Tradisi Penerjemahan Turāts Sains di Peradaban Islam

Tradisi Penerjemahan Turāts Sains di Peradaban Islam

Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA

Penerjemahan adalah salah satu media utama dan pertama bagi umat Islam dalam mengenal khazanah keilmuan pra Islam yang dikenal dengan ilmu-ilmu awal (‘ulum al-awa’il). Kegiatan penerjemahan dan transfer dari bahasa asing (khususnya Yunani dan Suriah) ke bahasa Arab muncul pertama kali pada era Dinasti Umayyah melalui peran Khalifah Khalid bin Yazid. Khalifah ini dikenal sebagai sosok yang memelopori gerakan penerjemahan literatur-literatur sains dari bahasa asing ke bahasa Arab. Sang Khalifah ini memang dikenal memiliki perhatian terhadap sains khususnya bidang ilmu kimia.

Pada perkembangan awal, gerak penerjemahan tampak berjalan lamban, kecuali setelah memasuki era Abbasiyah. Di zaman Abbasiyah, tokoh utama dan pertama yang memberi perhatian terhadap sains adalah khalifah kedua yaitu Abu Ja’far al-Manshur, yang dikenal memiliki wawasan filsafat dan mencintai orang yang mendalaminya. Sementara itu di zaman khalifah Harun al-Rasyid, ia tercatat pernah mengumpulkan para intelektual dalam sebuah halakah untuk mengembangkan tradisi keilmuan Yunani dan India, diantaranya adalah dengan menerjemahkan “Sindhind” dan “Almagest”, keduanya literatur di bidang astronomi.

Puncak aktivitas penerjemahan sains sejatinya terjadi tatkala berdirinya institusi Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang dibangun oleh Al-Ma’mun. Bait al-Hikmah adalah pusat penelitian dan penerjemahan yang kemudian berkembang menjadi akademi besar. Bait al-Hikmah pada mulanya adalah sebuah perpustakaan yang sederhana bernama Khizānah al-Hikmah (Khazanah Hikmah), yang telah beroperasi sejak masa khalifah Harun al-Rasyid. Al-Ma’mun meningkatkan kegiatan lembaga ini dengan memasukkan pengajaran serta proyek penerjemahan karya-karya filsafat dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa.

Meskipun bukan merupakan satu-satunya kegiatan di dalamnya, namun aktivitas penerjemahan tampaknya merupakan kegiatan yang paling dominan. Al-Ma’mun secara aktif mengumpulkan penerjemah-penerjemah terbaik waktu itu untuk bekerja di lembaga ini. Tidak hanya itu, al-Ma’mun juga sangat antusias mengumpulkan karya-karya klasik dalam berbagai bahasa untuk kemudian dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, tujuannya agar dapat dipelajari. Al-Ma’mun bahkan mengirim sekelompok utusan ke daerah-daerah kekuasaan Bizantium guna mencari manuskrip-manuskrip berharga dan membawanya pulang ke Bagdad, lalu menjadi bahan kajian di Bait al-Hikmah.

Oleh karena itu perkembangan terjemah di era Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari peran dan apresiasi para khalifah yang berkuasa waktu itu. Orang-orang yang menekuni dunia terjemah kala itu mendapat suplai dana yang besar. Contohnya, konon Hunain bin Ishaq (salah seorang penerjemah literatur sains waktu itu) menerima imbalan emas sebesar timbangan karya terjemahnya.

Sejarah mencatat bahwa teks sains pertama di transfer ke dalam bahasa Arab adalah teks mantik, yaitu pada era al-manshur. Namun ada yang mengatakan bahwa Ibn Muqaffa’ adalah orang pertama yang menerjemahkan sains logika ke dalam bahasa Arab. Namun dalam perkembangannya, tradisi penerjemahan mengalami dinamika dimana banyak terjadi kekeliruan dan ketidakakuratan hasil terjemahan, salah satunya disebabkan faktor terlalu terburu-buru dalam menerjemahkan. Menurut Peter O’Leary, kekeliruan penerjemahan terjadi karena hal-hal berikut: (1) Kebanyakan buku-buku turats Yunani telah ditransfer ke dalam bahasa Suriah.

