RUU Keistimewaan Israel untuk Warga Yahudi
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan mengesahkan secara resmi Israel sebagai negara-bangsa untuk kaum Yahudi kembali menuai kontroversi. Pengesahan itu tertuang dalam pernyataan Menteri Kehakiman Israel Ayelet Shaked pada Konferensi Israel Pertama tentang Judaisme dan Demokrasi yang digelar Senin (12/2). Menurut Shaked, RUU itu bertujuan untuk melindungi kelompok mayoritas Yahudi meskipun harga yang harus dibayar adalah terjadinya pelanggarakan Hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai pihak khawatir RUU tersebut menimbulkan potensi ancaman terhadap keberadaan masyarakat non-Yahudi di dalam teritori caplokan Israel.
“Ada tempat di mana kita harus melindungi kelompok mayoritas Yahudi meskipun harus melakukan pelanggaran HAM,” katanya di Tel Aviv dikutip dari al-Jazeera.
RUU yang akan melewati proses pembacaan pertamanya tahun ini juga akan menomorduakan prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan seluruh warga negara dan menjadikan nilai-nilai dan identitas eksklusif Yahudi sebagai patokan nomor wahid. Hal tersebut diakui oleh Shaked.
“Israel adalah Negara Yahudi. Israel bukanlah negara untuk seluruh bangsa yang ada di Israel.”
Jika disetujui, RUU yang telah melalui tahap pembacaan awal pada Mei tahun lalu ini akan mengikat secara konstitusional. Tradisi agama Yahudi adalah pedomannya. RUU ini menyebutkan sejumlah elemen yang mencakup karakterisasi ulang bentuk bendera dan lagu kebangsaan, simbol, hak bagi penganut Yahudi manapun untuk bermigrasi ke Israel, bahkan Bahasa Arab yang sebelumnya memiliki status setara dengan Bahasa Ibrani. RUU tersebut akan memberikan legalitas untuk membangun pemukiman kepada sebuah komunitas yang berbasis agama ataupun kebangsaan tertentu. Hal ini bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Implikasinya, pemberlakukan RUU tersebut akan memunculkan segregasi rasial.
“Hampir 1.100 permukiman Yahudi telah berdiri di antara Yordania dan Laut Mediterania,” ungkap cendekiawan Israel Oren Yiftachel. Ia menambahkan, Israel telah menghancurkan lebih dari 400 pemukiman milik masyarakat Arab di wilayah tersebut. Di sisi lain, Israel tidak sekalipun menetapkan satu pemukiman untuk masyarakat Arab selain tujuh yang telah ditetapkan di Negev.
Wakil Presiden Israel Democracy Institute, Yedidia Z Stern, dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan komitmen Israel terhadap demokrasi yang juga tertera di dalam dokumen deklarasi kemerdekaannya. Menurut dia, RUU ini akan membawa implikasi berupa kian lemahnya posisi masyarakat minoritas Arab di Israel. Ujungnya adalah pencederaan hak kesetaraan mereka.
Anggota parlemen dari Partai Zionist Union, Tzipi Livni, juga menghkawatirkan hal serupa. Baginya, RUU ini akan menginjak-injak kesetaraan hak antar masyarakat Israel dan juga menjadi ancaman pada tegaknya demokrasi.
“Upaya ini merupakan tanda dilenyapkannya HAM. Di manakah kesetaraan di Negara Yahudi ini? Israel tanpa kesetaraan hak tidak bisa disebut sebagai Negara Yahudi.”
Dalam salah satu poin di dalam RUU tesebut tertera bahwa “Negara Israel adalah rumah bagi orang-orang Yahudi, di mana ia mampu mewujudkan aspirasi untuk menentukan nasibnya sesuai dengan warisan budaya dan sejarahnya. Apa yang dikatakan dalam Undang-Undang Dasar ini atau objek undang-undang lainnya akan ditafsirkan sesuai dengan apa yang ada dalam artikel ini.”
Anggota Parlemen Knesset dari Kulanu, Rachel Azaria, juga berpandangan bahwa tidak ada satupun kata demokrasi tertera di dalam RUU itu. Ia memprediksi bahwa RUU yang mati-matian dipertahankan oleh Shaked dan pemerintah yang sedang berkuasa akan membahayakan proses perdamaian dengan Palestina yang selama ini mengedepankan solusi dua negara. “Masyarakat Arab pasti juga menginkan adanya kesetaraan.”
Keresahan lain yang timbul akibat implementasi RUU tersebut adalah bagian yang menyebutkan bahwa, “Di mana pengadilan memutuskan bahwa perselisihan tidak dapat dipecahkan dengan undang-undang, dengan preseden yuridis, atau dengan analogi hukum yang ketat, keputusan tersebut akan diputuskan
sesuai dengan prinsip kebebasan, keadilan, keadilan, dan kedamaian berasal dari hukum perdata Yahudi.” Dengan demikian, untuk kasus-kasus yang tidak memiliki preseden hukum, RUU ini akan memaksa warga Israel apapun agamanya untuk mematuhi hukum perdata Yahudi, yang berasal dari Kitab Taurat.
Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset, Avi Dichter dari Partai Likud, pertama kali mengajukan RUU tersebut pada 2011. RUU tersebut merupakan andalan Partai Likud. “Saya dan koalisi akan melakukan segalanya agar UU tersebut bisa masuk ke dalam kitab undang-undang sebelum peringatan kemerdekaan ke-70 Israel,” tuturnya.
Sebuah lembaga advokasi untuk masyarakat Arab di Israel, Mossawa Center, dalam laporannya menyebutkan bahwa jika Israel berdiri dengan RUU yang telah disahkan di atas seluruh wilayah bersejarah milik Palestina, maka ini akan membuat mayoritas warganya (Palestina) tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan hak dasar mereka untuk menentukan nasibnya sendiri. Hal ini sangatlah mungkin melihat keengganan masyarakat internasional untuk turut campur tangan dalam menghentikan ekspansi pendudukan Israel di tanah Palestina.
Merespons RUU ini, anggota parlemen Yousef Jabareen dari Partai Joint List mengusulkan sebuah RUU tentang Israel yang ‘Demokratis, Multikultur, dan Egaliter’. RUU tersebut memuat poin bahwa, “Israel adalah negara demokratis yang egaliter dan berbasiskan nilai-nilai harga diri, kebebasan, kesetaraan, dengan semangat Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Anggaran Dasar PBB.” RUU ini juga mengatakan bahwa Israel adalah negara untuk seluruh masyarakat, Yahudi dan Arab, dan bahwa sumberdaya dan institusinya akan digunakan secara setara untuk seluruh rakyatnya.
Namun, tampaknya upaya Jabareen harus menghadapi jalan terjal. Berbagai penolakan datang dari para anggora parlemen yang mendukung RUU keistimewaan terhadap kelompok Yahudi. Bahkan mereka menyebut RUU yang diajukan oleh Jabareen sebagai ‘RUU Negara-Bangsa Palestina’. Jabareen menyuarakan penentangannya terhadap RUU yang diusung oleh Partai Likud dalam pertemuannya dengan sejumlah pejabat Uni Eropa (UE) pada November 2017 di Brusel. Dirinya mengatakan bahwa RUU tersebut bertentangan dengan kesepakatan perdagangan antara UE dengan Israel.
“Mereka histeris karena apa yang saya ajukan menunjukkan wacana rasis mereka serta merendahkan mereka,” tukas Jabareen. (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018