultan, kemudian bisa diubah menjadi hak milik dan disewakan. Perubahan status kepemilikan inilah yang memungkinkan dipraktikkannya wakaf tanah, sehingga berpengaruh pada gerakan pembaruan Islam yang ingin memiliki ruang guna kegiatan keagamaan, pendidikan, dsb.

Selanjutnya, pemaparan dan diskusi bergulir ke bahasan tentang gerakan-gerakan Muhammadiyah pada awal abad ke-20. Gerakan yang dimaksud ini menandai perubahan cara berderma; zakat, infak, sedekah, wakaf. Keterbukaan intelektualitas, kolaborasi, dan peresapan ajaran Islam adalah hal-hal yang menggerakkan orang-orang di dalam Muhammadiyah untuk melakukan pembaruan masyarakat bumiputra yang tengah berada dalam kelembaman sosial akibat kolonialisme. (ykk)

Exit mobile version