Ikut Vaksinasi, Boleh Pesan Lelaki
Oleh: Haidir Fitra Siagian
Syukur alhamdulillah sekitar satu jam lalu, tepatnya pukul dua tiga puluh siang ini, saya sudah ikut vaksin Pfizer pertama. Bertempat di kompleks pertokoan Crown Street Mall, sebuah pusat perbelanjaan termegah di Kota Wollongong, NSW, Australia.
Untuk ikut vaksin ini, saya harus mendaftar beberapa bulan lalu. Jadwal sebenarnya adalah akhir bulan ini. Namun ada pesan lewat email kepada saya, bahwa jika ingin lebih cepat, maka harus selalu mengecek portal departemen kesehatan. Jika ada waktu yang kosong, bisa langsung isi. Jadi sekitar dua minggu lalu, saya coba cek beberapa kali, dan dapat jadwal yang lebih cepat. Bahkan dua puluh hari lebih awal dari jadwal semula.
Vaksin di sini adalah gratis dengan pelayanan yang sangat memuaskan, ramah dan bermartabat. Boleh memilih jenis vaksin yang diinginkan. Setelah vaksin pertama ini, akan dilanjutkan vaksin kedua beberapa minggu ke depan.
Sebelum tiba di lokasi vaksinasi, saya sudah pesan kepada nyonyaku, agar jika memungkinkan saya disuntik oleh petugas lelaki. Kecuali memang jika tidak ada petugas lelaki maka saya bersedia divaksin petugas perempuan. Sebab di sini, pilihan tersebut adalah hak bagi setiap pasien. Dan petugas akan menghormati hak tersebut.
Di pintu masuk Mass Vaccination Center Wollongong, kami diminta meng-scan QR codes untuk COVID – 19 safe check in. Dengan meng-scan, data kami akan terdaftar ke departemen kesehatan. Hal ini penting untuk kegiatan tracing pengunjung. Artinya, jika ada pengunjung yang kedapatan kena COVID pada jam yang sama dengan saya di gedung itu, maka semua pengunjung pada jam itu akan dihubungi okeh departemen kesehatan untuk segera tes COVID dan isolasi diri.
Setelah mendaftar ulang, nyonyaku berpesan kepada concierge, atau staf pada bagian penjemput, bahwa saya ingin divaksin oleh petugas lelaki, jika ada. Concierge ini, seorang ibu yang sudah berumur. Beliau mengatakan akan koordinasikan dengan pimpinannya.
Lalu kami diantar ke ruang tunggu. Beberapa saat kemudian, seorang petugas menyapa saya dengan salam. Dia tampaknya keturunan Pakistan. Katanya, dia sering melihat saya di Masjid Omar Wollongong. Mengenal saya dari peci hitam yang kupakai.
Di ruang tunggu, seorang petugas datang minta maaf pada saya. Katanya, mohon jangan tersinggung. Karena ada orang yang duluan divaksin, padahal datang belakangan dari saya. Dia bilang, mereka sedang menunggu petugas lelaki untuk menyuntik saya. Petugas itu berada di ruangan yang berbeda meski masih dalam satu gedung.
Ruangan vaksin cukup luas berukuran 3×3 meter persegi. Terdapat satu bak sampah khusus alat medis, 4 kursi dan satu meja petugas vaksin. Saya perhatikan meja petugas vaksin ada pesawat telepon, sebuah PC dan monitornya. Di dinding ada beberapa informasi untuk petugas. Di antaranya nomor telepon kepada petugas penerjemah jika pasien tak bisa berbahasa Inggris. Saya baca di dinding tertulis bahwa Health Care Interpreter Service, nama lembaga penerjemah yang bisa dihubungi, menyediakan layanan dalam 15 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Sebagai catatan, layanan penerjemah ini juga gratis. Tak perlu dibayar oleh pasien.
Saya bersyukur karena mereka berhasil mendapatkan petugas lelaki. Meskipun saya harus menunggu sekitar setengah jam. Pada saat giliran saya, si petugas lelaki datang memanggil namaku. Lalu dibawa ke ruangan khusus. Beberapa saat dia menjelaskan beberapa hal dan menanyakan keadaan saya. Dia juga menjelaskan dampak yang bisa terjadi jika sudah divaksin. Apakah kamu setuju, tanyanya. Setuju, jawabku.
Sepersekian detik saya sudah divaksin lengan kiri. Hampir tidak terasa. Kemudian saya diarahkan ke ruang tunggu lagi. Diminta berada di tempat selama lima belas menit. Untuk memastikan apakah ada reaksi negatif atas vaksin tersebut atau tidak. Setelah itu, kami bisa keluar ruangan sambil diantar oleh petugas concierge lainnya.
Mengapa saya harus meminta disuntik oleh petugas lelaki? Saya teringat dengan pesan guru sekaligus orang tuaku. Almarhum KH. Nasruddin Razak, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan periode 2000-2005. Beliau juga adalah dosen Agama Islam di Universitas Hasanuddin Makassar, dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sulawesi Selatan. Dalam buku sakunya, yang dulu saya diminta mengetiknya, halaman bagian akhir disebut kira-kira begini:
“Dalam konsep Islam, hubungan pasien-dokter yang berlainan jenis. Pasien lelaki harus diperiksa oleh dokter lelaki, dan sebaliknya. Pasien perempuan boleh diperiksa oleh dokter lelaki, jika tidak ada dokter perempuan. Demikian pula sebaliknya. Dalam keadaan darurat atau sama sekali tidak ada alternatif, maka pasien lelaki bisa diperiksa oleh dokter perempuan dan sebaliknya”.
Saya berusaha mengamalkan itu, karena saya tahu di Australia, permintaan seorang pasien adalah hak yang harus dihormati oleh petugas kesehatan. Dan mereka akan berusaha memenuhinya. Kecuali memang tidak ada sama sekali jalan lain.
Tahun lalu ketika saya diopname di rumah sakit umum Wollongong, selama dua malam. Petugas bertanya kepada saya. Apakah ada permintaanmu, tanyanya. Saya bilang nanti untuk makan malam, sarapan, dan makan siang, siapkan makanan halal saja untuk saya. Tentu saja saya tak sebut kata “halal”, mungkin dia tidak mengerti. Saya hanya berpesan agar cukup menyediakan ikan atau makanan laut dan telur rebus untuk lauk makanannya.
Seorang teman di Melbourne beberapa tahun lalu, saat akan melahirkan. Berpesan kepada petugas, agar yang menangani persalinannya adalah petugas perempuan. Dan ini dilaksanakan dan dihormati. Artinya selagi masih memungkinkan mengamalkan ajaran agama, tentu itu adalah sikap yang sangat baik.
Haidir Fitra Siagian, Ketua PRIM New South Wales