YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Membaca Said adalah membaca identitas yang retak, lalu memungutnya kembali menjadi siluet bangunan yang “utuh”. Kehidupan Said terpendar dari ujung barat Palestina hingga Amerika Serikat. Di dua dunia dengan dua kebudayaan yang berbeda inilah, kita bisa melihat sosok Said yang “terlunta-lunta,” sendirian, membangun sejenis harmoni di setiap resistensi yang ia lakoni”. – Orientalisme hal. xiii
Tanggal 25 September lalu, mungkin bagi beberapa orang adalah tanggal yang tidak begitu penting. Tetapi, bagi kader-kader IMM FAI UAD tanggal itu diperingati sebagai hari kematian seorang intelektual yang hingga akhir hayatnya tetap gigih membela tanah airnya, Palestina, yaitu Edward Wadie Said atau dikenal sebagai Edward Said.
Hari Jumat, 08 Oktober 2021 kemarin, RPK PK IMM FAI UAD membuka seri pertama dari diskusi “Ngaji Tokoh” yang rencananya akan diadakan tiga kali pertemuan dengan topik pembahasan pemikiran dari tokoh-tokoh yang berbeda. Untuk seri pertama dibuka dengan menyelami pemikiran Edward Said mengenai intelektualisme.
Diskusi seri pertama ngaji tokoh ini dipandu langsung oleh pemateri yang ahli di bidang studi agama dan lintas budaya minat kajian Timur Tengah, yakni Dr. Yoyo, S.S., M.A. yang juga merupakan Kaprodi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan. Kemudian dimoderatori oleh Kabid RPK PK IMM FAI UAD yang juga mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan, A.R. Bahry Al Farizi.
Diskusi berjalan dengan interaktif karena banyaknya pertanyaan dari peserta diskusi. Penjelasan yang mudah dimengerti membuat topik diskusi meluas hingga ke dinamika pergerakan dunia Barat dan Timur, mulai dari periode kolonialisme Barat hingga era kiwari.
Lahir di Talbiyah, Palestina Barat pada 1 November 1935, Edward Said sejak lahir telah merasakan kolonialisme Barat karena bertepatan dengan 18 tahun sejak mandat Britania ditandatangani, yaitu pendudukan Inggris atas Yerussalem. Walaupun berdarah Arab-Palestina, Edward Said tidak terdidik dalam tradisi Islam karena ia beragama Kristen Anglikan.
Ayahnya seorang penisbis sukses di Cairo sedangkan ibunya berasal dari Nazareth. Karena ayahnya seorang pebisnis sukses yang berarti tergolong dalam kelas elit Arab, maka pendidikan yang didapat Edward Said bisa dibilang melebihi orang-orang Arab pada umumnya. Ia sempat bersekolah di Victoria College, Alexandria yang dikenal sebagai sekolah para elit-elit Arab. Kemudian melanjutkan studi di Universitas Princenton dan Harvard.
Saat membahas ini, pemateri melontarkan sebuah pernyataan serius tapi jenaka, bahwa seseorang jika ingin serius berpikir kritis maka perutnya perlu dikenyangkan terlebih dahulu. Tidak mungkin seorang Edward Said bisa menjadi pemikir sekaligus intelektual kritis kalau ia tidak memiliki instrumen yang memadai, apalagi kalau bukan finansial.
Setelah menyampaikan profil singkat Edward Said, pemateri mulai masuk ke pembahasan inti dari diskusi, yaitu pemikiran Edward Said mengenai intelektualisme.
Ada banyak sekali definisi Intelektual menurut para ahli. Tetapi bagi Edward Said, Intelektual punya ciri-ciri yang wajib dipenuhi; Pertama ialah harus independen. Independen dalam artian ia merasa terasing, marjinal, seorang an exile. Kedua, tidak terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Ketiga, mampu menjawab Grand Narrative atau Grand Theory tanpa melupakan nilai-nilai lokal. Keempat, berani menyampaikan pendapat walaupun itu berhadap-hadapan dengan penguasa.
Bagi para akademisi yang fokus pada bidang pascakolonialisme pasti sudah tidak asing dengan namanya. Dengan masterpiece Orientalismenya, Said mencoba untuk melawan bahkan menghapus stigma negatif-imajinatif bangsa Barat terhadap bangsa Arab-Islam atau Timur pada umumnya. Menurut Edward Said imperialisme-kolonialisme atau penjajahan bangsa Barat atas bangsa-bangsa lain bukan hanya berwujud fisik, seperti invasi USA dan Inggris atas Irak, melainkan juga berwujud penjajahan secara kebudayaan.
Spirit Edward Said memiliki nafas yag sama dengan nama-nama besar lainnya dalam bidang ini seperti Aime Cesaire, Frantz Fanon, Gayatri Spivak, Homi K. Bhabha, dll. Sebagai intelektual yang bertanggung jawab dalam membela kaum yang lemah, Edward Said telah mengabdikan dirinya ke dalam jalan yang “Sunyi”. (rpd)