Tiga Unsur Penting Kemanusiaan Masa Depan

Ta’awun

Ta’awun

Tiga Unsur Penting Kemanusiaan Masa Depan

Oleh: Dr Masud HMN

Professor DR Haedar Nashir MSi, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan kepada Angkatan Muda Muhammmadiyah untuk memperhatikan 3 masalah besar kemanusiaan pada masa depan. Yaitu konsep manfaat pada sesama manusia, kesadaran kepemimpinan, kepandaian bergaul antar sesama meski ada perbedaan.

Tiga nilai itu menurut Haedar Nashir harus nenjadi ruh alam pikir dan orientasi tindakan para mahasiswa dalam kehidupan. Yaitu kehidupan yang memberi faedah pada orang lain, dengan berbuat baik. Kesadaran kepemimpinan bahwa dimasa depan mereka akan jadi pemimpin, gigih bersungguh sunguh dan militan. Lalu kepandaian bergaul dengan teman yang berbeda. “Jadikanlah mereka teman agar kita bisa hidup bersama,” katanya.

Hal itu disampaikan dalam kuliah umum secara virtual dalam rangka penerimaan 100.000 mahasiswa baru dari 164 perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah seluruh Indonesia di Yogyakarta 4 Oktober 2021.

Tiga butir pesan itu jika dihubungkan dengan kondisi bangsa kita sekarang ini tepat sekali. Kondisi kita tercabik oleh lemahnya usaha untuk berbuat baik, tidak berkembangnya kesadaran militansi kepemimpinan, dan lemahnya komunikasi dalam mengahadapi perbedaan.

Agaknya itulah lemahnya unsur menyatukan (unity) serta mencerahkan (enlighten). Di lain pihak terjadi pecah belah (difference), yang semestinya perlu difahami itu pecah belah, konflik adalah buruk.

Tak bisa dibantah sesungguhnya itulah beban kemanusiaan sejatinya berakar pada tidak utuhnya pemehaman agama dalam politik agama, berdasar ras dan suku sebagai bekal berdemokrasi secara modern.

Tetapi dalam demokrasi modern politik demikian itu masalahnya tidak diselesaikan. Malahan dicela, dijelekkan bahkan dikategorikan adalah aibnya demokrasi. Kalau ada politik dengan membawa bawa suku, ras agama itu rasis namanya. Atau radikal ektrem yang demikian itu?

Sekali lagi titik lemahnya karena tidak kuatnya nilai kebaikan (khaira umat) dan penataan kepeimpinan (al Quwwah) yang lemah juga dan kekurangan unsur sinergi (muamalah) dalam komunikasi pergaulan (working to go there).

John Keane dalam bukunya The life and Death Democracy (hidup dan kematian demokrasi) mencoba membentangkan hal ihwal akar dari demokrasi dari mana berawal bagaimana bertumbuh dan bagaimana serta apa penyebab kematian demokrasi. John Keane dalam bukunya setebal 992 halaman itu menetapkam proses logiknya bahwa tidak dapat dielakkan ada masa lahir tumbuh besar kemudian wafat. Yang terkhir itu betul-betul tidak dikehendaki. Adanya wabah menghinggapi suara rakyat itu harus ditemukan. Jangan sampai menjadi polemik berkepanjangan

Sebagai orang yang berkebangsaan Inggris dan seorang berpendidikan John Keane tentu meletakkan cinta demokrasi yang tinggi, Ia ingin demokrasi itu berumur panjang dan lestari sepanjang jaman. Bukankah demokrasi produk unggulan lahir dari rahimnya bangsa Eropa yang harus eksis. Demokrasi yang sehat sepanjang masa.

Dalam perjalanan waktu, Politik demikian sebagai sebab membuat tidak sehatnya politik malahan jadi penyakit demokrasi. Itu sendiri Dapat terurai ke dalam rumpun ras yaitu bangsa, lalu suku yaitu kelompok dan agama atau kepercayaan.

Sejarahnya seperti Politik demokrasi Yunani sebelum Masehi, berakar pada politik Athena komunitas kota. Satu kesatuan penduduk dengan himpunan satu kepentingan yang sama. Politik kota menjadi model awal politik bangsa Yunani kuno.

Beberapa abad kemudian lahir model Politik demokrasi Mesopotomia berasal dari unsur regional komunitas geografis. Lalu ini pula menjadi penandaan identitas sebagai ciri dalam menghadirkan keberadaan. Kriteria yang bersumber dari nilai lokal menjadi pembeda antara yang satu dengan yang lain.

Dari dua bentuk identitas politik di atas penelusur sejarah politik menemukan kemiripan meski tak sama persis. Ia adalah Agnes Heller. Yang ada kemiripan itu kata Agnes Heller (Adillah S Ubeid dalam 2002 Politik Pergulatan Tanpa Identitas Yayasan Obor Indonesia Magelang) menjelaskan perbedaan politik penandaan kriteria perbedaan.

Dia memunculkan contoh dari model demokrasi India berakar multi etnis dengan penandaan identitas politik normatif intuitif. Yang banyak terkait dengan nilai Hinduisme.

Perjalanan proses sejarah pepolitikan identitas ditampilkan dunia Arab. Satu model politik identitas demokrasi Politik Islam dengan berakar agama dari kabila dan suku. Yang hidup dan berkembang di era modern. Sebuah perpaduan filsofis dan agama Ini berbasis pada ideology Islam yang muncul dari Islam modern di Timur Tengah

Dari tiga bentuk polarisasi di atas, dapat disingkat hanya dua esensi penting yaitu di dalamnya berbentuk perbedaan dan persamaan. Ciri-ciri sebagai penandaan kesamaan dan sebagai different atau perbedaan. Penulis berpendapat politik beragam bentuknya dalam sejarah perpolitikan, masing-masing punya akar berbeda ada ras. Suku ada intituitif regional atau kesamaan asal usul dan ada ideologi pandangan berbasis spiritual.

Terhadap perkembangan sekarang harus dapat saja kita bandingkan merujuk pada politik supremasi white colour yakni kulit putih mendominasi Amerika. Kita hargai demokrasi Amerika yang menyatukan, mencerahkan dan yang menyejahterakan Amerika. Kita tolak politik differencial konflik dan mesti kita ganti dengan membangun unity (keutuhan) sebagai politik filosofis spiritual dengan persatuan kebangsaan berkemajuan.

Hanya dengan Islam sebagai basis spiritual, dimungkinkan dicapai kemajuan Insya Allah!

Dr Mas’ud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Exit mobile version