Dalam transfer tersebut telah terjadi kesalahan. Tatkala orang-orang Arab menukilnya maka kesalahan itupun ikut dinukil. Abu Hayyan at-Tauhidi (w. 400 H/1009 M) mengatakan, bahwa terjemahan dari bahasa Yunani ke Ibry, dan dari Ibry ke Suriah, dan dari Suriah ke Arab, telah terjadi modifikasi makna tanpa terasa. (2) Para penerjemah Arab kebanyakan memfokuskan diri pada transfer makna-makna penting dari sebuah teks dan meninggalkan makna-makna yang tidak terlalu penting, dan ini dilakukan secara sadar dan sengaja.

Dan adakalanya transfer yang tidak menggantungkan sepenuhnya pada teks aslinya ini menjadikan hasil terjemahan menjadi tidak jelas dari teks aslinya. (3) Kebanyakan penerjemah termotivasi memberikan komentar (syarh) di tengah aktivitas penerjemahannya. Bahkan mereka melakukan kritik dan melakukan modifikasi kepada teks aslinya, makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru.

Namun Amir an-Najjar memberi pengecualian kepada penerjemah-penerjemah profesional seperti Hunain bin Ishaq dan timnya, Tsabit bin Qurrah, dan Qustha bin Luqa. Mereka ini adalah penerjemah-penerjemah yang profesional, amanah, cermat, dan memiliki kemampuan dalam memahami teks asli dan redaksinya.

Secara umum, periodisasi terjemah di dunia Islam dapat dikemukakan sebagai berikut: Periode pertama, dimulai dari era al-Manshur tahun 136 H/753 M dan berakhir pada era Harun al-Rasyid tahun 193 H/809 M. Beberapa penerjemah populer di era ini dapat disebutkan antara lain: Yahya bin Patrick (era al-Manshur), Georgius Gabriel (seorang dokter), Theodore, Salam al-Abrasy (era Barmak), Samuel Matran, Ibn Muqaffa’ (w. 142 H/759 M) atau 148 H/765 M), dan Yuhanna bin Masawaih (seorang Kristen Suriah era Harun al-Rasyid). Pada periode ini umumnya buku-buku yang diterjemah kebanyakan teks-teks kedokteran, logika, dan geometri. Ilmu-ilmu ini sangat dibutuhkan pada waktu itu dalam kehidupan sehari-hari.

Peiode kedua, dimulai sejak era al-Ma’mun tahun 198 H/814 M sampai tahun 300/912. Beberapa penerjemah di era ini antara lain: al-Hajjaj bin Yusuf Mathar, Qustha bin Luqa, Hunain bin Ishaq (w. 260/874 atau 263/877), Esteban bin Basel, Musa bin Khalid, Yahya bin Harun, Ishaq bin Hunain (w. 298 H/910 M), Tsabit bin Qurrah (w. 280 H/893 M), Hubaisy bin al-Hasan (dikenal dengan Hubaisy al-A’syam, anak dari saudara perempuan Hunain, wafat tahun 300 H/912 M), Ayyub (lebih populer dengan ‘al-Abrasy’), Isa bin Yahya bin Ibrahim (murid Hunain dalam bidang penerjemahan), Abu Utsman Sa’id bin Ya’qub (penerjemah Ali bin Isa, salah satu menteri al-Ma’mun), dan Ibn Shilat.

Pada periode ini telah diterjemahkan teks astronomi Yunani Almagest karya Ptolemeus dan teks The Golden Verses karya Pythagoras. Demikian lagi telah diterjemahkan karya-karya Galen, Plato, dan Aristoteles. Periode ketiga, sejak tahun 300 H/912 M sampai pertengahan abad 4 H/10 M. Beberapa penerjemah pada periode ini antara lain: Mata bin Yunus (ia bekerja di kekhalifahan ar-Radhi di Bagdad), Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w. 360 H/971 M), Yahya bin ‘Ady (w. 364 H/974 M), Isa bin Sargent, Ibn Zur’ah, dan Hilal bin Hilal al-Himshi.

Patut dicatat, aktivitas penerjemahan pada dua periode terakhir lebih marak dibanding periode pertama, di mana terjemah tidak lagi terbatas pada buku-buku logika dan kedokteran, namun semua cabang filsafat: ilmu-ilmu alam, moralitas, dan politik. Pada periode ini juga diterjemahkan buku-buku logika dan ilmu-ilmu alam karya Aristoteles beserta komentarnya oleh Iskandar dan Yahya an-Nahwi. Disamping juga diterjemahkan juga buku-buku geometri dan ilmu-ilmu alam lainnya.

Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA, Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

 Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2018

Exit mobile version